Pagi itu terasa berbeda. Hawa dingin yang terasa lenyap seketika saat melihat puluhan jukung didayung oleh anak-anak yang berseragam putih merah. Seragam khas anak sekolah yang duduk di bangku sekolah dasar.
Belum hilang decak kagum saya usai melihat teknik berenang adik-adik di tepian Sungai Kuin, pagi ini saya kembali dikejutkan dengan semangat murid-murid SD Negeri Basirih 10 yang lewat tepat di samping klotok yang sedang kami tumpangi. Menariknya, mereka terlihat biasa saja saat menyusuri sungai. Sebelas dua belas dengan anak-anak di darat yang sedang berjalan menuju sekolah.
Tak berselang lama dari unforgettable moment ini, terdengar pula suara mesin klotok yang bertuliskan layanan antar jemput sekolah di sisi samping perahu. Klotok merupakan sebutan untuk perahu kayu bermesin yang banyak digunakan di sekitar Pulau Kalimantan. Bunyi tok, tok, tok yang terdengar dari mesin perahu inilah yang menjadi cikal bakal sebutan klotok pada perahu kayu bermesin ini.
“Wah, ternyata tidak hanya murid-muridnya saja yang ke sekolah dengan susur sungai, tapi bapak dan ibu guru juga menggunakan jalur serupa. Tidak sabar rasanya untuk menyapa sekaligus menimba inspirasi dari mereka semua”, batin saya dalam hati.
Benar kiranya, bahwa kita ini kaya karena berbeda. Elok dan terpeliharanya peradaban sungai di kawasan ini menjadi bukti nyata betapa kayanya ragam budaya Indonesia.
Sekitar 15 menit kemudian, sampailah kami di dermaga SD Negeri Basirih 10. Sebuah SD sederhana yang terletak di tepi Sungai Jelai, Banjarmasin.
Bertemu Energi Baik dari Tepian Sungai Jelai
Cerita ini bermula tatkala saya ditugaskan untuk melakukan pemetaan potensi ekonomi kreatif lokal yang terdapat di Banjarmasin. Kota cantik di Kalimantan Selatan yang dikenal luas dengan sebutan kota seribu sungai.
Keberadaan ratusan sungai di kota kecil ini tentu menimbulkan tanda akan besarnya potensi ekonomi keatif yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Kegiatan survai potensi melalui susur sungai inilah yang membawa saya dan tim sampai di sekolah unik ini.
Sesampainya di halaman sekolah, kami disambut oleh beberapa guru yang mengajar di sana. Sesaat kemudian kami mulai berpencar mencari materi yang dibutuhkan untuk keperluan survai. Maklum saja, setiap malam kita ada laporan terbuka antar anggota tim.
Tak berapa lama kemudian, saya berkesempatan berbincang dengan guru muda bernama Ibu Susilawati.