Mohon tunggu...
Marcellinus Vitus
Marcellinus Vitus Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa STF Driyarkara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sang Pencari Kebenaran

2 November 2016   11:44 Diperbarui: 2 November 2016   11:52 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://buku.kompas.com/Produk/Buku/Technical/Franz-Magnis-Suseno,-Sosok-dan-Pemikirannya.aspx

Belajar dari Sosok Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno dan Prof. Dr. Justinus Sudarminta

Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara berpesta. Berpesta bagi dua guru besar dan pejuang filsafat di Indonesia, yakni Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno (Rm. Magnis) dan Prof. Dr. Justinus Sudarminta (Rm. Sudarminta). Bertambahnya umur keduanya dirayakan secara spesial oleh civitas academica STF Driyarkara, bersama penerbit Kompas Gramedia. Dalam pesta kegembiraan ini, diluncurkan dua (2) buku yang secara khusus ditujukan kepada kedua jubilaris: “Franz Magnis-Suseno: Sosok dan Pemikirannya” kepada Romo Magnis dan “Dengan Nalar dan Nurani: Tuhan, Manusia, dan Kebenaran” kepada Rm. Sudarminta. Kedua buku ini ditujukan sebagai hadiah dari “kawan dan murid” keduanya (para dosen STF Driyarkara).Bṻcher sind nur dickere Briefe an Freunde. (Buku-buku adalah surat-surat lebih tebal kepada kawan-kawan).

Festschrift: dari Murid untuk Guru

STF Driyarkara memiliki tradisi yang unik. STF Driyarkara akan “menghadiahi” para dosen sebuah buku yang ditujukan baginya sebagai hadiah ulang tahun. Namun, hanya dosen yang mencapai umur lebih dari 60 tahun yang dihadiahi buku spesial tersebut. Fetschrift berasal dari Bahasa Jerman yang berarti “ buku pesta”; biasanya dipersembahkan kepada seorang pribadi yang dihormati, seorang akademikus, oleh sahabat-sahabatnya. Dengan demikian, kedua buku yang diluncurkan kali ini merupakan hadiah oleh para rekan dosen STF Driyarkara – yang mayoritas dulunya mahasiswa keduanya - kepada kedua jubilaris.

Jika ditilik dan direfleksikan secara lebih mendalam, kedua buku ini sesungguhnya merupakan persembahan dari “para murid” kepada “para guru” tercinta mereka. Budi Hardiman, editor dan penggagas terbitnya festschrift, menyatakan bahwa kedua jubilaris ini berperan besar dalam proses formasi filsafat para kontributor. Tak ayal memang. Kedua buku ini ditulis oleh mayoritas rekan dosen dan sahabat keduanya. Sebut saja di antaranya: Dr. A. Sunarko, Prof. B.S. Mardiaatmadja, Dr. A. Setyo Wibowo, Dr. Karlina Supelli, Dr. Thomas Hidya Tjaya, Prof. Dr. A. Sudiardja, Dr. B. Herry Priyono, Dr. Simon L. Tjahjadi, Dr. Matius Ali, Komarudin Hidayat, dan masih banyak lainnya.Kedua buku ini tidak sekadar mengisahkan sosok dan perjumpaan dengan kedua jubilaris, melainkan juga pemaparan ilmiah topik-topik yang disenangi keduanya.

“Apresiasi” atas kedua festschrift pun diadakan. (STF Driyarkara – dengan sengaja – memilih istilah “apresiasi” daripada istilah “bedah buku” dalam momen peluncuran suatu buku baru. Kritik yang disampaikan merupakan sumbangan intelektual bagi para penulis). Para apresiatornya pun tidak kepalang tanggung, yakni Prof. Dr. Toeti Herati (Guru Besar Filsafat Universitas Indonesia) dan St. Sularto (redaktur senior harian Kompas). Keduanya, secara menarik, memaparkan apresiasinya atas tulisan-tulisan dalam kedua festschrift. Pada intinya kedua apresiator menekankan bobot ilmiah kedua festschrift sebagai sumbangan bagi belantara studi filsafat di Indonesia.

Franz Magnis-Suseno: Kritik itu Biasa

Dalam kata sambutannya Rm. Magnis menyatakan kegembiraannya atas peluncuran festschriftini. Baginya, kritik itu hal yang lumrah terjadi. Kritik bukan untuk dihindari, melainkan diterima dengan lapang terbuka. Justru dalam kritiklah bisa terlihat kualitas dari yang dikritik dan kualitas dari sang pengkritik. “Buku pesta” yang ditujukan kepadanya bertemakan kajian serta pendalaman dan bahkan elaborasi lebih lanjut dari pemikirannya. Mulai dari persoalan ketuhanan, politik hingga kosmologi. Dengan demikian, tidaklah heran bahwa festschrift yang ditujukan kepadanya merupakan kajian kritis para penulis terhadap pemikirannya.

http://buku.kompas.com/Produk/Buku/Technical/Franz-Magnis-Suseno,-Sosok-dan-Pemikirannya.aspx
http://buku.kompas.com/Produk/Buku/Technical/Franz-Magnis-Suseno,-Sosok-dan-Pemikirannya.aspx
Rm. Magnis, selain sebagai seorang rohaniwan Katolik, dikenal dengan sosok yang gemar memberikan sumbangan pemikiran di belantara problematika Indonesia: dari persoalan filsafat hingga problem kebangsaan, seperti radikalisme, penggusuran, demokrasi Indonesia, dan lain sebagainya. Meskipun tidak dilahirkan di Indonesia, Ia amat mencintai Indonesia. Keputusannya berganti kewarganegaraan memperlihatkan kecintaannya pada bumi Indonesia. Cintanya pada Indonesia membuatnya tidak mau menutup mata atas permasalahan yang menimpa bangsa tercinta ini. Matanya terbuka dan mulutnya menyuarakan pemikiran dan perhatiannya – meski terkadang terdengar menyakitkan dan menyesakkan dada.

Kalau boleh berbagi cerita, saya pun termasuk mahasiswa beliau. Meskipun ia hanya sesekali mengajar angkatan saya di STF Driyarkara, ia selalu bersemangat dan berapi-api dalam mengajar. Sebuah papersingkat pun tak lupa ia persembahkan kepada para mahasiswa sebagai panduan pemaparannya di kelas. Penjelasannya yang runut, singkat, dan padat memudahkan saya dan teman-teman yang lain memahami materi-materi yang disampaikannya. Singkatnya, topik “Marxisme dan Komunisme” serta “Komunitarianisme” menjadi bahan yang “renyah” untuk dipelajari. Di tangannya, filsafat menjadi sangat relevan bagi situasi dunia saat ini.

Kritik itu biasa, bahkan memberi pijakan bagi perkembangan diri. Hal inilah yang membuka hati dan pikirannya atas kritik-kritik yang diajukan kepadanya sebagai tanggapan atas pemikiran yang disuarakannya. Oleh karena itulah, festschrift ini disambut dengan senang hati dan hendak “digarap habis” olehnya dalam waktu singkat – sebagaimana diungkap dalam sambutannya.

Justinus Sudarminta: Dengan Nalar dan Nurani

Sosok Justinus Sudarminta (Rm. Sudarminta) – juga seorang rohaniwan Katolik -  dikenal sebagai sosok yang rendah hati, tekun, sabar, dan berpikiran cermat. Direktur program Pascasarjana dan Ketua Program Doktor STF Driyarkara ini pun dikenal dengan sosok yang haus akan hal-hal baru. Di STF Driyarkara, beliau dikenal sebagai sosok yang paling rajin mengikuti pelbagai seminar dan kuliah umum yang diadakan pihak senat dosen atau pun senat mahasiswa STF Driyarkara. Ia pun tidak jarang membuat catatan kecil hingga mengajukan satu-dua pertanyaan dalam pelbagai kesempatan ini.

Dalam belantara dunia filsafat, Rm. Sudarminta memfokuskan perhatiannya pada bidang epistemologi (filsafat pengetahuan) dan etika (filsafat moral). Secara sederhana, epistemologi hendak mengkaji segala segi pengetahuan: mulai dari struktur dasarnya hingga perdebatan akan batas-batas pengetahuan manusia. Sementara itu, etika memfokuskan pada telaah atas tindakan yang baik atau perilaku etis. Bagi Rm. Sudarminta, “Filsafat tidak cukup hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu. Filsafat juga untuk mengarahkan pada tindakan yang baik.”

Perkataannya ini tercermin dalam sosoknya ketika mengajar di ruang kuliah. Sepanjang perhelatan perkuliahan “epistemologi”, Rm. Sudarminta selalu menyediakan telinga untuk mendengarkan pendapat-pendapat yang diajukan mahasiswa. Tidak hanya mendengar, ia pun tidak alpha untuk mengapresiasi dan menanggapi pendapat-pendapat ini. 

Tidak pernah absennya senyuman dari raut mukanya, membuat setiap mahasiswa merasa teduh selama perjumpaan dengan beliau. Ia pun tidak lupa untuk mengajak para mahasiswa melakukan refleksi kritis atas materi yang diajarkan sebagai bentuk dan usaha “pengarahan pada tindakan yang baik”.

Kecintaannya pada pengetahuan, sekaligus fokus pada persoalan etika tercermin dalam festschriftyang ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana STF Driyarkara ini. “Tiga bagian dalam “buku pesta” ini - Tuhan, Manusia, dan Kebenaran – menggambarkan kehausannya akan pengetahuan sekaligus sumber dan tujuan tindakan baik manusia. Ketiganya melukiskan usaha pencarian Rm. Sudarminta terhadap kebenaran hidup.

***

Akhirulkalam, kedua jubilaris ini mengajak kita berkaca pada diri sendiri. Pengetahuan tidak sekadar membuat kita menjadi tahu, atau memperkaya kita dengan berlaksa-laksa informasi. Usaha mengetahui perlu membawa kita pada usaha pencarian kebenaran. Penekanan terletak pada kata “pencarian”. Bentuknya bisa bermacam-macam. Semangat keterbukaan terhadap kritik dan usaha tak kenal lelah dalam belajar dengan rendah hati dapat menjadi langkah-langkah awal dalam proses pembelajaran kita. Kebenaran perlu dicari dan prosesnya seumur hidup. Non scholae sed vitae discimus!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun