Mohon tunggu...
Lita Dikali Ta
Lita Dikali Ta Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Lahirlah kembali dengan fitrah tafakur. Lihatlah senyum begitu memesona. Mimpi adalah pijakan pertama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Surat Kenangan sebelum Pulang

22 Desember 2013   11:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:38 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nomor 288

Lampiran 1

Ibu Tak Menangis

Sepeda jengki hijau tua menembus rinai hujan, langit begitu murung, seharian matahari tak tampak bersinar. Anak seusia denganku banyak yang berkejaran, bermain lumpur, dan mencari kecebong jika musim hujan tiba seperti sekarang. Ibu selalu berpesan “Nang kamu ndak boleh hujan-hujan, lho. Nanti sakit!” dan Aku menaatinya. Ibuku adalah sosok perempuan sederhana, berkulit sawo matang khas penduduk sekitar namun lebih manis dan elok, serta Ibu selalu menggulung rambutnya yang hitam. Aku selalu ingin rambutku pun digelung mirip Ibu, namun Ibu hanya tersenyum padaku, dan berkata “Rambutmu disisir saja, ya Nang!” sambil menyisir rambutku, Ibu tak pernah absen menyanyikan lagu Bapak Pucung1 setelah itu diberi minyak rambut, minyak urang-aring, biar klemis. Botolnya bergelombang, bentuknya mirip lambang cinta tapi terbalik, warnanya hijau tua dan beraroma wangi, serta ada gambar perempuan dengan rambut panjang.

Aku sangat gembira, jika Ibu mengajak Aku ke rumah kakek dengan Peki, nama kesayangan untuk sepeda jengki milik Ibu. Seperti, saat ini di bawah payung berwarna cokelat yang Ibu dengan pegang tangan kiri, dan tangan kanannya memegangi setang Peki. Aku kasihan melihat Ibu susah payah seperti itu, pernah Aku memohon supaya Aku saja yang membawa payung supaya Ibu merasa tenang jika mengayuh Peki, namun Ibu menolaknya, dia mengkhawatirkan Aku. Sehingga Aku selalu memeluk punggung Ibu yang hangat dengan erat, saat dia mengayuh Peki.

Jalanan di desaku masih belum beraspal, sehingga masih licin dan becek. Aku dan Ibu juga melewati jalan yang di sisi kanan maupun kiri tumbuh pohon Asem2 rindang dan mempunyai batang besar, sungguh kokoh pohon itu. Rumah kakeku cukup jauh dari tempat tinggal kami, jika Aku bisa menghitungnya mungkin tahu berapa lama perjalanan yang kutempuh menuju rumah kakek. Kakekku sangat baik dan sopan, kakekku bernama Lilo, dia pencari ikan dan kepiting, berangkatnya malam pulangnya fajar. Aku selalu patuh pada kakek Lilo, sebab dia selalu memberi uang jajan, namun aku kurang suka karena kakek menyimpan uang bersama tembakau miliknya, sehingga uang yang diberikan padaku tak luput dari aroma tembakau yang tajam. Tak hanya itu, kakek selalu mengajariku supaya aku menjadi anak yang ikhlas. Kakek juga bisa mengobati orang yang sakit, dan meminta pertolongannya. Jika Aku sakit, kakek Lilo-lah yang mengobati dengan ramuan dedaunan, sebab dokter, langka dan mahal. Kalau warga desa sudah sakit sangat parah, keluarganya baru meminta pertolongan Pak Mantri dan bukan dokter.

Persimpangan. Ibu melaju perlahan, Aku tak begitu tahu bagaimana kejadian itu bisa terjadi. Aku dan Ibu terjatuh, Aku tak sadarkan diri. Selepas itu Aku tak tahu, bagaimana keadaanku dan keadaan Ibuku?

Saat Aku sadar, Aku telah terbaring di rumah di sana ada kakek Lilo yang menemani, namun Aku tak melihat Ibu di sana, dan kutanyakan pada kakek, “Mbah Lilo, kakek Lilo, Ibu dimana?” dia hanya diam tak menjawab, akhirnya Aku bangun berjalan perlahan mencari Ibu. Di dapur dia tak ada, di kamarpun tak ada. Aku tanyakan lagi pada kakek, lantas dia lirih menjawab “Ibumu di klinik pak Mantri, Nang.” hatiku terperanjat. “Kakek ayo kita ke sana juga!” kataku cepat, kakek hanya menggeleng dan menyuruhku duduk di dipan. Pikiranku tak tenang, Aku memainkan jari-jariku, menggigit bibir, sesekali memandang kakek yang sangat tenang. Aku menengok pintu, namun belum ada yang beruluk salam. Aku semakin khawatir dan gelisah. Rumah begitu sepi dan dingin.

“Assalammualaikum ...!”

“Ibu ...!” teriakku.

“Ayo dijawab dulu uluk salamnya, nanti Allah cemberut.” kujawab salam Ibu lalu menciumi tangannya.

Bapak memapah Ibu perlahan lalu di baringkan di kamar.

“Ibu ndak apa-apa? Mana yang sakit, Bu? Bagaimana tadi kita bisa terjatuh dan seperti ini, Bu?” tanyaku agak terisak.

“Duh Nang, Ibu ya ndak bisa jawab kalau ndak satu-satu tanyanya. Lha apa Ibu ini, he-he-he, lihat!” sambil tersenyum. Aku menunduk dan meminta maaf.

“Kamu ndak apa-apa tho, sudah makan?”

“Ndak Bu, Aku baik-baik saja. Justru Aku mengkhawatirkan Ibu.” air mataku hampir meleleh.

“Sudah-sudah. Makan dulu dengan mbah, kakek atau dengan Bapak.”

“Enjeh, iya Bu. Nanti kubawakan bubur sumsum3, ya.” Aku digandeng kakek ke warung Mbok Wanirah.

Seminggu kemudian keadaan Ibu semakin membaik, tapi lengan kanan tangannya masih belum bisa digerakan. Setiap hari Aku memberi parem pada lengan Ibu, supaya nyeri itu pergi dan Ibu bisa memasak sambal terong untukku.

Lampiran 2

Pukul Lima

Wajah coklat

masih tertidur lekat

rumput liar bergoyang

awan mendung

menggelombang

jam lima di tangan

redup

hujan beriringan-iringan

Juwana, 4/11/2013 09:21

Surat

Yogjakarta, 22 Desember 2013

Ibuku tersayang.

Ibu, perempuan rupawan nan menawan. Aku merindukan senyum yang terselip di wajah manis dengan kerut dahi yang terlihat tipis. Engkaulah matahari yang menghangatkan tubuhku di bulan Desember yang basah ini. Ibu surat berprangko kilat yang Aku kirimkan kepadamu tak akan kalah cepat dengan naluri keibuanmu, akan segala kerinduanku, keinginan akan impianku. Maaf Ibu, engkau harus kelelahan membaca surat yang lampir-melampiri ini. Ibu ingat karangan yang kutulis waktu Aku kelas tiga, tugas mengarang dari bu guru Heni. Ibu membacanya terharu dan tertawa terpingkal-pingkal. Wajahku merah, menahan malu, mendengar catatan-catatan yang Ibu berikan padaku. Akupun ingat bu guru Heni bilang tulisanku kurang bagus, dan hanya diberi nilai tujuh puluh. Ibupun tak tahu, Aku menyembunyikan nilai mengarangku di buku Orang-orang Cacat4 yang Ibu hadiahkan di hari ulang tahunku. Selepas kejadian itu, Aku tak berani meminta pendapat orang lain dengan hasil tulisanku, lebih baik Aku menyimpan semuanya dalam buku catatan. Semoga Ibu tak membaca, atau juga semoga saja Ibu tak menemukan catatan rahasiaku itu. Ibu, apa engkau lelah? Istirahatlah dahulu, janganlah engkau lupa minum madu hangat. Aku menyayangi Ibu, patriot panutanku.

