Akhir tahun 2019 dunia mulai dibuat was-was dengan menyebarnya sebuah virus mematikan dari Wuhan china. Virus ini tidak membutuhkan waktu lama menjadi momok yang menakutkan bagi seluruh masyarakat dunia tidak terkecuali Indonesia yang juga merupakan salah satu negara yang terdampak dengan virus ini, dimana hal ini mempengaruhi semua sektor baik ekonomi, pemerintahan dan sosial terlebih lagi pendidikan. Dalam bidang pendidikan diberikan alternatif pembelajaran karena pembelajaran tatap muka tidak bisa lagi dilakukan, altrenatif yang dilakukan diantaranya adalah pembatasan sosial baik bersekala besar ataupun kecil, pembelajaran via daring, pelaksanaan protokol kesehatan di lingkungan sekolah, aktivitas sekolah dibatasi dan masih banyak lagi. mengingat virus ini belum terlalu dikenal sehingga membutuhkan penelitian yang mendalam dan ilmuan masih dalam usaha menemukan vaksin yang benar-benar mampu menjaga kekebalan tubuh dari Virus tersebut yang dikenal dengan sebutan COVID 19.
Menyikapi hal yang demikian, pendidikan sebagai salah satu kebutuhan manusia demi menjalankan dan mempersiapkan kehidupanya berupaya semaksimal mungkin untuk tetap dijalankan. Mulai dari mengganti pembelajaran dengan sistem daring sampai kepada pelaksanaan pembelajaran tatap muka yang dimodifikasi. Guru juga melakukan inovasi-inovasi yang diharapkan mampu melaksanakan tanggung jawab pembelajaran dengan semaksimal mungkin. Inovasi pelaksanaan pembelajaran dilakukan dengan onlinenisasi segala bentuk interaksi antara peserta didik dan guru. Mulai banyak sekali aplikasi yang melakukan inovasi guna memenuhi kebutuhan pembelajaran daring ini. Dominasi penggunaan aplikasi yaitu Whatsapp dan Google beserta produk miliknya. Inovasi juga dibebankan kepada guru dimana guru tidak hanya harus bertransformasi menjadi editor video dan foto namun juga harus siap mengajar dengan segala keterbatasan baik media ataupun jaringan.
Kurangnya ketersediaan jaringan menjadikan pembelajaran yang dilakukan tidak maksimal, hal ini juga mempengaruhi kemampuan peserta didik baik pada bidang kognitif, psikomotorik dan juga afektif. Pada bidang kognitif peserta didik yang awalnya diajarkan langsung mendapatkan bimbingan dari guru, menjadi pembelajar mandiri dan penerapan kooperative learning memang sangat terasa. Perubahan ini memberikan efek kepada banyaknya keluhan peserta didik yang tidak bisa memahami materi dengan baik karena kurangnya bimbingan baik dari guru maupun orang tua. Pada sisi orang tua tidak sedikit yang berkeluh kesah karena model pembelajarannya berbeda dengan apa yang diajarkan kepada orang tua ketika menginjak usia yang sama dengan putra putrinya.
Bidang psikomotorik juga menjadi terganggu, tidak sedikit peserta didik yang melimpahkan aktivitasnya pada game online, aplikasi tiktok dan masih banyak lagi aktivitas peserta didik yang tidak memerlukan gerak. Kurangnya gerak pada peserta didik juga menjadi penyebab ketergantungan peserta didik pada gawai mereka masing-masing. Selain menjadi tuntutan untuk mengakses pembelajaran yang dilakukan, gawai juga menjadi sumber informasi yang tidak terbendung sehingga jika tidak terdapat peran orang tua di dalamnya, maka ini akan menjadi dua sisi mata pisau yang siap membantu peserta didik memotong pita kemenangan atau malah memotong tali masa depannya.
Kurangnya aktivitas fisik peserta didik diperparah dengan kebijakan PPKM atau Lockdown lokal yang diintruksikan oleh pemerintah daerah. Masyarakat dilarang melakukan aktivitas berkerumun, interaksi yang sangat dibatasi dan larangan keluar rumah jika tidak sedang dalam urusan yang mendesak membuat peserta didik terkurung dirumahnya dan aktivitas kesehariannya hanya memperhatikan gawainya dan mencari informasi apapun yang diinginkannya.
Kemudian pada bidang afektif atau berkaitan dengan sikap peserta didik ini menjadi tantangan tersendiri. Aktivitas pembelajaran secara daring yang diberlakuan lebih dari satu tahun meniscayakan peserta didik tidak mengenal gurunya secara mendalam. Interaksi yang hanya dilakukan melalui gawai menjadikan peserta didik tidak terlalu memperdulikan apa yang diajarkan terlebih lagi jika orang tua tidak ikut andil dalam mengawasi tugas yang diberikan. Aktivitas menyepelekan akan meningkat dan juga hal ini akan memperkeruh keadaan dimana pengguna jejaring sosial masyarakat indonesia sudah tergolong menghawatirkan baik dalam hujatan atau kurangnya pemahaman akan berita hoax.
Perlu dipahami pahwa keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotorik juga dipengaruhi oleh kondisi afektif peserta didik. peserta didik yang memiliki minat belajar dan sikap positif terhadap pelajaran akan merasa senang mempelajari mata pelajaran tertentu, sehingga mencapai pembelajaran yang optimal. Walaupun para guru paham akan hal ini, namun belum banyak tindakan yang dilakukan guru secara sistematik untuk meningkatkan minat peserta didik. Oleh karena itu untuk mencapai hasil belajar yang optimal, dalam merancang program pembelajaran dan kegiatan pembelajaran bagi peserta didik, guru harus memeperhatikan karakteristik afektif peserta didik. selain itu guru perlu memperhatikan etika peserta didik dalam menjalankan aktivitas pembelajaran yang dilakukan. Sebagai aktivitas mendidik peserta didik juga ditekankan untuk memiliki etika yang baik dalam mengikuti pembelajaran yang dilakukan guru sehingga etika ini menjadi hal yang sangat penting untuk ditingkatkan.
Problematika yang terjadi sampai saat ini adalah ketika manusia memiliki kemamapuan kognitif yang mumpuni kemampuan psikomotorik yang baik namun afektifnya kurang. Hal ini dapat terlihat ketika memandang berita mengenai banyaknya koruptor yang tidak segan memakan uang rakyat padahal mereka adalah wakil rakyat yang tidak mungkin bodoh. Bahkan kadang pemuka agama yang seharusnya menjadi contoh yang baik khususnya dalam bidang afektif karena sering menjelaskan mengenai materi tentang etika masih juga bisa tersandung kasus yang mencoreng nama baiknya karena berkaitan dengan etika. Prihal psikomotorik tidak sedikit atlet, musisi yang memiliki bakat yang baik di bidang yang ditekuni tergoda dengan obat obatan terlarang, padahal penggunaan obat-obatan ini sudah dilarang baik oleh negara maupun agama. ketika kode etik agama dan negara dilanggar maka mereka sudah tidak lagi bertindak sesuai dengan nilai etika yang berlaku di masyarakat sudah tidak lagi melaksanakan aktivitas yang baik dan benar sehingga ini sudah bisa dikatakan melanggar etika yang berlaku di masyarakat. Maka dari itu mulai dari saat ini perlu adanya pembinaan bidang etika  atau efektif peserta didik sehingga tercipta manusia yang tidak hanya cerdas namun juga memiliki etika dalam menjalankan tanggung jawabnya.
Selain dalam pelaksanaan pembelajaran guru juga harus bisa merancang evaluasi atau penilaian yang baik. Penilaian pada ranah afektif saat ini dirasa kurang diperhatikan, hal ini terlihat ketika guru hanya menilai hasil peserta didik yang mengerjakan tugas yang dibagikan melalui whatsapp ataupun google class. Tidak ada tolak ukur penilaian peserta didik dalam bidang etika ketika mengikuti pembelajaran, tidak ada evaluasi yang bisa dijadikan tolak ukur untuk mengevaluasi aktivitas afektif peserta didik, kontrol yang kurang dan juga tidak adanya panishmen yang efektif digunakan untuk meningkatkan bidang afektif peserta didik. hukuman secara fisik yang mendidik juga kurang bisa memberikan efek jera kepada peserta didik, misalnya model hukuman untuk menghafalkan sesuatu jika peserta didik tidak menghafalkannya akan ditambah lagi hafalannya ini tidak lagi begitu efektif peserta didik saat ini dominan acuh akan hal itu dan berfikir mudah, jika tidak dilaksanakan ditambah jika ditambah dan dirasa berat maka yasudah tidak usah sekolah. Hal ini menjadi dilematisasi guru dan juga pihak sekolah, di satu sisi ingin mencerdasakan peserta didik dan menanamkan sikap afektif namun di gampangkan oleh peserta didik dan jika memberikan hukuman untuk mengeluarkan dari sekolah maka akan ada teguran dari dinas terkait.
