Mohon tunggu...
Retno Septyorini
Retno Septyorini Mohon Tunggu... Administrasi - Suka makan, sering jalan ^^

Content Creator // Spesialis Media IKKON BEKRAF 2017 // Bisa dijumpai di @retnoseptyorini dan www.retnoseptyorini.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kado-kado Spesial dari Ibu

3 Januari 2018   23:02 Diperbarui: 3 Januari 2018   23:08 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di suatu malam sebelum saya terbang ke ibukota, salah satu lokasi kerja saya tahun 2017 lalu, entah saya yang meminta atau naluri ibu saja yang tiba-tiba pengen ngelonin si anak wedokyang sudah mau ke Jakarta lagi, wanita yang tahun ini genap berusia 52 tahun tersebut perlahan membuka pintu kamar saya. Sekitar pukul 03.00 pagi, tepat setelah saya selesai packing dan meletakkan ransel hitam di dekat ruang tamu, beliau duduk lalu merebahkan dirinya tepat di samping saya. Tak berapa lama kemudian, ibu dan anak itu pun akhirnya sepakat untuk memecah heningnya pagi dengan perbincangan ringan yang ternyata hanya bertahan sekian menit saja.

Saya tidak ingat persis obrolan apa yang kami perbincangkan di awal pagi tanggal 08 Oktober 2017 itu. Yang jelas kami sempat terlelap berdua hingga tetiba saja saya terbangun oleh suara cemas bercampur gemas dari ibu. Maklum saja, pagi itu jam sudah menunjukkan pukul 04.05 WIB. Waktu dimana seharusnya saya sudah bersiap diri menuju bandara.

Menyadari bangun pagi yang over kesiangan ini, saya pun merasa begitu diburu oleh waktu. Sayangnya sudah menjadi kebiasaan lama kalau sebelum beranjak dari tempat tidur saya harus mengumpulkan nyawa dengan ngulet terlebih dahulu. Saat beranjak dari tempat tidur, betapa kagetnya saya mendapati bantal yang tadi dipakai ibu terasa basah. Bisa jadi sih basahnya karena air liur, namun entah mengapa perasaan saya mengatakan hal yang berbeda.

Usai 100% sadar, bergegaslah saya menuju kamar mandi untuk mandi bebek. "Yang penting kena air biar segar", ujar saya dalam hati. Benar saja, hanya dalam hitungan menit, saya sudah siap menuju bandara. Meski ibu sudah menyiapkan sarapan, namun karena sisa waktu check in yang begitu mepet membuat nafsu makan saya bersisa sedikit saja. Untuk menghemat waktu, akhirnya saya memutuskan untuk melewatkan sarapan agar bisa langsung ke bandara. Untungnya saya dikaruniai ibu yang begitu pengertian. Beliau merelakan sarapan yang sudah disiapkan itu akhirnya sama sekali tak tercicipi oleh anak perempuannya yang pagi itu harus kembali lagi ke ibukota.

Karena hanya membawa backpack dan tas selempang, saya mengangguk saja ketika bapak bersikeras mengantar saya ke bandara. Saat berpamitan pada ibu, tak disangka wanita yang saya kagumi dan sayangi segenap hati ini masih menyisakan sembab di kedua bola matanya. Tak ingin memperkeruh suasana dengan bertanya kenapa (karena sebenarnya saya sudah tahu mengapa ibu menangis pagi itu), saya pun berbegas pamit sembari mencium tangan dan kedua pipi ibu secara bergantian.

"Sehat terus ya bu, nanti pulang dari Jakarta kita jalan-jalan lagi", ucap saja menenangkan ibu yang kedua bola matanya kembali berkaca-kaca itu.

***

Pagi itu saya dan bapak langsung berbegas menuju Bandara Adi Sucipto. Lokasi bandara yang terbilang jauh dari rumah, ditambah dengan tenggat waktu check in yang tinggal beberapa menit saja sungguh membuat jantung saya berdetak jauh lebih cepat dari biasanya. Sesampainya di bandara, saya langsung pamit lalu berlari menuju konter check in. Lucunya, setelah beberapa saat mengantri untuk check in, saya baru sadar kalau saya salah masuk antrian maskapai. Astaga!

