Mohon tunggu...
Lira Safila Paputungan
Lira Safila Paputungan Mohon Tunggu... Mahasiswa - S1 Program Studi Psikologi - Universitas Negeri Gorontalo

Halo!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Transformasi Kepribadian Mahasiswa Rantau Sebagai Dampak Dari Gegar Budaya (Culture Shock) : Tinjauan Psikologis dan Adaptasi Antarbudaya

18 Desember 2024   10:46 Diperbarui: 18 Desember 2024   10:46 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis : Lira Safila Paputungan, Muthmainnah Ibrahim 

Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Goroantalo

Individu memiliki kebiasaan yang mencerminkan interaksinya dengan lingkungan sosial. Kebiasaan ini terbentuk karena adanya pengaruh luar seperti kebiasaan pola hidup, pembiasaan diri yang dibawa dari tempat asal, latar belakang budaya, keadaan geografis tempat tinggal sebelumnya, serta perubahan-perubahan zaman. Kebiasaan tersebutlah yang dinamakan budaya. Sebagian besar mahasiswa merupakan orang-orang yang merantau, dengan universitas yang tersebar diseluruh kota-kota besar dengan kualitas yang berbeda-beda memunculkan pandangan calon mahasiswa untuk menentukan pilihan universitas. Interaksi mahasiswa dengan latar belakang budaya yang beragam dalam suatu wilayah bukanlah hal baru yang terjadi di Indonesia. Menurut Lagu dalam (Agustini dan Sulistyowati, 2021) bahwasanya Indonesia dengan masyarakat heterogen yang memiliki keragaman suku bangsa, bahasa, adat istiadat, etc. Keberagaman inilah dapat memunculkan perbedaan dalam berbagai aspek, seperti budaya, perilaku, kepribadian setiap individu yang berasal dari latar belakang yang beragam. Oleh karena itu, seseorang yang berpindah dari satu daerah ke daerah lain di Indonesia mungkin akan merasa tidak familiar atau tidak terbiasa dengan lingkungan barunya

Hal ini sering kali membuat mahasiswa lintas budaya menghadapi tantangan dalam menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan yang dihadapi. Perubahan inilah yang dapat bisa menimbulkan tekanan yang memicu menyebabkan terjadinya gegar budaya (culture shock). Kepribadian individu pun terjadi perkembangan atau bahkan perubahan entah mengarah ke hal baik ataupun buruk. Hal ini disebabkan karena masing-masing individu memiliki perbedaan pandangan tentang nilai, sikap, kepribadian yang terbentuk dari keluarga dan lingkungannya sehingga ketika individu berada di suatu budaya yang tidak familiar atau budaya baru akan mengalami kebingungan atau tidak nyaman pada lingkungan budaya baru tersebut. Menurut Oberg (2003) gegar budaya merupakan respon negatif yang dialami oleh orang-orang ketika memasuki lingkungan budaya baru. Hal ini selaras dengan menurut Suryandari (2012) bahwasanya dampak yang ditimbulkan oleh gegar budaya mencakup berbagai reaksi emosional dan fisik. Beberapa di antaranya adalah munculnya rasa permusuhan terhadap lingkungan baru, kebingungan atau kehilangan arah yang berujung pada perasaan ditolak, gangguan kesehatan seperti sakit kepala dan masalah lambung, serta perasaan Homesick (rindu rumah), rindu lingkungan lama, teman, dan keluarga. Selain itu, individu yang mengalami gegar budaya juga dapat merasa kehilangan status sosial, menarik diri dari interaksi sosial, dan melihat orang-orang di lingkungan baru sebagai orang yang urang peka terhadap perasaan mereka.

Apa itu Konsep Diri Individualis & Kolektivisme 

Respon seseorang terhadap gegar budaya ini berbeda-beda tergantung pada orientasi budaya mereka, yaitu apakah orang tersebut lebih individualis atau kolektivis. Individualis menekankan kemandirian, kebebasan pribadi, dan pencapaian individual. Individu yang memiliki konsep diri ini merupakan individu yang biasanya lebih fokus pada tujuan pribadi dibandingkan tujuan kelompok. Sedangkan, kolektivisme merupakan individu yang tak terpisahkan dari jaringan sosial mereka, identitas seorang ini sangat terkait dengan peran mereka dalam keluarga, komunitas, dan khalayak umum. Seseorang dengan konsep diri kolektif menekankan pentingnya harmoni, kejiwaan sosial, dan pemenuhan peran yang diharapkan. Jika dalam konteks penyesuaian diri dengan konsep diri ini, maka individu yang memiliki konsep diri individualisme cenderung akan membawa dan tidak bisa menyesuaikan dengan norma-norma yang ada di budaya baru, biasanya cenderung tidak nyaman dan susah beradaptasi dengan lingkungan baru, komunikasi terbatas karena jarang melibatkan diri dengan khalayak umum pada lingkungan baru yang di tempati.

Perbedaan Penyesuaian Diri : Individualisme & Kolektivisme  

Sehubungan dengan hal ini, terdapat dua individu dari masing-masing konsep diri yang berbeda dengan cara penyesuaian diri berdasarkan konsep diri individualis dan kolektivis. Individu yang pertama memiliki konsep diri yang cenderung individualis dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Menurutnya, ketika berada di lingkungan baru, prioritas utama adalah mencapai tujuan dan kepentingan pribadi. Hal ini ia pandang sebagai langkah awal yang penting, sebab setiap individu pasti memiliki tujuan tertentu yang ingin dicapai. Namun, jika dihadapkan pada situasi yang mengharuskan kolaborasi dengan lingkungan sekitar, individu pertama akan cenderung memilih bentuk kerja sama yang dapat mendukung pencapaian tujuan pribadinya. Individu pertama juga membawa kebiasaan dari lingkungan sebelumnya ke lingkungan yang baru. Akan tetapi, ia tetap terbuka untuk melakukan penyesuaian apabila kebiasaan baru tersebut sejalan dengan prinsip atau kebiasaan yang ia miliki. Secara keseluruhan, konsep diri individualis yang dimiliki mendorongnya untuk lebih berfokus pada kepentingan pribadi dalam menghadapi lingkungan baru. Namun, ia tetap memiliki fleksibilitas dalam beradaptasi ketika diperlukan, selama proses tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dipegangnya. Hal ini menunjukkan adanya keseimbangan antara penghormatan terhadap budaya baru dan upaya untuk mempertahankan identitas serta kebiasaan pribadi yang telah melekat sebelumnya.

Selain itu, terdapat individu kedua menunjukkan konsep diri yang kolektivisme dalam proses adaptasi di lingkungan baru. Hal ini terlihat dari kecenderungannya untuk menyesuaikan diri dengan norma dan budaya kelompok yang ada. Ketika dihadapkan pada perbedaan budaya, ia memilih untuk mengikuti dan menghormati budaya tersebut sebagai bentuk penghargaan terhadap lingkungan barunya. Membangun hubungan sosial pun dianggapnya sangat penting, yang menunjukkan kesadaran akan peran komunitas dalam membantu proses adaptasi. Meskipun terkadang lebih nyaman menghabiskan waktu sendiri, narasumber tetap berusaha menyesuaikan perilaku dengan kebiasaan kelompok ketika situasi menuntutnya. Selain itu, fokusnya tidak hanya pada pencapaian tujuan pribadi, tetapi juga pada kontribusi yang dapat ia berikan kepada kelompok. Proses adaptasi ini menunjukkan adanya upaya untuk menyeimbangkan antara identitas pribadi dan kepentingan bersama. Individu ini juga mengakui adanya perubahan signifikan dalam dirinya sejak berada di lingkungan baru, seperti peningkatan kepercayaan diri, kemudahan berkomunikasi, dan keberanian untuk tampil di hadapan publik. Perubahan ini mencerminkan bagaimana ia belajar dari dinamika kelompok dan beradaptasi secara positif.

Selain individualis dan kolektivis, terdapat jugaLocus of Control, dengan konsep ini dapat dilihat bahwa setiap orang berbeda-beda dalam bagaimana dan seberapa besar kontrol diri mereka terhadap perilaku dan hubungan mereka dengan orang lain serta lingkungan. Konsep ini umumnya dibedakan menjadi dua, yaitu Locus of Control Internal dan Locus of Control External. Individu dengan Locus of Control Internal melihat kehidupannya sangat ditentukan oleh dirinya sendiri. Sedangkan, Locus of Control External melihat diri mereka sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan dan orang lain melihat mereka, apapun terjadi dalam hidupnya berpandangan bahwa ini dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar kendalinya. Individu yang memiliki konsep diri individualisme biasanya cenderung mengarah ke Locus of Control Internal, contohnya seperti ketika mendapatkan penghargaan orang dengan konsep diri ini biasanya percaya bahwa pencapaian tersebut dihasilkan dari usaha dan kerja keras pribadi. Sedangkan, individu yang memiliki konsep diri kolektivisme cenderung mengarah ke Locus of Control External, contohnya apabila diambil dengan kasus yang sama maka individu dengan konsep diri ini memikirkan bahwa pencapaiannya diperoleh karena dukungan dari orang sekitar, atau bahkan menganggap pencapaian tersebut hanya berupa keberuntungan saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun