Sewaktu SMP saya pernah dekat dengan seorang teman. Sebut saja dia Bunga. Tapi, Bunga ini bukan penjual bakso boraks ya. Jadi, suaranya nggak perlu dikaburkan. Hehe..
Saya selalu ingin dekat dengan dia. Bukan karena saya penyuka sesama jenis, tapi karena Bunga ini pintar dan rajin banget. Aku rasa semua guru kenal dia karena ya biasalah, murid yang paling dikenal guru di kelas itu kan murid yang terpintar.
Untuk mata pelajaran matematika, fisika, biologi, Bahasa Inggris, ekonomi, Bunga memang jago. Bahkan saya bisa katakan hampir semua mata pelajaran akademis, Bunga selalu dapat nilai paling baik.
Selama 1 tahun sekelas dengan Bunga, saya duduk di bangku depan Bunga. Alasannya, supaya saya selalu dekat dengan dia. Memang apa sih keuntungannya kalau saya dekat dengan Bunga?
Begini, di kelas itu guru sering memberi tugas kelompok. Kalau kelompoknya bebas alias boleh pilih sendiri, saya berusaha untuk bisa satu kelompok dengan Bunga. Karena dia pintar dan saya selalu ingin memanfaatkan kepintarannya itu.
Sstt, saya sendiri bukan murid yang pintar. Saya tidak pernah benar-benar antusias mengikuti proses pembelajaran selama sekolah. Saya dulu juga murid yang pasif.
Kalau saya satu kelompok dengan Bunga, maka saya nggak perlu mikir! Buat apa saya mikir ngerjain tugas, kan ada Bunga yang jauh lebih pintar. Kontribusi pemikiran saya pun akan dianggap nol oleh Bunga. Kalau dipikir-pikir saya sewaktu SMP ternyata picik ya pikirannya, hehe.
Saya harap sekarang tidak ada murid yang picik seperti saya. Karena Bapak-Ibu guru mengelompokkan kita dengan tujuan murid-murid bisa berbagi pengalaman dan pengetahuan. Bukan merugikan si pintar atau mengenakkan si bodoh.
Tapi, ya mau gimana lagi. Saya itu orangnya males mikir! Kalau satu kelompok dengan Bunga, saya akan ambil peran sebagai sekretaris alias tukang mencatat. Cukup mendengarkan dan mencatat apa yang Bunga katakan, itu berarti saya sudah ikut andil dalam tugas kelompok.
Bunga dan kehidupannya
Sebagaimana anak pintar pada umumnya, Bunga itu kadang pelit. Kalau diminta ngajarin selalu bilang nggak bisa. Kalau hari ini ada ulangan selalu bilang belum belajar. Tapi, tahu-tahu pas nilai diumumkan dia dapat nilai paling tinggi. Saya yang percaya dengan omongan Bunga dan merasa aman karena ada teman yang belum belajar, eh malah dapat nilai jelek. Harus mengulang sendirian deh.
Ya begitulah kisah nahas dari seorang yang prestasi akademisnya biasa-biasa saja, bahkan cenderung jeblok. Saya sama sekali tidak bangga dengan hal ini. Tapi, saya juga tidak minder. Karena saya percaya tiap orang punya kelebihan masing-masing. Kalau Bunga otaknya tokcer omongin soal akademis, saya juga punya kelebihan lain yang sekarang menjadi profesi.