Ibarat kue, bagi saya Macao itu bak brownies keju bertopping almond. Salah satu camilan favorit saya yang sekali gigit bisa mencecap kombinasi rasa yang berbeda-beda tapi semuanya bikin bahagia. Begitu kira-kira Macao di mata saya.
Macao yang Multirasa
Jauh hari sebelum tatkala rute penerbangan Jakarta Macau masih harus ditempuh dengan transit di negara tetangga, ternyata Macao sudah menjadi incaran para wisatawan. Di Indonesia sendiri, Macao pernah diulas dalam sebuah program jalan-jalan di salah satu stasiun televisi nasional. Menariknya, host acara jalan-jalannya pakai kerudung. Jadi sembari berbagi cerita terkait wisata di Macao sana, ia juga membekali penonton dengan tips dan trik mengisi liburan dikala Ramadhan. Jadi fix banget lah ya, Macao bukan sekedar destinasi wisata hura-hura di meja kasino semata, tapi juga merupakan "rumah" yang ramah bagi wisatawan muslim. Pantas saja banyak sekali review positif dari para traveler usai berlibur di Macao.
Meski dulunya merupakan destinasi wisata alternatif saat berkunjung ke Hongkong, namun perlahan Macao mampu menunjukkan taringnya. Dilansir dari www.kemlu.go.id, tahun 2015 lalu wisatawan mancanegara yang berkunjung Macau menyentuh angka 30,71 juta jiwa. Jumlah yang tidak bisa dikesampingkan untuk ukuran sebuah destinasi wisata bukan? Sayangnya saya baru mengenal Macao melalui siaran televisi, video Youtube ataupun lembaran-lembaran ulasan yang ditulis di buku ataupun blog oleh reporter maupun para travel bloger yang sudah lebih dahulu menjelajah Eropanya Asia ini.
Saking penasarannya saya dengan Macao, saya pun membeli buku berjudul "Cheating Hongkong & Macau" karya seorang traveler muda bernama Vicky Amin. Buku yang diluncurkan tahun 2015 ini menceritakan pengalaman Vicky menjelajah Macao dan Hongkong selama 9 hari dengan anggaran sebesar 5 jutaan saja. Cukup menarik bukan bisa menjelajah dua kawasan berbeda dengan budget yang tidak terlalu mahal.
Ada hal fundamental yang begitu menarik perhatian saya usai membaca ulasan Vicky Amin yang satu ini. Meski Vicky menempatkan Hongkong di awal judul, namun ulasan di 109 halaman pertama di buku ini malah bercerita tentang Macao, mulai dari ragam pilihan destinasi wisata yang ada di sana hingga tips dan trik menghemat biaya saat menjelajah kawasan yang dikenal luas dengan akulturasi budayanya ini. Tambah lagi deh review positif tentang Macao dari orang yang pernah berkunjung ke sana. Jadi makin penasaran dan kenceng deh usaha sekaligus doa biar suatu saat nanti bisa gantian memberi ulasan terkait seluk-beluk wisata di Eropanya Asia ini.
Impian Retno Jika Kesampaian ke Macao
Katanya hingga mulai bulan Desember hingga Februari nanti, Macao memasuki musim dingin. Bagi penduduk empat musim mungkin pembagian musim tersebut bukan menjadi hal yang mengesankan. Namun lain ceritanya bagi penduduk di negara tropis seperti saya, dimana negeri empat musim masih menawarkan daya pikat tersendiri. Jadi kalau ada rejeki dan kesempatan untuk berlibur ke Macao, kepinginnya bisa datang di luar musim panas. Biar cita-cita foto liburan ala Eropa plus pakai jaket tebal bisa terwujud nyata.
Sebagai penikmat sejarah, setidaknya ada tiga tempat wisata yang ingin saya kunjungi saat kesampaian sampai ke Macao. Pertama tentu menuju Macau Fisherman's Hub. Belum lengkap berkunjung Pearl of The Orient tanpa leyeh-leyeh di taman rekreasi Macao yang berbatasan langsung dengan Pearl River ini bukan?Â
Selain dapat merekam jejak lalu lalang kapal feri yang menghantarkan impian jutaan wisatawan ke Macao, tempat ini juga menawarkan bangunan unik yang dibuat mirip dengan berbagai pelabuhan ternama dunia seperti Venice, Amsterdam, Miami dan masih banyak lagi. Dapat membingkai gembira, tawa, pun canda di bekas pelabuhan elok di jamannya dengan latar berbagai pelabuhan ternama ibarat pemantik rasa bahagia yang bisa jadi bekal cerita yang takkan terlupa untuk anak cucu kita nanti. Wah menarik juga ya? Kalau bisa sih jelajah dan leyeh-leyehnya sembari nyemil si egg tart tadi, hehehe...
Tempat kedua yang sukses membuat saya jatuh hati tentu saja museum. Adalah Macao Museum dan Macao Maritim Museum yang bikin saya makin kesengsem sama destinasi wisata yang dikenal luas dengan kuliner Ayam Afrikanya ini. Macao Museum merupakan museum terbesar di Macao yang menyaikan sejarah terlengkap terkait perkembangan peradaban di Macao. Jadi bisa kebayang kan gimana keren dan banyaknya pengetahuan yang dapat di share dari tempat bersejarah ini?
Sedangkan Macao Maritim Museum merupakan museum yang menyajikan ragam cerita terkait kehidupan nelayan di sana, lengkap berbagai koleksi transportasi dari Tiongkok maupun Portugis. Menariknya lagi ternyata bagunan museum ini berbentuk kapal layar lho! Jadi tambah penasaran banget deh sama Macao!
Entah mengapa rasa-rasanya ada keterkaitan emosional antara saya dengan dunia perkapalan. Mungkin karena saya baru pulang live in di salah satu kota sungai di Indonesia. Ternyata mempelajari peradaban sungai selama empat bulan sukses menarik minat saya untuk kembali belajar sejarah kemaritiman dunia. Pun dengan dunia perkapalan. Habis baca buku Jukung Boat From The Barito Basin, Borneo karya Eric Petersen menggugah minat saya untuk berkunjung ke Macao Maritim Museum. Selain menambah pengetahuan, harapannya bisa menelurkan ulasan mendalam terkait hebatnya warisan perkapalan di Borneo dan juga Macao.
Yang terakhir, tentu saja mencicipi kuliner halal di berbagai resto halal yang ada di Macao sana. Penasaran banget sama Ayam Afrikanya Macao. Gimana nggak penasaran coba, di kawasan Asia berkultur campuran Eropa ini kok ya ada makanan yang namanya Ayam Afrika. Penasaran banget gimana akulturasi rasanya. Semoga saja segera kesampaian.
Salam hangat dari Jogja man-teman, -Retno-.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H