Pada tahun 2014 Transparency International mengeluarkan Corruption Perception Index (CPI) yang di dalamnya terdapat daftar 175 negara di dunia berdasarkan tingkat korupsi yang terjadi. Di antara ke-175 negara tersebut, Indonesia menempati posisi 117 dengan skor 34 (skala 0-100, rendah ke tinggi). Laporan Transparency International ini memperlihatkan betapa Indonesia merupakan negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Dampak langsungnya adalah adanya perhambatan dalam tingkat pertumbuhan dan kemudahan dalam berinvestasi di Indonesia.
Peristiwa yang menimpa Imran Gusman, ketua DPD RI kita, seolah-olah mengamini CPI dari Transparency International. Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap dirinya memperlihatkan bahwa korupsi masih menjadi penyakit laten dalam tubuh Pemerintahan Republik Indonesia. Berapa pun besaran uang yang diterima tetap saja memperlihatkan keburukan ikhtikad para koruptor – terutama mereka yang duduk di “tahta” pemerintahan RI.
Machiavelli dan Korupsi
Sekitar abad 15-16 hiduplah seorang politisi sejati bernama Niccolo Machiavelli. Seluruh hidupnya ia curahkan untuk masuk dalam “persenian menata kota” (perpolitikan). Buah-buah pikirannya dalam Il Principe dan Discorsi menjadi referensi bagi para pemikir politik, baik para politisi praktis maupun para filsuf politik. Secara tegas Machiavelli menekankan perlunya ketertundukan rakyat kepada Sang Pangeran. Di samping itu, Machiavelli juga menuntut Sang Pangeran (atau dalam bahasa kita sebagai pemimpin negara) untuk “membaca tanda-tanda zaman”; memiliki kalkulasi strategis sehingga rakyat menjadi patuh dan tunduk sehingga segalanya dapat diatur demi kepentingan bersama.
Pemikiran politik Machiavelli secara umum memang untuk menata negara sehingga berjalan bagi kepentingan banyak orang. Meski demikian, secara khusus, Machiavelli pun memberi “resep” untuk menanggulangi korupsi yang sudah sejak dahulu merajalela. Korupsi menjadi penyakit dan juga “kutu busuk” yang merusak sebuah negara yang dalam jangka panjang dapat merusak perjalanan penataan sebuah negara.
Bagi Machiavelli, korupsi dapat diartikan ke dalam dua kategori. Pertama, korupsi merupakan sebuah peritiwa hilang dan rusaknya disiplin dan keutamaan (atau virtu) orang sebagai warga republik. Hal ini dilihat dalam kemerosotan akhlak warga negara, kemalasan, rusaknya keadaban dan disiplin warga, dan hilangnya daya militansi. Kedua, korupsi merupakan penyingkiran kepentingan umum oleh kepentingan diri. Kepentingan pribadi (dan golongan) mendominasi kepentingan bersama; ketika kaum kaya (pemilik modal – oligarki) menguasai dan mendominasi kehidupan warga biasa. Dengan kata lain, tindakan korupsi terjadi ketika virtu tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Korupsi mengakibatkan adanya ketidakseiramaan antara usaha mencapai kesejahteraan bersama dengan tujuan yang hendak dicapai. Konsekuensinya, rakyat dapat mengalami degenerasi (penurunan) virtu. Ada dua macam. Pertama, masyarakat akan kehilangan ketertarikan dan kepentingannya (interests) dalam politik, juga dalam usaha mencapai common good. Kedua, lebih serius dan berbahaya, rakyat akan tetap loyal dan aktif dalam dunia politik, tetapi dunia politik digunakan sebagai batu pijak untuk mencapai kepentingan diri sendiri atau “loyalitas atas kelompok/golongan” daripada kepentingan publik.
Melihat dampak korupsi yang amat mengerikan bagi hidup bernegara, Machiavelli menyampaikan adanya tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan korupsi. Pertama, seorang pemimpin perlu memiliki kecakapan dalam membaca “tanda-tanda zaman”, terutama dalam melihat saat-saat kepentingan pribadi dan golongan menggantikan kepentingan publik. Kedua, adanya paket hukum dan konstitusi khusus yang diterapkan dalam situasi khusus dan darurat. Paket khusus ini digunakan untuk memastikan rakyat tidak melakukan tindakan buruk sehingga tidak mengganggu terciptanya kebebsasan dalam berepublik. Ketiga, perlunya sosok ordini (orang atau lembaga khusus) yang ditunjuk oleh penguasa, dalam jangka waktu tertentu, untuk memastikan keberlakuan hukum dan konstitusi yang diterapkan, bahkan dengan kekerasan (coercive power).
