Masihkah kita teringat akan peristiwa “Konser Salam 2 Jari” yang diadakan dan dihadiri ratusan ribu orang di Stadion Gelora Bung Karno tahun 2014 silam? Juga jauh sebelumnya, masihkah kita ingat bagaimana Jokowi “mencubit” Ahok dalam sebuah debat cagub-cawagub DKI Jakarta? Atau dalam peristiwa kekinian, bagaimana fenomena Ahok dan Teman Ahok dalam perjalanan Pemilu DKI Jakarta 2017? Ataukah kita pernah merasa “gemes” ketika melihat perpindahan disposisi Ahok dari jalur independen, menjadi jalur parpol?
Coba kita bayangkan dan rasakan kembali animo dan antusiasme yang terjadi pada peristiwa-peristiwa tersebut. Satu hal yang bisa saya simpulkan – yang saya yakin juga disadari oleh banyak orang – adalah Indonesia (atau setidaknya Anak-anak Muda Indonesia) menjadi “melek” politik. Politik dan segala dinamika di dalamnya tidak lagi menjadi sesuatu yang dijauhkan dan dibuang jauh-jauh. Politik menjadi tontonan yang sangat menarik untuk disimak bersama-sama.
Menjadi pertanyaan bagi kita semua, mengapa politik menjadi tontonan yang menarik? Apakah dikarenakan politik sangat menentukan hajat hidup orang banyak? Bisa YA sekaligus TIDAK. Bagi saya, politik menjadi menarik, karena di dalamnya terdapat DRAMA. Drama tarik-menarik kepentingan antar kelompok-golongan yang mengatasnamakan rakyat, sehingga sulit dibedakan antara yang sungguh mendukung rakyat, dan hanya manis di bibir belaka. Drama yang terjadi membuat kita tidak tahu, mau ke mana, dan pihak mana yang menang dalam gerak dunia politik.
Politik = Seni Menata Polis
Pertanyaan dasar yang perlu kita ajukan pertama-tama adalah “Apa itu Politik?” Daoed Jusuf, dalam opininya di KOMPAS sehari setelah reshuffle jilid II, mengutip definisi politik seorang pemikir. “Politik adalah apa, siapa, kapan, dan bagaimana seseorang berkuasa”. Definisi yang sangat menarik. Namun, kiranya kita bisa mencari arti politik dari akar katanya.
Secara harfiah, Politik berasal dari Bahasa Yunani, Politeia. Politeia terdiri dari dua kata Polis dan Tekhne. Polis berarti sebuah “negara-kota” (semacam provinsi/kota) dalam kebudayaan Yunani Kuno (seperti Polis Athena). Sementara itu, tekhne, berarti seni/keterampilan. Dengan demikian, politik, dalam arti akar katanya, berarti seni menata polis (kota/provinsi).
Contoh sederhananya adalah tindakan yang dilakukan oleh Solon yang menjadi pemimpin polis Athena. Di awal pemerintahannya Solon dihadapkan pada situasi perbudakan yang semakin bertumbuh subur di polis Athena. Hal ini pertama-tama dikarenakan permasalahan akan tanah. Tanah, yang subur namun sedikit, itu dikuasai oleh kaum aristokrat. Petani yang miskin kemudian berhutang kepada para aristokrat dengan cara pembayaran melalui hasil panen yang mereka lakukan. Ketika hutang semakin besar, banyak para petani yang seluruh hasil panennya diserahkan kepada kaum aristokrat.
Hal ini menjadikan para petani kemudian menjadi “budak” bagi kaum aristokrat. Langkah berani dilakukan oleh Solon dengan melakukan redistribusi tanah, penghapusan hutang yang kemudian mengarah kepada penghapusan status budak akibat sistem hutang tersebut. Kebijakan Solon tidak selamanya tepat-guna. Seiringan dengan waktu berjalanan, para penerusnya tidak lagi menggunakan metodenya, dan menggantikan dengan metode yang lain.
Machiavelli: Virtu dan Fortuna
Lain halnya dengan, Machiavelli, seorang negarawan Firenze (juga disebut sebagai peletak batu pijak bagi politik modern).Ia tidak sekadar memperdalam Poltik sebagai Seni Mengatur Kota/Negara, melainkan sebagai sebuah Seni Kemungkinan.
