Apa itu virtu dan fortuna? Dalam konsep Machiavellian, fortuna diartikan sebagai sesuatu yang tak terduga dan tak berpola. Fortuna – dewi perempuan - tidak bisa dikalkulasikan secara strategis sehingga oleh Machiavelli disejajarkan dengan banjir yang tidak bisa diduga; bisa membawa penghidupan atau kehancuran. Dengan kata lain, fortuna dapat disebut sebuah kemungkinan (possibility); bahwa di dalam fortuna terdapat kebebasan, ketakterdugaan, dan ketakterkalkulasikan.
Sementara itu, virtu – laki-laki - dapat dipahami sebagai “antitesis” fortuna. Virtu dimiliki oleh individu sehingga dapat terkalkulasi dalam pola-pola, dengan demikian terprediksi dan dijalankan dengan strategi-strategi tertentu. Berhadapan dengan fortuna, virtu senantiasa memiliki “hasrat erotis” agar fortuna terpikat padanya. Dengan kata lain, virtu dapat diartikan sebagai sebuah kecerdikan, kepiawaian, juga rasionalitas dan kalkulasi strategis untuk mengantisipasi suatu kejadian.
Politik Tidak Sama Dengan Birokrasi
Dalam alam pikir Machiavellian, politik dan segala tindakannya tidak bisa disamakan dengan birokrasi. Tindakan birokratis merupakan tindakan yang di dalamnya terdapat kerangka yang disepakati bersama dan bisa diprediksi berdasarkan kalkulasi yang ada. Contohnya: Warga Negara Indonesia - yang berdasarkan undang-undang diperbolehkan berpartisipasi dalam pemilu – melakukan pemilihan di TPU yang telah ditentukan.
Dengan demikian, hanya virtu yang “berperan” dalam tindakan birokratis. Sementara itu, tindakan politis terdapat pada tegangan yang terjadi antara virtu dan fortuna. Tidak bisa sepenuhnya mengandalkan fortuna dalam tindakan politik, karena jika demikian tidaklah ada legitimasi dan kekuasaan (lihat Hitler yang membuat rasionalisasi holocaust). Fortuna perlu, tetapi juga diperlukan kecerdikan dalam menggunakan virtu. Dari sinilah dapat dilihat bahwa politik merupakan seni kemungkinan (fortuna atapun virtu tidak 100% menentukan).
Politik = Seni Kemungkinan
Politik adalah seni kemungkinan. Kita tidak bisa sepenuhnya menebak bahwa A bisa sungguh-sungguh terjadi. Bisa saja A berpeluang besar memenangi pemilu, namun yang terjadi malah B. Apa pun bisa terjadi dalam dinamika dan gerak politik, karena memang terdapat tegangan dan tarik-menarik antara virtu dan fortuna. Di satu sisi virtu dengan rasionalitas dan prediksinya ingin “menggoda” fortuna. Namun, di sisi lain fortuna tidak sepenuhnya memberikan dirinya untuk digoda oleh virtu.
Fenomena Ahok pindah ke jalur parpol meskipun telah bertekad melalui jalur independen sebelumnya merupakan sesuatu yang lumrah dan tidak perlu dipersoalkan. Risma pun belum tentu tidak maju sebagai Cagub DKI meskipun telah menolak maju.Mengapa? Karena itulah politik. Apa pun bisa terjadi. Sebaliknya, kita pun perlu bertanya dan bahkan mengawal keputusan Golkar untuk tetap konsisten mendukung Jokowi dalam Pilpres 2019 (yang masih sungguh amat jauh). Jika ke depannya Golkar pindah haluan, kita tidak bisa menyangkal…. Karena memang itulah politik.
Semuanya bisa terjadi…. Ingat, POLITIK adalah SENI KEMUNGKINAN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H