Ibu di sini rinai hujan datang kembali, lembut suara gemericiknya. Aku merasakan belaian tangan Ibu yang penuh kapal5hangat dan membaur kasih sayang yang tak ternilai. Ibu, engkaulah yang membimbingku merasakan kesejukkan alam, menirukan bebunyian, dan menulis segala hal. Ibu puisi “Pukul Lima” yang telah engkau baca. Tahukah engkau, itu kutulis saat Aku malas bangun pagi dan Aku mengintip Ibu. Kudekatkan tubuh ini disamping Ibu, hangat. Ibu, puisi itu menyukaimu. Saat menulis puisi mereka berbisik kepadaku, beginilah bisikan itu, Ibu, “Hei Litho, apa kau akan menulis puisi? Ambillah aku, taruh dimana saja yang kau ingin. Tapi akhiri aku dengan tangan Ibumu, Litho. Juga, ucapan Ibumu, penutur anggunmu. Bagaimana Litho, kau sanggup. Semoga.” Ibu, Aku harus bagaimana mengelak atau kupatuhi? Puisi begitu tulus padamu, Ibu. Kemarin, puisi “Pukul Lima” itu menempati nomor tiga, Ibu, sebagai puisi terbaik. Walaupun lomba itu diadakan oleh sebuah grup kepenulisan yang diikuti beberapa anggotanya, semoga Ibu sedikit bangga dan tersenyum, serta jangan lupa hadiah untukku berupa belaian kepala dengan tangan hangatmu, besok.

Hari ini Ibu berulang tahun, kado apa yang Ibu inginkan dariku? Setangkai mawar, buku-buku terjemahan, atau tiket menemuiku. Jangan sampai air mata Ibu leleh. Aku tak akan memaafkan diri ini jika Ibu sampai bersedu-sedu. Ibu, Aku tak tega bila Ibu datang menemuiku ke tempat yang kuhuni sekarang, Aku takut Ibu akan memaksa pulang dan melarangku kembali ke sini, tempat yang kutinggali ini, jadi kumohon tahanlah rindumu pada anakmu ini, Bu. Kutahu itu sangat sulit. Ibu tak usah mengkhawatirkan anakmu di sini, Aku selalu baik dan sehat. Apa saja yang Ibu kirimkan untukku semua Aku gunakan dengan baik. Ibu begitu tulus merawatku sampai sekarang, walau jarak begitu jauh tak terukur.

Ibu, bulan Mei yang penuh bunga dan kehangatan, Aku akan pulang. Sebab Aku telah menabung untuk membeli tiket seminggu sebelum keberangkatan pulang. Apakah Ibu tersenyum? Aku merasakannya, karena sikapku tak berubah, sama sepeti dulu, aku tetap anak yang berhemat dan rajin menabung. Ibu, Aku adalah anakmu, baik sikap, sifat, cara bertutur semua menurun, hampir-hampir Aku mirip Ibu. Senyum Ibu teringat dalam benakku indah, dan bersih.

Wahai Ibu yang melatihku bersabar, bersyukur, berzikir, dan tafakur. Ibuku. Salam Ibu yang engkau berikan padaku tiga bulan yang lalu untuk Gus Mus, insya Allah telah kupenuhi. Ibu, tenanglah tegakkan kepala Ibu, Aku akan menginjak rumput pekarangan yang merunduk karena embun, tepat tanggal 4 Mei, dan tak lupa seikat melati, bunga kesayangan Ibu yang juga tumbuh subuh di pekarangan rumah. Pekarangan Ibu dan Aku, anakmu. Lindungi kerinduan Ibu kepadaku, Tuhan.

Kehangatan Ibuku, Kinasih

Litho

Catatan

1.Bapak Pucung : Lagu daerah dari Jawa Tengah

2.Pohon Asem : Bernama ilmiah Tamarindus indica, sejenis buah yang masam rasanya; biasa digunakan sebagai bumbu dalam banyak masakan Indonesia sebagai perasa atau penambah rasa asam dalam makanan, misalnya pada sayur asam atau kadang-kadang kuah pempek.

3.Bubur sumsum : Bubur dari tepung beras dimakan dengan cairan gula merah yang diberi santan.

4.Orang-orang Cacat : Buku karangan Yusuf Susilo Hartono, terbitan Balai Pustaka.

5.Kapal : Kulit yang menebal dan mengeras; belulang (pada kaki, telapak tangan, dll).

Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu (akun Fiksiana Commnuity sebagai berikut ini :http://www.kompasiana.com/androgini)

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community (https://www.facebook.com/groups/175201439229892/)


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun