ABLASI SENJA
Senja selalu datang. Ia bukan hanya penghantar waktu dari siang ke malam.
Senja adalah kita. Lalu siluet jingga adalah saksi atas ikrar cinta.
Namun senja kini sudah tiada lagi definisi berarti.
Ia datang, menapakkan bayang, lalu berselang detik mengepakkan sayapnya; pergi.
Gita puja dulu membahana, kini menyisakan luka menganga.
Indahnya kerlip lampu kapal yang terlihat dari jalan setapak bibir pantai, kini melukai jantung berdetak.
Aku tak cukup berdaya. Digdaya-nya pilihanmu tak mampu aku elak.
Aku tertombak. Aku tergeletak. Napasku sesak. Batinku tersentak, dan
Aku terisak.
Nada-nada cintamu hanya fatamorgana. Aku bagai diorama dalam monodrama.
Kau persilakan aku memintal benang asa, kemudian kau hempaskan aku dalam belantara yang mengatasnamakan cinta.
Durjana.
Merontak tangisku bersimbah perih
Dari bilik teralis, lembar kenangan muram terlukis
Pilu hatiku teriris sembilu
yang tak akan sembuh dalam masa seminggu.
Saat surat undangan kau sebar. Isyarat kau telah dilamar.
Aku terkapar.
Sukma ku ringkih terbakar. Angan-angan terkubur sudah, kau tlah jauh melangkah.
Senja jingga bukan lagi tentang kita.
Sebab tentang kita, tentang bagaimana nanti, seperti apa jalan resepsi, mana yang dahulu: laki atau perempuan, dua atau tiga; - lenyap.
Itu semua sudah tak bertuan. Kita sudah tak sejalan.
Hentikan. Hentikan lagak polosmu.
Sudahlah.
Biarkan aku berlalu bersama pilu.
Selamat atas pilihanmu bersama dia yang kau katakan baik. Dan tak usah kau tanyakan aku, apa aku dalam keadaan baik.
Tak usah kau tanyakan aku,
Biarkan aku berlalu bersama pilu.
-o-
Judul : ABLASI SENJA / Lipul El Pupaka
Kalimantan Barat, 01 November 2018
Tulisan pertama setelah 4 tahun tidak posting di Kompasiana.
Im Back!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H