Melalui bukunya Il Principe (The Prince – Sang Pangeran) dan Discorsi (Discourse – Diskursus), Machiavelli menetapkan pandangannya akan politik melalui dua (2) konsep metafisis: virtu dan fortuna. Disebut metafisis, karena keduanya tidak bisa dibuktikan adanya secara sosiologis-empiris (meta-empiris), namun dampaknya amat nyata dalam kehidupan, dalam hal ini tindakan politis. Virtu dan fortuna dengan pelbagai cara dapat menentukan hal-hal di dunia. Keduanya berdampingan dan berada dalam tegangan.
Apa itu virtu dan fortuna? Dalam konsep Machiavellian, fortuna diartikan sebagai sesuatu yang tak terduga dan tak berpola. Fortuna – dewi perempuan - tidak bisa dikalkulasikan secara strategis sehingga oleh Machiavelli disejajarkan dengan banjir yang tidak bisa diduga; bisa membawa penghidupan atau kehancuran. Dengan kata lain, fortuna dapat disebut sebuah kemungkinan (possibility); bahwa di dalam fortuna terdapat kebebasan, ketakterdugaan, dan ketakterkalkulasikan.
Sementara itu, virtu – laki-laki - dapat dipahami sebagai “antitesis” fortuna. Virtu dimiliki oleh individu sehingga dapat terkalkulasi dalam pola-pola, dengan demikian terprediksi dan dijalankan dengan strategi-strategi tertentu. Berhadapan dengan fortuna, virtu senantiasa memiliki “hasrat erotis” agar fortuna terpikat padanya. Dengan kata lain, virtu dapat diartikan sebagai sebuah kecerdikan, kepiawaian, juga rasionalitas dan kalkulasi strategis untuk mengantisipasi suatu kejadian.
Politik Tidak Sama Dengan Birokrasi
Dalam alam pikir Machiavellian, politik dan segala tindakannya tidak bisa disamakan dengan birokrasi. Tindakan birokratis merupakan tindakan yang di dalamnya terdapat kerangka yang disepakati bersama dan bisa diprediksi berdasarkan kalkulasi yang ada. Contohnya: Warga Negara Indonesia - yang berdasarkan undang-undang diperbolehkan berpartisipasi dalam pemilu – melakukan pemilihan di TPU yang telah ditentukan.
Dengan demikian, hanya virtu yang “berperan” dalam tindakan birokratis. Sementara itu, tindakan politis terdapat pada tegangan yang terjadi antara virtu dan fortuna. Tidak bisa sepenuhnya mengandalkan fortuna dalam tindakan politik, karena jika demikian tidaklah ada legitimasi dan kekuasaan (lihat Hitler yang membuat rasionalisasi holocaust). Fortuna perlu, tetapi juga diperlukan kecerdikan dalam menggunakan virtu. Dari sinilah dapat dilihat bahwa politik merupakan seni kemungkinan (fortuna atapun virtu tidak 100% menentukan).
Politik = Seni Kemungkinan
Politik adalah seni kemungkinan. Kita tidak bisa sepenuhnya menebak bahwa A bisa sungguh-sungguh terjadi. Bisa saja A berpeluang besar memenangi pemilu, namun yang terjadi malah B. Apa pun bisa terjadi dalam dinamika dan gerak politik, karena memang terdapat tegangan dan tarik-menarik antara virtu dan fortuna. Di satu sisi virtu dengan rasionalitas dan prediksinya ingin “menggoda” fortuna. Namun, di sisi lain fortuna tidak sepenuhnya memberikan dirinya untuk digoda oleh virtu.
Fenomena Ahok pindah ke jalur parpol meskipun telah bertekad melalui jalur independen sebelumnya merupakan sesuatu yang lumrah dan tidak perlu dipersoalkan. Risma pun belum tentu tidak maju sebagai Cagub DKI meskipun telah menolak maju.Mengapa? Karena itulah politik. Apa pun bisa terjadi. Sebaliknya, kita pun perlu bertanya dan bahkan mengawal keputusan Golkar untuk tetap konsisten mendukung Jokowi dalam Pilpres 2019 (yang masih sungguh amat jauh). Jika ke depannya Golkar pindah haluan, kita tidak bisa menyangkal…. Karena memang itulah politik.
Semuanya bisa terjadi…. Ingat, POLITIK adalah SENI KEMUNGKINAN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H