Ranah afektif terkadang malah menjadi tujuan utama pembentukan dalam guruan. Â Hal ini misalnya ditunjukkan di pondok pesantren dimana habbituasi yang diberikan mengarah kepada pembentukan etikaul karimah santrinya. Kehidupan yang ada di pondok pesantren selama 24 jam mengharuskan santri untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan apa yang sudah diajarkan dengan pengurus yang setia memberikan pengawasan kepada peserta didik. namun ini berbeda dengan pembelajaran yang ada di sekolah dimana guru hanya memberikan beberapa jam pelajaran yang digunakan untuk membentuk etika peserta didik. dan inipun masih harus terpotong ketika masa pandemi. Jam pelajaran dikurangi, materi disederhanakan dan tujuan pembelajaran lebih mengarah kepada pemenuhan pengetahuan peserta didik saja, selebihnya dari itu guru tidak memperhatikannya lagi. Maka dari itu ini juga membuktikan kelemahan sekolah model klasikal yang dilaksanakan di Indonesia ini bahkan di seluruh dunia.
Sekolah juga demikian dimana pengembangan ranah afektif atau etika sama besarnya dengan pengembangan ranah kognitif. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya aturan yang harus ditaati peserta didik demi menciptakan manusia yang disiplin dan berbudi luhur. Pemberian aturan baik tertulis maupun aturan yang sudah membudaya membuat peserta didik harus bisa mengikuti aturan yang ada dan juga tidak lupa memperhatikan aturan yang tidak terlihat, misalnya menyapa guru meskipun ini tidak masuk ke dalam aturan secara tertulis namun kesopanan kepada guru merupakan hal yang wajib dilakukan oleh peserta didik. patuh kepada guru juga harus dilakukan dimana bentuk patuh ini tidak hanya menegrjakan apa yang diperintahkan, namun mengerjakan sebaik baiknya juga menjadi bentuk kesempurnaan kepatuhan itu sendiri.
 Tujuan dikembangkannya etika merujuk kepada pengertianya dimana etika muncul sebagai cabang ilmu filsafat mengarah kepada bagaimana kita seharusnya berprilaku dalam hidup dan bagaimana kita menjalani hidup. Ranah perilaku ini memunculkan pengertian bahwa etika merupakan moral etika juga diartikan dengan sopan santun atau juga diartikan dengan tindakan baik dimana hal ini tidak sepenuhnya salah.  Munculnya etika digunakan untuk menjawab pertimbangan kategoris dalam kehidupan manusia kaitanya dengan baik atau buruk, benar atau salah menurut aturan moral yang berlaku.
Pada lembaga guruan berkaitan dengan perilaku peserta didik menghormati guru dengan cara berkomunikasi dengan baik, memperhatikan apa yang sedang dijelaskan, mengerjakan apa yang menjadi tugasnya dan masih banyak lagi merupakan nilai baik yang harus ditanamkan dan dicontohkan oleh seorang guru baik secara langsung maupun tidak. Sebenarnya hal ini tidak hanya harus dilakukan dan dicontohkan oleh guru mengingat intensitas pertemuan yang hanya beberapa saat saja di sekolah maka hal ini mengharuskan orang tua juga memberikan didikan prihal etika. Terlebih ketika  pembelajaran dilaksanakan secara daring. Intensitas pertemuan peserta didik dan guru ketika pembelajaran daring sangat terbatas malahan bisa jadi untuk bertemu secara tatap muka, siswa dan guru hanya bisa bertemu seminggu sekali maksimal atau bahkan sebulan sekali. Ini mengakibatkan guru tidak bisa memberikan uswatun hasanah secara langsung kepada peserta didik. pertemuan sendiri dalam term islam merupakan hal yang wajib bahkan dalam term yang biasa di pondok pesantren, asalkan bertemu secara tatap muka mau tidur mengantuk atau yang lainnya dalam suatu pembelajaran tetap saja lebih baik daripada belajar sendiri. Maka dari itu intensitas tatap muka memang sangat diperlukan untuk mendidik etika peserta didik.
