Pada dasarnya saya merupakan penikmat wisata, begitu pula dengan ibu, bapak dan adik. Kalau dulu jalan-jalan berempat istilahnya cuma modal motor saja bisa, sekarang ceritanya sedikit berbeda karena harus mempersiapkan beberapa hal secara lebih terperinci mulai dari penyesuaian jadwal cuti, pilihan destinasi wisata yang sesuai hingga detail itinerary yang akan dijalani.
Jadi selain meluangkan waktu untuk jalan bersama teman, acapkali kami juga melakukan family trip. Meski putera-puteri ibu dan bapak kini sudah beranjak dewasa, namun family trip tetap menjadi agenda yang penting untuk direalisasikan. Bagi kami, selain dapat merekatkan jalinan kekeluargaan, family trip juga dapat menjadi ajang refreshing bagi ibu dan bapak yang kini terbilang sudah tidak muda lagi.
Family Trip di Awal Tahun
Perjalanan one day trip kami di tahun ini dimulai dari Magelang, sebuah kota berjuta pesona yang terletak di sebelah utara Jogja. Mumpung saya masih di Jogja dan adik juga belum merantau ke ibukota, jadilah paket liburan diskonan yang saya dapati di group Whats Up Kompasiana Jogja (K-Jog) menjadi pilihan flash trip yang menarik untuk dicoba.
"Yang namanya rejeki itu bukan hanya nominal yang tertera di slip gaji. Mendapatkan paket liburan separuh harga pun sejatinya merupakan bagian rejeki yang sangat patut untuk disyukuri".
Jumat pagi, 05 Januari 2018 lalu cuaca di Jogja terbilang bersahabat. Tepat pukul 08.00 pagi, saya beserta keluarga bergegas meluncur ke meeting point yang kami sepakati dengan pihak penyedia jasa wisata. Cuaca cerah tanpa macet membuat perjalanan Jogja Magelang terasa begitu menyenangkan. Sesampainya di dekat area Candi Mendut, destinasi pertama liburan kali ini, kami menjemput Emka, guide muda yang akan menemani hingga sore nanti.
Beberapa menit kemudian, sampailah kami di parkiran Candi Mendut. Sebelum melangkah menuju candi, Emka menyarankan untuk mampir dulu di wihara yang terletak di sebelah Candi Mendut. Tanpa berfikir panjang, kami pun bergegas menuju wihara. Tak disangka-sangka, kami adalah rombongan pertama yang menikmati indah dan sejuknya wihara di pagi itu. Wah, senangnya!
Dari pintu utama wihara, pengunjung akan dihadapkan pada jalan utama yang kiri kanannya berhias stupa. Di ujung jalan utama tersebut terdapat stupa pemujaan terbesar yang ada di area wihara, juga gong raksasa di sisi kanan stupa yang biasa dibunyikan pada waktu-waktu tertentu. Selain dikelilingi taman yang indah, di wihara ini juga terdapat beberapa patung Buddha dalam berbagai pose, mulai dari pose duduk, berdiri hingga pose tidur menyamping.
Sewaktu sedang memotret, kami bertemu seorang warga yang tanpa diminta langsung menjelaskan keberadaan Pohon Sala. Pohon yang dalam keyakinan umat Buddha dipercaya sebagai tempat lahir, juga tempat tutup usia Sidharta Gautama.
"Sampai saat ini, Pohon Sala di dekat gong itu terhitung baru tiga kali berbunga", terang bapak yang kami temui pagi itu.
Menelisik Kisah Jataka di Candi Mendut
Perjalanan pagi ini kami lanjutkan menuju Candi Mendut, sebuah Candi Buddha berukuran 10x10x13,3 meter yang terletak di dekat Candi Borobudur. Candi yang berada dalam satu garis lurus dengan Candi Borobudur dan Candi Pawon ini ternyata merupakan candi yang digunakan sebagai titik awal upacara Waisak lho! Diawali dari Candi Mendut, lalu ke Candi Pawon baru nanti puncak upacara Waisak digelar di Candi Borobudur.
Suatu ketika, kepala burung yang satunya mendapat makanan yang terlihat begitu enak. Karena tempo hari saudaranya tidak berbagi, ia pun enggan membagi tangkapan enaknya itu. Sayang beribu sayang, tangkapan burung kedua tadi ternyata mengandung racun hingga pada akhirnya dua burung dalam satu tubuh itu akhirnya mati.
Padahal kalau dibagi, siapa tahu saudara si burung itu tahu bahwa makanan yang diketemukan tadi bukanlah makanan enak, melainkan racun yang mematikan. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari kisah ini ya teman.
Selain terdapat berbagai cerita fabel yang menggambarkan ajaran kebaikan, dalam relief Candi Mendut juga menceritakan lima ajaran kebijaksanaan Wisnusarma dalam mendidik ketiga puteranya yang tertuang dalam Pancatantra.
Usai berkeliling candi, kami sempat melihat sekaligus memotret reruntuhan bangunan candi yang ditemukan di sekitar Candi Mendut. Ternyata mengambil stok foto candi dari sini oke juga lho! Selanjutnya, kami melangkahkan kaki ke arah Pohon Bodhi berukuran besar yang terletak di seberang candi.
Menariknya lagi, meski dipatok dengan harga yang begitu ramah di kantong, hanya Rp 8.500 untuk Geliga Krim ukuran 30 g, krim otot geliga ini juga berkhasiat meredakan nyeri pada punggung, pundak, persendian, keseleo, kram dan masalah otot lainnya. Sudah murah, praktis karena dikemas dengan kemasan yang plastik dan tutup flip yang tahan banting dan aman dari kebocoran, Geliga Krim ternyata tidak lengket, juga tidak menimbulkan noda pada pakaian. Bangga benar pakai produk karya anak negeri yang satu ini!
Mendengar Cerita Kinara dan Kinari di Candi Pawon
Candi Pawon terletak tidak jauh dari Candi Mendut. Dalam waktu sekitar lima menit saja, kami sudah sampai di pelataran Candi Pawon, Candi Buddha yang diperkirakan didirikan oleh Dinasty Syailendra antara abad ke-VIII sampai IX Masehi. Dikutip dari website Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Menurut ahli epigrafi, J, G. de Casparis, Candi Pawon merupakan tempat penyimpanan abu jenazah Raja Indra, yang tidak lain merupakan ayah dari Raja Samarrattungga.
Dalam hal penamaan, Casparis menafsirkan bahwa nama Pawon yang berasal dari kata "awu", yang dalam Bahasa Jawa berarti "abu", sedangkan awalan pa- dan akhiran -an menunjukkan keberadaannya pada suatu tempat. Dalam Bahasa Jawa, kata pawon yang berarti dapur ini diartikan oleh Casparis sebagai 'perabuan' alias tempat abu. Uniknya, candi ini memiliki juga ventilasi udara seperti dapur pada umumnya.
"Kalau mau lihat luwaknya, bisa ke kebun belakang Mbak", ucap Mbak Eny.
Terima kasih banyak Mbak! Kita jadi tahu banyak tentang kopi luwak!
Membatik di Griya Dewi Wanu
Perjalanan kami siang itu masih berlanjut menuju Griya Dewi Wanu. Sebuah griya batik yang menyediakan aneka produk batik lengkap dengan pelatihan yang ditujukan untuk wisatawan maupun calon wirausahawan yang tertarik di bidang seni pembuatan batik.
“Kepanjangan dari Desa Wisata Wanurejo, Mbak”, jawabnya ramah.
Ditemani Bu Yayuk dan Bu Lucy, kami mempraktekkan rangkaian proses pembuatan batik.
Lega rasanya melihat senyum bebas pegal ala ibu. Geliga Krim memang krim otot andalan keluarga!
Workshop Keramik di Nujiwa
Agenda kami selanjutnya adalah makan siang di Kedai Nujiwa. Sebuah kedai makan di ruang terbuka yang menyajikan kuliner enak berbalut pemandangan yang menakjubkan! Selain dikelilingi sawah dan perbukitan, eloknya Candi Borobudur juga terlihat dari sini. Asyik deh!
Salam hangat dari Jogja
-Retno-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H