“Itu absurd.”
“Kenapa absurd?”
“Karena aku yang sedang bermimpi!”
“Kenapa kau yakin demikian? Sekarang begini, apa kau ingat siapa dirimu sebelum ini?”
Tidak, pria itu tidak ingat apa-apa.
“Namamu?”
Bahkan namanya sendiri ia lupa. Tapi pria itu tidak menjawab, entah mengapa ia merasa harus untuk menunjukan bahwa dia adalah orang yang sedang bermimpi, yang satu-satunya nyata disini. Tapi tidak muncul nama-nama di kepalanya, aneh sekali. Belum selesai berpikir kakek tersebut menepuk pundak pria tadi.
“Aku juga tak tahu apa-apa soal itu, tapi sebelumnya aku juga yakin bahwa aku yang sedang bermimpi, dan mengetahui bahwa tak ada bedanya aku dengan orang-orang disini, aku memutuskan untuk menerima kenyataan pahit ini, dan memutuskan untuk berjalan.”
Pria tersebut terdiam, ia merasa tidak ingin disamai dengan kakek tua ini. Ia berpikir keras keistimewaannya, yang membuat dia berbeda dengan lainnya. Jasnya? Topinya? Tas koper di tangannya? Tidak, tidak ada. Tapi, ah, apa jika dia duduk maka dia istimewa? Tiba-tiba berpikir demikian, muncul pertanyaan mengapa kakek tua ini memutuskan untuk berjalan?
“Mengapa kau memutuskan berjalan?”
“Entah, mencari tujuan mungkin?”