Mohon tunggu...
Lion Star
Lion Star Mohon Tunggu... Buruh - Undergrad student

Hidup adalah proses belajar.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Waspada, Indonesia Krisis Air Sebelum 2040 Semakin Nyata

23 Oktober 2015   00:37 Diperbarui: 23 Oktober 2015   03:45 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru-baru ini, World Resources Institute (WRI) merilis sumber daya air tawar yang dimiliki oleh setiap negara di dunia. Berdasarkan informasi jumlah perkiraan cadangan air tawar yang dimiliki,  mereka mengembangkan penelitian dengan melakukan simulasi antara cadangan air bersih yang tersedia di alam dengan tingkat pertumbuhan populasi di negara bersangkutan, tingkat pengembangan kota, pertumbuhan industry, alokasi  pemerintah terhadap pengelolaan air di tahun-tahun sebelumnya serta rencana pengembangan resapan air, dan juga memasukkan model perubahan cuaca setiap 10 tahun yang akan semakin meningkat menjadi lebih panas.  

Penggabungan skenario antara data prediksi perubahan iklim dalam beberapa puluh tahun kedepan, dan juga tingkat pertumbuhan sosial ekonomi suatu negara digunakan untuk membuat peta prediksi dan memperingkat negara-negara yang diduga akan mengalami krisis air  sekitar tahun 2040. Dalam prediksi ini, mereka juga memasukkan faktor aktual yang sedang terjadi saat ini, dan diperkirakan masih akan berdampak sampai sepuluh tahun kedepan, seperti konflik di kawasan Timur Tengah, dan juga konflik di beberapa negara Afrika. Teknikal research tentang sumber daya air bersifat independent, bebas dari politik,  walaupun pendanaannya mendapatkan support dari PBB bidang lingkungan hidup (Global Canopy Programme and United Nations Environmental Programme Finance Initiative), serta BMZ (German Federal Ministry for Economic Cooperation and Development).              

[caption caption="Peta proyeksi negara krisis air 2040 (Sumber : World Resources Institute)"][/caption] Penulis mengangkat issue krisis air ini, dikarenakan melihat situasi terkini yang banyak dilaporkan Kompasianer juga tentang bencana bukan nasional yang berupa kabut asap dan kebakaran hutan.  Selama ini banyak pihak di Indonesia hanya fokus pada kebakaran hutan, dan kabut asap yang sudah menyebabkan puluhan ribu penduduk sesak napas,  asma,  menderita penyakit saluran pernapasan, bahkan ada yang melaporkan tingkat indeks polusi partikel berbahaya di udara bebas sudah lebih dari 5x lipat tingkat berbahaya yang ditetapkan WHO.

Pemerintah  dan lembaga terkait  selain fokus pada solusi pemadaman hutan, dan menghilangkan partikel asap karbon, seharusnya juga memikirkan dampak daripada partikel karbon tersebut pada ketersediaan air bersih yang sudah pasti akan mengalami dampak masuknya partikel hasil kebakaran hutan kedalam aliran air sungai, yang ujung-ujungnya menjadi konsumsi masyarakat umum juga. Selama ini belum terdengar hasil penelitian yang setidaknya dipublikasikan tentang jumlah partikel di aliran air sungai atau danau di daerah terdampak bencana asap, yang airnya juga menjadi bahan baku air minum masyarakat.

Indonesia Peringkat 51 Dunia Krisis Air

Berdasarkan peringkat dunia krisis air tahun 2040, yang baru dirilis pada bulan Agustus 2015 ini, terlihat peringkat 10 besar negara-negara yang akan mengalami krisis air serius didominasi oleh negara-negara kawasan Arab, selain dari Singapore. Krisis air di kawasan teluk dikarenakan iklim yang cenderung panas ekstrim, terkadang di beberapa tempat bisa mencapai 50 derajat Celcius,  atau lebih, terbatasnya sumber daya air tawar, dan diperparah lagi dengan konflik bersenjata di kawasan Timur Tengah, seperti konflik Suriah, Yaman,  masalah Israel dengan negara-negara Arab, dan juga dikuasainya beberapa kota strategis dan sumber daya alam oleh kelompok Kekafilahan ISIS.

