***
“Sekolah kita ini dikenal pula dengan sebutan sekolah belakang, Mbak. Jika dibandingkan dengan sekolah depan, murid kami terbilang sedikit. Maklum saja, murid yang bersekolah di sini itu biasanya merupakan anak yang tidak diterima atau yang telat didaftarkan di sekolah depan”, jelas ibu paruh baya yang saya temui Juli tahun lalu.
Sekolah depan yang dimaksud di sini merujuk pada salah satu sekolah dasar yang berada satu rayon dengan SD Negeri Basirih 10.
“Mungkin ketiadaan akses jalan via darat menuju sekolah menjadi salah satu penyebab sedikitnya murid di sekolah ini”, batin saya pagi itu.
***
Dari sekian banyak pengajar yang pernah saya temui, guru yang tidak pernah menyerah saat ditempatkan di “sekolah nomor dua” selalu menorehkan kekaguman tersendiri. Memang benar, energi baik itu kadang tersembunyi di tempat yang tidak terduga. Meski tanpa terekam dalam berita, namun mereka tetap giat dalam bekerja. Ibu Susilawati ini contohnya. Salah satu pengajar semua mata pelajaran sekaligus wali murid kelas 1 SD Negeri Basirih 10.
Setelah berkenalan dan berbincang sejenak, saya pun memberondong Bu Susilawati dengan berbagai pertanyaan yang menggelitik pikiran saya sejak dalam perjalanan menuju sekolah unik ini.
“Sudah berapa lama ibu mengajar di sini?, ucap saya pelan sembari bersalaman dengan Salwa. Puteri pertama Ibu Susilawati yang diajak ke sekolah sejak berumur 2 bulan.
“Saya mengajar sejak tahun 2008, Mbak. Waktu itu jumlah keseluruhan anak didik kami hanya 50 murid saja. Saya ingat betul waktu pertama kali mengajar di sini itu murid yang duduk di bangku kelas VI hanya dua orang saja. Jauh berbeda dengan jumlah murid saat ini yang mencapai puluhan anak di setiap kelasnya”, paparnya sembari tersenyum.
“Entah terbuat dari apa hati ibu guru yang saya temui kali ini”, batin saya dalam hati. Sebagai sesama wanita, peran Bu Susilawati, baik sebagai ibu maupun pengajar yang begitu berdedikasi sungguh menginspirasi. Apalagi jika mendengar ajaran kebaikan yang diajarkan pada anak didiknya itu.