Dengan terburu-buru saya langsung berlari ke konter maskapai pada e ticket yang telah dipesankan oleh manager tim saya beberapa hari sebelumnya. Usai check in dan menerima tiket fisik pesawat, saya begitu kaget karena konter check in langsung ditutup. Jadilah saya penumpang terakhir yang melakukan check in pada penerbangan Minggu pagi, 8 Oktober 2017 lalu.

Setelah melihat seksama angka-angka yang tertera di tiket pesawat, saya baru sadar bahwa waktu check in saya tepat di batas waktu maksimal untuk check in yakni pukul 05.30 WIB. Deg! Ya ampun, ini pasti doa ibu! Pasti doa beliau! Doa yang dilantunkan siang malam agar saya diberi kelancaran dalam berkegiatan, termasuk agar tidak ketinggalan pesawat. Benar saja, beberapa detik usai menerima tiket fisik, pintu ruang tunggu bandara mulai dibuka. Akhirnya, saya bisa sedikit bernafas lega sekaligus berjalan cukup santai menuju pesawat.

Usai menemukan dan merebahkan diri di kursi penumpang, tetiba saja saya teringat kembali pada sosok wanita dengan jabatan terbaik di dunia versi saya itu. Ah, siapa lagi kalau bukan ibu. Ibu yang mengandung, melahirkan, juga yang tak berhenti melindungi, merawat, mendoakan, mendidik juga berjuang agar saya bisa mendapatkan pendidikan yang layak dan setara dengan anak laki-laki.

Bagi ibu, baik laki-laki maupun perempuan punya hak yang sama dalam keluarga. Kalau dapat nasi kenduri misalnya. Sebuah perkedel yang ada di kotak nasi tetap dibagi empat. Satu potong untuk bapak, tiga potong lainnya untuk ibu, saya dan adik. Begitu pula dalam ranah pekerjaan. Kalau ibu sudah masak, anggota keluarga lainnya wajib membantu seperti menyiapkan bumbu, nyapu atau melakukan kegiatan rumah tangga lainnya.

Sayangnya, usai mengenyam pendidikan di bangku perkuliahan, ibu agak keberatan kalau saya bekerja di luar Pulau Jawa. Alasannya cukup klasik dan terkesan kolot yakni takut kalau saya sampai kekurangan atau sampai kenapa-kenapa di luar sana. Sebuah alasan primitif yang sebenarnya bisa saya debat dengan begitu mudah. Kadang saya berfikir, bisa jadi doa ibu yang menginginkan saya bekerja di daerah yang dekat dengan Jogja merupakan salah satu faktor gagalnya saya ikut beberapa tes kerja dengan area penempatan di luar Pulau Jawa. Pada akhirnya, agar tidak menambah beban pikiran ibu, saya hanya mengambil pekerjaan di sekitar Pulau Jawa saja. Terhitung sejak lulus kuliah, saya hanya mengambil pekerjaan di Jakarta, Solo dan Jogja. Bahkan terhitung sejak 2014 hingga pertengahan tahun 2017 lalu saya bekerja di kota sendiri (Jogja).

***

Kado Terindah dari Ibu

Meski harapan ibu kadang terlihat kurang masuk akal ataupun kurang open mindeddi mata anak, saya begitu yakin dan percaya bahwa sejatinya dibalik harapan "kolot" ibu pasti tersimpan doa terbaik untuk sang buah hati. Mungkin begitu pula dengan harapan ibu yang menginginkan saya bekerja di lokasi yang tidak terlalu jauh dari rumah. Karena itulah dari sekian kado yang pernah saya terima dari ibu, keputusan ibu membolehkan saya mengambil pekerjaan di luar Pulau Jawa ibarat kado terindah di sepanjang tahun 2017 kemarin.

