Mohon tunggu...
Lion Star
Lion Star Mohon Tunggu... Buruh - Undergrad student

Hidup adalah proses belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen ǀ Bubarnya Negeri Kami

22 Maret 2018   04:05 Diperbarui: 22 Maret 2018   04:16 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock.com

Sudah beberapa tahun ini penjualan buah-buahan merosot drastis. Selama tiga generasi, baru kali inilah perkebunan Mang Salak terkena krisis penjualan.  

Hasil produksi bagus, tidak ada yang mau membeli.  Saat mengopi di pinggir kota saat mencoba menjual hasil produksinya,  dia mendengar percakapan orang-orang yang sedang mengopi.   "Jangan makan buah lokal.   

Berbahaya karena seperti engkau makan plastic.", kata orang pertama.   "Yang benar kau,  bagaimana kau tahu?", kata si orang kedua.  "Ini ciri-cirinya,  kata si orang pertama sambil mempertunjukan video singkat yang menceritakan tentang bahaya buah-buahan lokal dari tablet pintarnya.   

Mang Salak tidak tahu bagaimana cerita itu bisa langsung diyakini oleh si orang kedua, padahal yang dia lihat buah tersebut asli di film tersebut, hanya narasinya memutarbalikkan fakta.   Terbayang sudah penawar tanah yang memberikan harga miring, untuk dibangun pemukiman.   Bila saja tidak laku lagi,  tidak ada pilihan lain,   dunia Mang Salak sudah bubar. 

Minggu pagi itu, tiga orang sedang mengopi di kedai kopi pinggiran kota.  Mereka membawa map untuk mencari kerja,  dan saling menyapa.   Cak Hiu, Mang Salak, dan Kang Endog, tiga orang yang baru datang dari desa untuk mencari kerja di pabrik di kota.  Hidupku sebagai nelayan sudah bubar, kata Cak Hiu, tidak ada lagi yang makan ikan,  bahkan warteg tempat ngopi ini juga tidak menjual ikan lagi.  

Kang Endog menimpali,  tidak ada telor dadar dan telor rebus di menu ini, dulu setiap hari menu makanku harus pakai telor,  usahaku juragan telor sudah bubar.   Sami mawon nasibku, kata Mang Salak.  Perkebunan warisan kakekku terpaksa dijual murah,  tidak ada yang membeli buah-buahan lagi.   Lihat bahkan pisang goreng pun tidak tersedia lagi di warung kopi ini.   

Penduduk sangat ketakutan untuk makan ikan,  makan buah, dan makan telor.  Sudah seminggu kami mencari kerja, tapi banyak pabrik tidak menerima karyawan lagi, kata mereka bertiga ke si pemilik warung.  

Tanpa diduga si pemilik warung kopi berkata,  sudah berbulan-bulan,  jumlah karyawan di sekitar sini makin sedikit, dengar-dengar, produksinya diberitakan berbahaya untuk kesehatan, padahal puluhan tahun dari jaman kakek-nenek, memakai produk yang sama tidak ada masalah.  Hari ini hanya kalian bertiga yang jadi pengunjung kedai,  ini hari terakhir aku buka usaha warung kopi.   Bubar sudah impianku.  Bubar sudah negeri kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun