Mohon tunggu...
Lipul El Pupaka
Lipul El Pupaka Mohon Tunggu... Wiraswasta - lagi malas malasnya

ini bio belum diisi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menguak Tragedi Beutong Ateuh (Rezim Soeharto)

15 Desember 2013   04:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:55 8465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MENGUAK TRAGEDI BEUTONG ATEUH (REZIM SOEHARTO) AGAR TIDAK DI TELAN ZAMAN

Aceh seindah lukisan dalam sejarah sepanjang abad. Ya... itulah yang bisa diungkapan. Namun banyak tragedi dibalik itu semua. Silahkan baca sampai kelar dan mohon maaf bila nanti ada kesalahpahaman dan ketidaksukaan dengan artikel saya yang tak berarti ini.

=======

Pada zaman rezim Soeharto, selain menguras habis kekayaan alam Aceh, juga melancarkan genosida atas muslim Aceh. Yang di kenal dengan DOM atau operasi jaring merah (1989 - 1998). Banyak peneliti DOM sepakat bahwa kekejaman rezim Soeharto terhadap muslim Aceh bisa disetarakan dengan kekejaman yang dilakukan milisi Serbia terhadap muslim Bosnia di era 1990-an.

Wilayah NAD, sekujur tanahnya dijadikan kuburan massal di sana-sini. Muslim Aceh yang berabad-abad hidup dalam Izzah Islam, dihina oleh rezim fasis Soeharto dengan serendah-rendahnya.

Jika kamboja dibawah rezim Pol Pot di kenal memiliki The Killing Fields atau ladang pembantaian, maka di Aceh dikenal pula ‘Bukit Tengkorak’. Di Aceh, jumlah ladang pembantaian yang besar ada 35 titik, ini jauh lebih banyak ketimbang ladang pembantaian di Kamboja. Begitu banyak kekejaman dan kebiadaban yang ditimpakan rezim Soeharto terhadap muslim Aceh. Sehingga, jika dijadikan buku maka bukan mustahil, riwayat tragedi Aceh akan menyamai tebalnya jumlah halaman koleksi Iskandariyah sebelum dibakar habis pasukan Mongol.

Dari ribuan kasus kejahatan HAM di Aceh, salah satunya adalah tragedi yang menimpa Teungku Bantaqiah pemimpin dayah (pondok pasantren) Babul Al-Nurillah di Beutong Ateuh, Aceh Barat pada 23 juli 1999 silam. Ironisnya, walau secara resmi DOM sudah di cabut, namun kekejaman dan kebiadaban yang menimpa muslim Aceh tidaklah surut.

Lengsernya Soeharto pada Mei 1998 tidak berarti lengsernya sistem dan tabiat kekuasaan represif ala Orde Baru. Para presiden setelah Soeharto seperti Bj Habibie, Abdurrahman Wahid (Gusdur) , Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono semua pada kenyataannya malah melestarikan sistem Orde Baru ini, salah satu buktinya adalah KKN yang di era reformasi ini bukannya hilang, namun malah berkembang penuh inovasi.

Feri Kusuma, Salah seorang aktivis untuk orang hilang dan tindak kekerasan, menulis secara khusus tentang tragedi Teungku Bantaqiah. dalam artikel berjudul : "Jubah Putih di Beutong Ateuh". Berikut ini adalah beberapa kutipan dari artikel tersebut.

Beutong Ateuh- memiliki sejarah yang cukup panjang, daerah ini di bangun sejak masa Kolonial Belanda, begitu penduduk Beutong bersaksi.

Kecamatan Beutong terdiri dari empat desa yaitu: Blang Meurandeh, Blang Pu Uk, Kuta Teungoh dan Babak Suak. Geografisnya cocok untuk bersantai sambil menikmati panorama alam yang indah, di daerah yang terletak diantara dua gunung mengalir sungai Beutong yang sejuk dan jernih, pengunungan yang mengelilingi Beutong termasuk gugusan bukit barisan.

Era muslim yang pernah mengunjungi hutan belantara pada tahun 2001, dua tahun sesudah tragedi menjumpai kondisi yang sangat mengenaskan itu, Beutong Ateuh terletak di perbatasan Aceh Tengah dan Aceh Barat.

Dari Ule Jalan Beutong Ateuh, kita akan melewati pos kompi batalyon pembunuh 113/jaya sakti yang terletak diareal kelapa sawit. Di areal kompi ini tepatnya di gapura terrpasang papan pengumuman berisi tulisan "Tempat Latihan Perang TNI" sekitar 10-km dari kompi itu terpancang sebuah petunjuk jalan yang bertuliskan "Simpang Camat" tanda menuju ke sebuah pemukiman, namun tidak ada sebuah rumah pun di daerah ini sejauh mata memandang hanya tampak rerimbunan pohon besar di atas bukit dan jurang yang menganga. Tak heran jika Cut Nyak Dhien dan pasukannya memilih hutan ini sebagai pertahanan terakhir.

Teungku Bantaqiah, mendirikan pasantren di Desa Blang Berandeh pada tahun 1982 dan memberinya nama Babul Al-Nurillah. Abu Bantaqiah begitu para murid memanggilnya. Dia adalah alim ulama yang disegani dan dihormati, beliau mengajarkan ilmu agama, seni bela diri dan juga perkebunan dengan menanam berbagai sayuran untuk digunakan sendiri. Di pasantren ini para santrinya kebanyakan adalah mereka yang pernah melakukan tindakan-tindakan yang tidak baik untuk dirinya dan orang banyak.

Menurut Teungku Bantaqiah, “Untuk Apa Mengajak Orang Yang Ada Di Dalam Masjid, Justru Mereka Yang Masih Di Luar Masjidlah Yang Harus Kita Ajak”. tulis Feri Kusuma di artikelnya itu.

Beliau adalah ulama yang teguh pendirian, sederhana dan tidak goyah dengan godaan duniawi. Baginya dunia ada dalam genggamannya bukan dihatinya, mungkin sebab itu beliau pernah menolak bergabung sebagai anggota MUI Cabang Aceh. Beliau juga tidak bersedia masuk ke partai politik mana pun, baginya partai ALLAH sudah melebihi dari cukup dengan mengajar ilmu agama. Tidak dengan yang lain. Sebab itu beliau pun pernah di fitnah oleh orang yang berseberangan dengan dirinya, ia dituduh mengajar kesesatan, dan pada tahun 1985 di cap dengan sebutan Jubah Putih.

Pemerintah Aceh coba melunakkan sikap Teungku Bantaqiah dengan membangun sebuah pasantren untuknya namun lokasinya di Kecamatan Beutong Bawah, jauh dari Babul AL-Nurillah. Ini membuatnya menolak "Pasantren Sogokan" tersebut. Hal ini membuat hubungan beliau dengan pemerintah setempat kurang ironis.

Beliau lalu di tuduh sebagai salah satu petinggi GAM pada tahun 1992 dan dijebloskan ke penjara dengan hukuman 20 tahun kurungan, namun dibebaskan ketika Bj Habibie menggantikan Soeharto dan menyempatkan diri ke Aceh.

Hal ini tidak puas hati pada tentara didikan Soeharto, walau tiada bukti di mata tentara, Teungku Bantaqiah adalah sama saja dengan kelompok bersenjata Aceh yang tidak mau menerima Pancasila sebab itu keberadaannya harus dienyahkan dari negeri Pancasila ini.

Para militer Soeharto itu lupa atau mungkin tidak tahu. Berabad-abad sebelum pancasila, ber abad-abad sebelum NKRI lahir, Nangroe Aceh Darussalam (NAD) sudah menjadi sebuah negeri merdeka dan berdaulat lengkap dengan Qanun "Mahkota Alam", sebuah institusi yang sangat lengkap bahkan jauh lebih lengkap ketimbang UUD 1945 yang di amandemen tahun 2002.

Jum'at pagi 23 juli 1999. TNI dan Brimob sudah bergerak diam-diam mendekati pasantren dengan perlengkapan tempur garis pertama, yang berarti senpi sudah terisi amunisi siap tembak. Jam 08:00 WIB TNI dan Brimob sudah berada di seberang sungai dengan alasan mencari GAM. Jam 09:00WIB Aparat Soeharto membakar rumah penduduk yang letaknya 100 m dari pondok pasantren. Satu jam kemudian, aparat Soeharto sudah mulai bergerak ke pasantren dengan seragam tempur lengkap dengan senjata serbu laras panjang, wajah di pulas dengan cat kamuflase berwarna hijau dan hitam. Mereka mengepung pasantren berteriak-teriak dan mencaci-maki sang ulama dengan segera diminta untuk menemui mereka.

Menjelang waktu sholat Jum'at biasanya para santri berkumpul dengan sang ulama guna mendengar nasehat dan ilmu agama. Mendengar teriakan aparat Soeharto dengan menyebut namanya Bantaqiah. Beliaupun datang bersama seorang muridnya untuk menemui pasukan itu. Aparat tidak sabar, mereka merangsek ke dalam memerintahkan sumua santri laki-laki untuk berkumpul di lapangan dengan berjongkok menghadap sungai.

Dengan suara keras aparat mengancam meminta semua senjata yang dimiliki sang teungku untuk dikeluarkan, Teungku Bantaqiah bingung karena memang tidak memiliki senjata apapun kecuali hanya pacul dan parang yang sering digunakan untuk berkebun.

Aparat Soeharto tidak percaya dengan keterangan sang ulama. Sebuah antena radio pemancar yang di pasang di atap pasantren dijadikan bukti oleh aparat jika selama ini sang teugku menjalin hubungan dengan GAM. Padahal itu hanya antena radio biasa.

Komandan pasukan memerintahkan agar antena radio tersebut dicopot dengan menyuruh putra sang ulama bernana Usman untuk menaiki atap pasantren. Usman langsung menuju kerumahnya untuk mengambil peralatan, namun sebelum ia mencapai rumahnya yang jaraknya hanya tujuh meter, salah seorang anggota tentara memukul Usman dengan popor senapang. Ujar Feri Kusuma dalam artikelnya.

Melihat anaknya jatuh secara refleks sang ulama berlari mendekatnya hendak menolong, tiba-tiba tentara menondongnya dengan senjata yang di lengkapi pelontor boom. Akhirnya sang ulama pun meninggal bersama putranya Usman". Selain itu, dengan membabi buta, aparat jendral Soeharto ini mengalihkan tembakan ke arah kumpulan santri. Lima puluh enam santri langsung bertumbangan.

Tanah Aceh kembali disiram darah syuhadanya.

Santri yang terluka dinaikkan ke truk dengan alasan akan diberi pengobatan dan yang masih hidup di minta berbaris lalu naik ke truk yang sama. Truk ini bergerak menuju Takengon, Aceh Tengah yang berada di tengah rimba.

Dalam perjalanan menuju Takengon para santri diturunkan di kilometer tujuh, mereka diperintahkan berjongkok di tepi jurang, tiba-tiba seorang santri langsung terjun dan hilang di dalam rimba hutan lebat di bawah sana sedangkan para tentara mengguyuri hutan itu dengan tembakan. Nasib para santri yang tersisa tidak diketahui hingga kini, kuat dugaan para santri ini di bantai dan di buang ke jurang oleh pasukan itu.

Sore hari, aparat Soeharto mengamuk lagi di pasantren, menghancurkan semua yang ada dan membakarnya tanpa menghiraukan Kitab Kuning, Al-Qur’An dan Surah Yassin. Semua mereka musnahkan termasuk ayat-ayat suci Allah di Al-Qur’an yang ada di dalam pasantren, setelah puas mereka kembali ke barak dengan sejumlah truk meninggalkan warga yang tersisa yang hanya bisa menangis dan berdo'a.

Sampai detik ini tidak ada seorang pun pelaku pembantaian di pondok pasantren milik almarhum sang syuhada Teungku Bantaqiah dan pengikutnya (santrinya) yang diseret ke pengadilan. Tidak ada satupun komandan pasukan pembantaian itu yang dimintai pertanggungjawaban atas ulahnya membunuh ulama dan membakar Al-Qur’An sampai ke hari ini. Para pelakunya masih bebas berkeliaran mungkin sedang menanti hukum Allah.

Tragedi Beutong Ateuh hanyalah satu di antara jutaan tragedi kekejaman rezim Soeharto terhadap muslim Aceh.

“Aceh as beautiful as a painting in history throughout the centuries”. Inilah perkataan sahabat saya orang asli Aceh bernama Abbas Mereuh Aneuk Atjeh (fb)

-------- Sumber artikel saya di atas : fanspage Bioarabasta.

======================================

Salam Kebaikan Jiwa Raga!

======================================

Lipul ‘El Pupaka’

- [ILUSILOGI ]#PenaIlusi #PenaSenja -

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun