Namun, di balik usahanya menampilkan sesuatu yang keren, tersembunyi jiwa yang sakit. Jiwa yang perlu diangkat penyakit narsisnya. Jiwa yang harus diajari bagaimana caranya mengenali nilai dalam diri. Sehingga, tak lagi berusaha membentuk citra diri keren melalui media sosial, tapi berubah menyibukkan diri menggali potensi. Karena orang yang benar-benar keren dan bernilai tak perlu menceritakannya pada dunia. Sebaliknya, dunialah yang akan menceritakan kisahmu dengan sendirinya.
Menjadi Orangtua Siaga
Dunia berubah begitu cepat dan didominasi oleh ketidakpastian. Ini akan menjadi perubahan yang menakutkan bagi mereka yang tak mempersiapkan diri dengan baik. Mereka yang tak mampu mengenali potensinya, tak mau belajar sejarah, malas membaca situasi, tak bersikeras menggali ide, dan bangga berlebihan pada kerennya tampilan luar akan kesulitan bersaing di dunia yang penuh ketidakpastian ini.
Anak-anak dengan mental tahan banting terhadap perubahan, kontrol emosi yang baik, mampu membuat keputusan tepat, mengenali minat, melatih bakat, dan senantiasa memperbarui kemampuan bisa jadi sedang mengunduh keuntungan sekarang. Berbeda dengan anak-anak yang tak dipersiapkan orangtuanya.
Contohnya seperti tingkah polah remaja dan dewasa muda di atas. Tak lagi simpati pada lingkungan, tak peduli kebermanfaatan hidupnya, yang dipikirkan hanya kesenangan hari ini, bagaimana menghabiskan gaji atau uang saku bulan ini dan foto apa yang harus di-upload malam nanti.
Seperti pisau dapur yang menjadi baik jika digunakan untuk mengupas apel, bisa juga menjadi jahat jika digunakan untuk menusuk perut orang. Media sosial sebagai salah satu produk teknologi pun bersifat netral. Baik buruknya tergantung dari individu yang memanfaatkan.
Anak-anak pun tak bisa ketergantungan atau mengunduh dampak negatifnya, jika orangtua yang bertanggung jawab pada pengasuhan dan pendidikan anak mampu mengontrol penggunaan gadget di rumah masing-masing.
Melarang atau membatasi anak bermain media sosial agaknya mustahil jika tak dibarengi dengan melatih bakat mereka. Bayangkan, orangtua melarang anak menggunakan gadget, membatasi waktu bermain games ,tapi tak mengajak anak mendalami hobi atau potensi. Lalu, dengan cara apa anak-anak menghabiskan waktunya? Apakah mereka harus berkutat pada sekolah, PR dan les saja?
Orangtua sendiri sibuk dengan bisnis dan tugas kantor. Jarang meluangkan waktu menyenangkan bersama anak dan berdalih sibuk, tak sempat karena harus kerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Orangtua nampaknya akan kesulitan melarang anak memanfaatkan media sosial. Karena anak-anak kita ini lahir dan berkembang bersama teknologi, maka mereka tak bisa dipisahkan dari produk-produk teknologi. Benar kita mengawasi ketat aktivitas anak di rumah. Tapi, bagaimana dengan lingkungan tempat tinggal dan pergaulannya di sekolah?
Anak-anak kita tak hanya belajar dari keluarganya, tapi juga mengambil pemikiran dari lingkungan sekitarnya. Bagaimana jika anak-anak dekat dengan lingkungan yang tak bertanggung jawab?