Tindakan korupsi merupakan tindakan yang mendesak untuk ditindaklanjuti karena mengancam kebaikan bersama dalam republik. Lebih-lebih daripada itu, degenearsi virtu akan berakibat fatal dalam dunia perpolitikan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kebijakan yang keras dan menakutkan untuk menekan rasa takut masyarakat agar kembali menekankan kepentingan bersama dalam naungan dan pedoman dari sang penguasa.
Pemiskinan Total Koruptor
Dari tiga usul Machiavelli, Indonesia sudah memenuhi unsur ketiga, yakni pembentukan KPK (sebagai ordini). Pemenuhan unsur pertama, “membaca tanda-tanda zaman”, memerlukan partisipasi aktif dari segenap rakyat Indonesia. Menjadi persoalan adalah bagaimana memenuhi unsur kedua, adanya paket hukum atau konstitusi khusus yang menimbulkan efek jera bagi para koruptor.
Banyak masukkan jenis hukuman yang dapat diajukan untuk menjerat para koruptor. Mulai dari penjara seumur hidup, pemotongan tangan/jari tangan, pemiskinan para koruptor, hingga penggantungan di monas – sebagaimana pernah dilontarkan oleh Anas Urbaningrum. Menanggapi usulan ini – menurut Machiavelli – setiap jenis hukuman perlu memiliki dua unsur mendasar, yakni (1) penekanan rasa takut rakyat (dalam hal ini koruptor dan para calonnya) dengan menekankan kaidah etika umum yang berlaku; dan (2) dilakukan “Cukup Sekali!” sehingga dapat menjadi mitos yang menekan rasa takut masyarkat
Andaisaja Machiavelli masih hidup dan kini menjadi ketua KPK, saya yakin untuk memenuhi unsur kedua, Paket hukum dan konstitusi khusus, Machiavelli akan memilih bentuk penghukuman “Pemiskinan Total Para Koruptor” yang kasusnya di bawah penanganan KPK. Namun, penerapan hukuman ini perlu melakukan pengamatan yang sangat cermat sehingga dapat tepat guna.
Penerapan kebijakan “Pemiskinan Total” ini dilakukan melalui empat langkah. Pertama, setelah ditetapkan sebagai pelaku korupsi, para koruptor harus membayar ganti rugi kepada negara sebagaimana telah ditentukan oleh undang-undang dan peradilan. Kedua, seluruh harta kekayaan dan milik atas nama sang koruptor dan segala hal yang berhubungan dengannya (atas nama isteri, anak, keluarga, atau kolega) – sejauh telah diselidiki dan ditemukan kaitannya oleh penyidik KPK – disita seutuhnya dan diberikan kepada negara. Ketiga, sang koruptor dimasukkan ke dalam penjara dengan lama penahanan berdasarkan keputusan hakim pengadilan. Keempat, keluarga yang ditinggalkan (anak dan isteri) mendapatkan label “keluarga koruptor” dan jika tidak memiliki tempat tinggal, dipindahkan ke rumah susun yang telah dipersiapkan pemerintah.
Kebijakan “Pemiskinan Total” dalam lingkup kerja KPK perlu dilakukan dengan tepat karena tindakan korupsi sudah sangat mendesak untuk ditanggulangi. Mendesak dalam arti: (1) besarnya kerugian yang diakibatkan oleh negara; (2) biasanya dilakukan oleh para pejabat negara dan mendapatkan sorotan publik yang amat besar; dan (3) efek penindakannya akan berakibat luas pada penekanan ketakutan rakyat untuk melakukan tindakan korupsi.
Kebijakan ini mau tidak mau harus memenuhi persyaratan penyelidikan yang sangat serius dan ketat oleh KPK. Jangan sampai para koruptor dapat melakukan serangan balik terhadap KPK, yang dalam lain kata menghancurkan virtu seorang penguasa terhadap rakyat. Bila hal ini sampai terjadi, virtu masyarakat akan kembali terdegenerasi kembali dengan penekanan dan preferensi pada kepentingan pribadi daripada kepentingan publik.
***
Dengan “Pemiskinan Total”, dan segala bentuk persyaratannya yang ketat, diharapkan rakyat dapat merasa takut dan mengurungkan niat untuk melakukan tindakan korupsi. Ketatnya prosedur penyidikan diberlakukan agar “Pemiskinan Total” tidak begitu dengan mudah diputuskan sebagaimana dinyatakan oleh Machiavelli bahwa tindakan kekerasan cukup sekali dan dapat menimbulkan trauma dan mitos bagi rakyat untuk tidak melakukan korupsi. Dengan demikian, melalui kebijakan “Pemiskinan Total” virtu seorang pemimpin tetap terjaga sehingga kestabilan negara tetap terjamin karena rakyat tunduk dan patuh serta mengikutkan virtu-nya pada virtupenguasa atau pemimpin.
Andaisaja Machiavelli masih hidup dan menjadi ketua KPK....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H