[caption id="attachment_306436" align="alignnone" width="600" caption="ilustrasi (twitter.com)"][/caption]
/-/ : Di tubuh Mu'allaqat dan Mufaddaliyat Aku tersudut di pojok bumi yang maha luas. Menyaksikan mimpi semua insan menjadi nyata. Lalu aku terlolong, menapaki udara yang kian parau menghunus tenggorokanku yang tak mampu lagi berucap apalagi menjerit. Memanggil mimpi dan khayalku yang terus menghilang.
/-/ : Di tubuh Mu'allaqat dan Mufaddaliyat Mendapatiku teronggok dengan kebodohan, kenaifan dan kesiaan. Menyadariku ada hanya dalam kegagalan dan tak berpengharapan. Aku tak dapat mendaki, karena bukit itupun tak pernah ada. Aku terengah menyusuri jalanku yang ternyata hanya gumpalan kabut menengadah langit. Bayanganku lumat terbakar oleh kekuatan matahari. Angin merepihku dan kemudian berlayar seraya membawa gunungan mimpi dan khayalku.
Pada ilusi ruang klise, sayapku tak dapat terbang, karena memang dia tak pernah ada. Kakiku tak dapat menapak, karena dia sudah lumpuh sejak lama. Hanya tangan lelahku yang terus bergerak untuk menggapai, mengepak dan melangkah. Namun kegagalan dan selalu kegagalan yang di raih.
/-/ : Di tubuh Mu'allaqat dan Mufaddaliyat Aku tersudut di pojok bumi yang maha luas. Meringkuk tangis, telanjangi diri mensyukuri kehinaan pada sisa makhluk akhir zaman atasku. *^*
NB : Mu'allaqat dan Mufaddaliyat adalah dua karya sastra besar dari sastrawan Jahiliyah Arab di zaman Rasulullah SAW. Dalam dua sastra ini terdapat tradisi unik para penyair di sekitar Ka'bah mereka menggantung puisi-puisi terbaik mereka di dinding Ka'bah sebagai simbol kebesaran dan kebanggaan suku atau ras masing-masing.
Bengkulu, 31 Desember 2013, 04:47:39 WIB
Yo Soy El Mejor Para Ti...! Lipul El Pupaka ~ #PenaIlusi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H