Berdasarkan rangking yang dirilis Agustus 2015 tersebut, maka Indonesia mendapatkan peringkat 51 di dunia, dengan tingkat krisis level resiko tinggi (High 40-80% possibility).   Sedangkan peringkat yang sangat tinggi dengan skor 5 (kemungkinan > 80%) adalah Bahrain, Kuwait, Quatar, San Marino, Singapore, Persatuan Emirat Arab, dan Palestina.

[caption caption="Daftar peringkat negara krisis air by 2040 (sumber WRI, rilis Agustus 2015)."]

[/caption]

Dampak Kebakaran Hutan dan Ketersediaan Sumber Air Bersih Indonesia

Berdasarkan data WRI tersebut, dapat diketahui bahwa walaupun memasukkan faktor deforestasi untuk Indonesia, tetapi tidak memasukkan faktor bencana bukan nasional yang berupa kebakaran hutan disengaja. Hutan tidak mungkin terbakar sendiri, kecuali dibakar untuk tujuan membuka lahan secara cepat dengan biaya murah meriah. Selama ini semua pihak sibuk berpolemik tentang dahsyatnya kebakaran hutan yang terjadi, dilengkapi dengan peta hotspot yang memerahkan Indonesia dari Papua, Maluku, Kalimatan, hingga Sulawesi.

[caption caption="Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memantau titik api (sumber BBC Indonesia)."]

[/caption] Lahan gambut merupakan tempat penyimpanan karbon (C) yang sangat besar di daratan,  sebagaimana anda ketahui, lahan gambut akan mengikat karbon dari udara bebas dengan ketebalan antara  0 sampai 3 mm per tahunnya, sehingga menjaga kelestarian lahan gambut sama juga mengurangi dampak efek gas rumah kaca. Selain mengikat karbon, lahan gambut juga berfungsi sebagai penyangga hidrologi. Apabila lahan gambut ini diganggu dengan deforestasi masal, apalagi pembakaran, maka karbon yang diikat (C ) akan terlepas dan menjadi Karbon Dioksia (CO2), dan Indonesia akan menjadi penyumbang efek gas rumah kaca yang terbesar di dunia akibat kebakaran lahan hutan gambut ini.

Kembali ke soal air,  lahan gambut ternyata merupakan penyerap air yang sangat utama. Berdasarkan hasil penelitian, terbukti lahan gambut mampu meningkatkan penyerapan air di daerah aliran sungai (DAS),  sebesar 13 kali bobot gambut dibandingkan lahan non-gambut. Terjadinya peristiwa banjir di hilir sungai yang mengalir melalui hutan gambut, merupakan bukti nyata secara scientific yang tak terbantahkan akibat adanya kerusakan lahan gambut akibat penebangan liar, dan penanaman masal tak terkendali pembukaan hutan dengan cara pembakaran. 

Ada satu dampak mengerikan dari habisnya lahan gambut akibat kebakaran dan pengelolaan lahan yang tidak benar, yaitu sifat gambut yang tidak akan pernah bisa menyerap air lagi, bilamana gambut basah telah menjadi kering. Bilamana gambut basah telah mengering, misalnya akibat terbakar dan tingkat kadar air  telah menjadi 0%, maka lahan gambut tidak akan pernah lagi bisa menyerap air. Hal ini dalam ilmu pertanahan disebut sebagai tanah yang bersifat mengering tidak balik (irreversible drying). 

Hal inilah yang juga diakui oleh menteri koordinator Polhukam beberapa hari lalu tentang kesalahan kebijakan pemerintah sebelumnya yang membagi-bagikan pembukaan lahan gambut sejuta hektar, tanpa berkonsultasi dengan ahli-ahli pertanahan dan geologi tentang sifat dan karakteristik lahan gambut yang irreversible drying tersebut. Selain itu menurut Kompas cetak 6 Agustus 2015, proyek kanalisasi di masa lalu malah mengakibatkan gambut basah menjadi gambut kering, sehingga kehilangan kemampuan menyerap air sama sekali.

Bisa dipastikan dalam beberapa tahun mendatang, di lokasi penduduk yang terdampak kabut asap dan masih satu daerah dengan kebakaran hutan lahan gambut, diprediksi akan mengalami masalah kekeringan, atau sumber daya air yang berkurang debitnya, akibat kemampuan menahan air di lahan gambut telah terkikis habis dan tidak bisa direcovery.  Belum lagi, hilangnya keanekaragaman hayati berupa pohon-pohon besar dan langka,  longsornya tanah di sekitar aliran sungai akibat kemampuan hidrologi lahan yang telah mati.  

Langkah Pengamanan Sumber Daya Air

Untuk saat ini memang pemerintah sudah berusaha untuk jangka pendek untuk memadamkan kebakaran hutan, dan meminimalkan dampak penyakit saluran napas akibat  masuknya partikel karbon dan hasil pembakaran berbahaya di udara bebas dengan cara membagikan masker bagi anak sekolah, meliburkan sekolah, dan juga membuka posko kesehatan di daerah terdampak bencana asap secara langsung. Beratnya medan hutan mempersulit gerakan pemadaman kebakaran hutan,  disamping sulitnya tersedia sumber air di pedalaman hutan.   Mungkin hanya hujan lebat selama seminggu penuh yang bisa memadamkan api.

Selain daripada  fokus pada pemadaman hutan, sebaiknya departemen yang terkait kesehatan atau lembaga pendidikan tinggi dapat juga segera melakukan penelitian jangka pendek untuk meneliti kadar kandungan material berbahaya di sumber baku air minum penduduk di daerah terdampak bencana kebakaran hutan. Penting sekali untuk segera dilakukan penelitian ini, karena air sungai yang berasal dari hulu di atas gunung dan melalui hutan yang terbakar, sangat mungkin membawa material-material hasil pembakaran yang dapat mengganggu metabolisme penduduk.

Bila hasil penelitian jangka pendek sudah diketahui, segera umumkan langkah-langkah sederhana, apakah air minum dari sumber air tersebut layak diminum tanpa pengolahan,  atau apabila ada residu berbahaya hasil bakaran, dibutuhkan proses penyaringan, bagaimana proses penyaringan sederhana yang dapat dilakukan, atau bagikan filter penyaring air sederhana ke desa-desa atau kota yang aliran sungai sumber air minum terkena dampak asap dan kebakaran hutan secara langsung. 

Untuk jangka menengah dan jangka panjang,  ada baiknya jika para peneliti dan ahli peneliti bidang geologi, pertanahan, dan kehutanan dikumpulkan oleh kementerian terkait  untuk membuat rencana bagaimana mengembalikan bilamana bisa, atau bagaimana menjaga sisa lahan gambut yang tersisa, agar di masa mendatang tidak lagi mengalami kebakaran atau digerus menjadi gambut kering. Bilamana diperlukan, rancanglah undang-undang konservasi sumber daya air dan undang-undang konservasi lahan hutan, karena dua hal ini saling erat berkaitan.

Berikan hukuman yang berat bukan hanya kepada orang suruhan yang membakar hutan, tetapi juga top management daripada group induk perusahaan yang memiliki dan selama ini jelas memanfaatkan lahan hutan yang bekas terbakar untuk ditanami tanaman perkebunan, karena bisa diduga ini merupakan bencana yang direncanakan. Selain itu diperlukan juga edukasi terhadap penduduk lokal, misalnya memberdayakan mereka untuk mengolah lahan yang ramah lingkungan,  petugas penyuluh pertanian perlu dilengkapi pengetahuan tentang karakteristik lahan di daerah tugas mereka. Pamong desa juga harus berpihak pada kelestarian alam, sehingga ada baiknya kementerian terkait kehutanan membuat saluran SOS Hutan misalnya, tetapi dengan catatan harus bertaring, bukan hanya sekedar pencitraan, jangan sampai ada laporan, sampai bertahun tahun tidak kelihatan action terhadap laporan tersebut.

Demikian, rating dari World Resources Institute ini merupakan suatu peringatan bahwa tanpa faktor kebakaran hutan, Indonesia sudah masuk dalam kategori diatas 50% bisa menjadi krisis air bersih. Namun mengingat dampak kebakaran hutan yang setiap tahun selalu terjadi, siapapun presidennya, analisa WRI tersebut bisa menjadikan Indonesia masuk ke fase krisis air bersih lebih cepat lagi sebelum tahun 2040, dikarenakan sudah ratusan ribu hektar lahan gambut menjadi gambut kering. Peringatan dari WRI ini sudah sebaiknya menjadi lecutan bagi pemerintah pusat sekarang, department kehutanan, pemerintah daerah, dan juga lintas department terkait untuk mulai menyadari pentingnya menjaga konservasi hutan dan daerah resapan air dengan membuat kebijakan yang melibatkan ahli pertanahan bilamana menyangkut pembukaan atau pembagian atau kanalisasi lahan di daerah perkebunan atau kehutanan secara nasional. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun