Jika saja aku salah memindahkannya, maka aku membunuhnya.
Jika aku tidak segera menolongnya, dia akan mati.
Tapi jelas, apapun itu, maut lekas dekat.
Lalu dia memang kenalanku, tapi apa dia benar-benar seorang kawan, dia juga bukan karabat, apalagi saudara?
Kuperhatikan di kejauhan, tidak ada mobil yang akan lewat. Tentu hanya aku satu-satunya harapan yang ia miliki. Ia tentu tak mau mati. Tapi aku juga tak mau celaka, jika aku dituduh membunuhnya, berabe sudah.
“Maaf kawanku, aku benar-benar tak bisa menolongmu, bagaimanapun aku akan membuatmu mati, dan aku juga akan rugi!”
“Tolong, aku takkan menyalahkanmu, keluargaku juga pasti akan percaya, apapun itu, aku harus hidup...”
“Maafkan aku, kawan... ah bukan, kenalanku di kantor.”
Lalu aku tinggalkan tubuh yang sudah lemas kehilangan harap itu. Kunaiki mobil lagi, kunyalakan musik, dan mulai berjalan. Kuperhatikan di kaca spion, orang itu sudah kehabisan darahnya dan mati. Benar, maut memang sudah ditenggorokannya.
Mungkin ada benarnya kutinggal ia mati.
Tapi benak tetap merasa ada yang salah.