Pelaksanaan guruan daring memeberikan hambatan baik kepada guru maupun kepada peserta didik dalam bidang kognitif terlebih pada bidang afektif. Posisi guru yang tidak bisa bersinggungan langsung dengan peserta didik mengurangi kekuasaan guru dalam memberikan pengaturan dan guruan prihal etika ini. Misalnya ketika dalam pelaksanaan pembelajaran peserta didik mengikutinya dengan makan atau minum maka hal ini tidak lagi menjadi suatu hal yang bisa dihindari dan mendapatkan teguran secara langsung, bentuk hukuman juga masih paradoks dimana hukuman yang diberikan tidak secara langsung bisa dilakukan oleh peserta didik. peserta didik hanya akan melakukan itu jika sosok guru memang hadir dan nyata di depannya. Selain itu etika peserta didik berkaitan dengan tanggung jawabnya dalam menyelesaikan tugas yang diberikan, ketika peserta didik tidak menyelesaikan tugas pada saat itu guru hanya bisa mengancamnya dari sisi nilai dimana hal ini menanamkan pragmatisme kepada peserta didik. peserta didik yang mengerjakan tugas mendapatkan nilai dan jika tidak maka tidak akan mendapatkan nilai. Belum ada inovasi lainnya yang bisa dilakukan guru untuk mengantisipasi hal ini.
Bentuk lainnya yang bisa dilihat ketika pelaksanaan pembelajaran peserta didik tidak memperhatikan pelajaran yang dilakukan oleh guru. Hal ini dapat diketahui melalui banyaknya peserta didik yang tidak mau menonton video ataupun membaca materi yang diberikan oleh guru, peserta didik biasanya hanya melihat awal video dan kemudian merasa bosan. Jika materi yang diberikan berbentuk file, maka hanya akan di download saja tidak kemudian membacanya. Hal yang demikian membuktikan bahwa kesadaran akan tanggung jawab peserta didik sebagai pelajar yang seharusnya belajar belum tertanam dengan baik di dalam jiwanya.
Etika yang ditampilkan peserta didik ini mencerminkan lemahnya guruan dalam membina etika dan juga evaluasi yang wajib dilakukan secara terus menerus. Etika yang muncul ketika pembelajaran daring memang tidak bisa disamakan dengan ketika pembelajaran tatap muka. Misalnya ketika sedang berlangsungnya pembelajaran secara tatap muka di layar gawai masing-masing, peserta didik tidak bisa mengikuti karena ada permasalahan jaringan, maka ini suatu hal yang perlu dimaklumi. Permasalahan jaringan ini mengakibatkan peserta didik tidak bisa meminta izin atau mengabari guru dan teman sebayanya untuk memberikan informasi bahwa dirinya sedang dalam fase tidak memiliki jaringan. Selain itu fleksibilitas juga menjadi salah satu yang perlu ada di pembelajaran daring ini. Maksudnya yaitu pelaksanaan pembelajaran melalui video conference misalnya tidak bisa sepenuhnya melarang aktivitas lainnya yang sedang dikerjakan oleh peserta didik selama aktivitas itu tidak mengalihkan perhatian peserta didik. misalnya ketika sedang dalam pembelajaran peserta didik diperkenankan untuk pergi mencari reverensi tambahan berupa buku yang dimilikinya, peserta didik tidak diharuskan duduk dengan tenang dan rapi, belajar sambil rebahan selama peserta didik paham akan pembelajaran yang disampaikan juga menjadi salah satu yang masih bisa dimaafkan. Maka dari itu fleksibilitas ini menjadi salah satu hal yang perlu ditekankan pada guru dan menjadi pedoman dalam pelaskanaan pembelajaran daring. Namun batasan fleksibilitas ini  masih perlu dikaji ulang, sehingga tidak sampai kepada hal hal yang memang seharusnya mendapat teguran namun karena dibingkai dalam fleksibilitas menjadi suatu hal yang wajar.
Pembelajaran yang dilaksanakan dengan menggunakan media daring ini memang perlu dikaji ulang secara mendalam. Kaitanya dengan etika dirasa sudah menjadi lahan pendegradasian etika peserta didik baik ketika pelaksanaan pembelajaran bahkan sampai kepada etika peserta didik ketika melaskanakan kehidupan kesehariannya. Pelaksanaan pembelajaran yang tidak langsung di awasi oleh guru menghadirkan sikap peserta didik yang sewenang-wenang terhadap materi yang diberikan. Kedekatan emosional yang tidak terjalin dengan baik antara guru dan peserta didik juga memutuskan rasa hormat peserta didik dengan meremehkan materi yang diberikan oleh guru. Tidak adanya bentuk hukuman yang lain selain pada pengurangan nilai juga tidak bisa dilakukan secara langsung.
Selain itu kurangnya pengawasan orang tua dalam pelaksanaan daring ini baik itu dikarenakan ketidak mampuan orang tua dalam mengikuti pembelajaran daring atau karena memang orang tua tidak perduli dengan pembelajarannya membuat peserta didik menjadi orang yang berjalan sendiri mengarungi lautan pembuktian dan pencarian jati diri. Wadah yang tidak bisa ditemukan oleh peserta didik untuk mengaktualisasikan apa yang diinginkannya mengarah kepada gawai yang menyediakan apa saja yang diinginkannya sehingga peserta didik lebih merujuk kepada gawainya dari pada kehidupan yang sesungguhnya. Gawai yang menyediakan segala hal tanpa adanya filter membuat peserta didik menjadi acuh dan antisosial tidak sedikit peserta didik yang menajdi kecanduan game sehingga mengakibatkan tidak tanggung jawab pada materi yang diberikan oleh guru.
Tugas peserta didik sebagai anak juga tidak dilaksanakan dengan baik, tidak sedikit orang tua yang mengeluhkan anaknya yang lebih tertuju kepada gawainya daripada orang yang ada di sekelilingnya. Biaya yang dikeluarkan untuk membeli paket data agar gawai bisa digunakan untuk melaksanakn pembelajaran online seringnya porsinya lebih banyak digunakan untuk hal lainnya seperti menonton video yang disukai, membuka aplikasi yang tidak dibutuhkan dan bermain game sehingga memakan data yang besar dan cepat habis.
Pelaksanaan pembelajaran daring memang dirasa memproduksi manusia yang antisosial dan juga lemah akivitas. Antisosial ini jika berlangsung lama maka tidak hanya kehidupan kota saja, kehidupan desa juga disulap menjadi masyarakat yang acuh akan tetangganya sehingga rasa tenggang rasa dan juga gotong royong akan terkikis dan hilang dari permukaan. Hilangnya hal hal baik yang berkaitan dengan kerjasama fisik dan terciptanya masyarakat baru dimana pelaksanaan kerjanya hanya di depan gawainya. Hilangnya kompetensi peserta didik yang berkaitan dengan kerja fisik karena kesehariannya hanya terpaku pada gawai dan apa yang dilihat hanyalah apa yang diinginkannya bukan apa yang dibutuhkannya.
Kiranya semua permasalahan ini menjadi revleksi kita bersama, meskipun pemerintah sudah memberikan ijin untuk melaksanakan sekolah tatap muka pada juli 2021 namun tidak menutup kemungkinan pembelajaran online akan dilaksanakan kembali mengingat pandemi covid 19 masih terus berkembang dan bermutasi. Orang tua dan guru seharusnya bersinergi bersama dalam mengembangkan potensi anak baik dari sisi akademiknya maupun sikap mentalnya. orang tua dengan porsi yang lebih besar sudah tidak bisa lagi lepas tangan menyerahkan seluruh guruan anak kepada guru. Orang tua seharusnya mulai berperan serta dalam membina mental dan sikap anak untuk selalu melaskanakn tugasnya sebagai pembelajar. Sehinga tidak hanya akan tercipta peserta didik yang baik. Namun juga peserta didik yang cerdas dan beradab.
Guru juga perlu merancang pembelajaran kembali. Hal ini dikarenakan materi yang tidak terserap secara maksimal ketika pembelajaran online akan berpengaruh kepada pelaskanaan pembeljaaran tatap muka. Pembeljaaran tatap muka yang akan dilaksanakan juli ini menjadi PR tersendiri bagi guru. Kebiasaan dan etika peserta didik yang sudah terpengaruh oleh kebiasaan ketika pandemi akan mempengaruhi sikapnya ketika di sekolah. tidak bisa guru mengharapkan etika yang sama seperti yang sebelumnya ketika sebelum ada pandemi. Sekala maksimalitas kenakalan yang ada pada peserta didik harus menjadi pertimbangan dan kemudian guru merancang segala hal yang digunakan untuk menangani peserta didik. meskipun ini hanya refleksi dan antisipasi kiranya menjadi hal yang menjadi prioritas untuk dipertimbangkan.
PENULIS: SEPTY NURUL ARYANI - IAIN KUDUS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H