Waktu saya dinyatakan lolos sebuah program live in di daerah untuk berkontribusi dalam pengembangan sektor ekonomi kreatif, ibu tak langsung setuju. Sepengetahuan saya, beliau sempat meminta pendapat dari keluarga dekat mulai dari bapak, adik, om, tante hingga simbah puteri. Dengan berbagai pertimbangan, juga diskusi yang cukup alot dengan saya, sungguh tak dinyana kalau pada akhirnya ibu menyetujui keputusan saya untuk mengambil project live in tersebut.

Doa Antara Jogja, Jakarta dan Banjarmasin

Saat pertama kali datang ke Jakarta, saya belum tahu akan ditugaskan dimana. Waktu itu ada lima area penugasan meliputi Banjarmasin, Banyuwangi, Bojonegoro, Belu dan Toraja Utara. Tak disangka-sangka, saya dan tim kebagian tugas di luar Pulau Jawa, tepatnya di kota seribu sungai, Banjarmasin.

Di bulan ke-4, Oktober 2017 lalu, jadwal penerbangan tim kami berubah dari Jogja - Jakarta - Banjarmasin menjadi Jogja - Jakarta - Jogja - Banjarmasin. Usai merampungkan pekerjaan di Jakarta, beberapa hari kemudian saya terbang lagi ke Jogja. Sesampainya di rumah, barulah saya menanyakan alasan mengapa pagi itu beliau menangis.

"Aku ki ratego nek kowe nganti susah, nduk. Ibu nggunggah ora berarti ngusir kowe seko ngomah. Ibu ming wedi yen genduk nganti telat", begitu katanya sembari menatap saya dalam-dalam.

"Ibu nggak tega kalau lihat kamu susah, nduk. Ibu mbangunin kamu bukan berarti pengen kamu cepet-cepet pergi dari rumah. Ibu cuma takut kalau kamu sampai ketinggalan pesawat", begitu katanya sembari menatap saya dalam-dalam.

Saya paham sekali kekhawatiran ibu pada saya. Apalagi jika melihat saya acapkali kelelahan usai pulang kerja. Karena itulah beberapa bulan terakhir saya di Banjarmasin, ibu terlihat lebih was-was. Selain ritme kerja yang lebih banyak saat menjelang pameran, akhir tahun lalu Indonesia memasuki musim hujan. Kalau sudah begini, kekhawatiran ibu biasanya bertambah. Apalagi kalau jadwal terbang saya itu ngepasicuaca Jogja yang lagi hujan-hujannya.

Namun apapun itu, saya salut pada ibu yang menekan egonya di titik terendah agar saya dapat menambah wawasan dan pengalaman untuk berkontribusi di kota lain. Selain kerja keras tim, saya begitu percaya bahwa kelancaran project di Banjarmasin kemarin tidak lepas dari lantunan doa yang tak pernah lepas dari bibir ibu, baik ibu saya, ibu kawan-kawan satu tim saya maupun puluhan ibu-ibu kolaborator lainnya yang tergabung dalam keluarga baru kami di Banjarmasin sana.

***

Sederet Kotak Kado Lainnya

Ternyata, sesampainya di Jogja, saya kembali disodori rentetan kado tak terduga dari ibu, mulai dari aneka bros dari kerang-kerangan yang dibeli saat piknik bersama kader posyandu, ca jamur yang sengaja dibeli ibu selama berhari-hari hanya untuk mengobati rasa kangen puteri kesayangannya pada olahan makanan dengan rasa yang begitu otentik dengan Jogja, yang sekaligus menjadi menu favorit keluarga kami hingga jatah snack ibu yang berkali-kali sengaja tidak dimakan karena isinya pie agar-agar favorit saya.

Terima kasih banyak buk. Retno belajar banyak dari ibuk. Semoga besok, waktu Retno jadi ibu, minimal bisa meniru rentetan kebaikan yang telah dicontohkan ibuk. Perkenalkan teman-teman, ini ibu saya. Panggil saja Bunga. Meski bukan nama sebenarnya, namun sosok sederhana inilah yang acapkali berhasil menjadi bunga yang memperindah taman di hati, pikiran, harapan dan doa seorang anak manusia bernama Retno.

Salam hangat dari Jogja,

-Retno-

Artikel ini diikutkan dalam Kompasiana Blog Competition dengan tema Hadiah dari Ibu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun