Mohon tunggu...
LintangZa
LintangZa Mohon Tunggu... -

sang pembebas bersinar itu semakin terang minat: politik. perempuan. generasi. movement.

Selanjutnya

Tutup

Money

(Masih) Cabai Sampai Februari 2017

14 Februari 2017   08:43 Diperbarui: 14 Februari 2017   08:50 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cabai kembali trend?! Cukup menggelitik untuk dikulik. Komentar apa yang akan Anda sampaikan jika Anda (masih) ditanya tentang cabai?

Ada ‘aliran’ penanam mandiri, positive thinking dengan segala masalah, membeli sambal instan sebagai pengganti cabai, mencari cabai jenis lain, dan menggantikan cabai dengan merica. Ada ‘aliran’ lain yang berpikir lebih dalam, mencari kenapa bisa mahal sebegitu lama, menjadikannya bahan ulasan di media yang mereka miliki, dan mungkin mencari tahu apa yang sudah dilakukan ‘pihak-pihak berwenang’ untuk mengatasinya; baik berniat iseng maupun serius. Tentu ada juga yang no comment, lagipula mereka (bisa jadi) tidak sedang butuh cabai.

Jika berkomentar, apa yang menjadi motivasi Anda? Penting tak penting?! Untuk siapa? Begitulah, pada dasarnya seseorang akan mengambil keputusan untuk bersikap sesuai dengan bagaimana dia berpikir. Pemikiran itu pula yang akan menunjukkan siapa dia, seberapa dalam kualitas berpikirnya. Bukan sedang berniat menyalahkan atau menjatuhkan, tapi sedang mengajak menyelami fakta J

Butuh ataupun tidak butuh cabai, faktanya masih ada pihak yang butuh cabai.

Mahal ataupun tidak mahal harga cabai itu, faktanya jika masih ada yang butuh maka akan ada yang diberatkan dengan tingginya harga.

Penasaran ataupun tidak kenapa bisa mahal, faktanya cabai pernah murah, maka mahalnya cabai bukanlah hal yang normal.

Peduli ataupun tidak, faktanya kita hidup tak sendiri. Maka pilihan kita untuk tidak peduli pada saat ini, dapat membuat kita menyesal ketika merasakan akibatnya suatu saat nanti J

Pola yang digunakan untuk berpikir dan bersikap akan menunjukkan status seseorang. Itulah identitas hakiki yang tidak bisa diwakili dengan KTP. Muslim tidaknya seseorang dalam berpikir dan bersikap bisa pula dibaca dari pola yang digunakannya. Pola yang menunjukkan apa landasan berpikir dan seberapa kuat landasan itu mengontrol sikap seseorang, itulah identitas hakiki. Penting tak penting, kita sendiri penentunya. Pilihan kita akan menunjukkan kualitas pemikiran kita J

Beruntunglah orang yang pernah mengetahui, ada pengaturan urusan rakyat di dalam Islam. Urusan cabai bukan sekedar tentang butuh ataupun tidak, ataupun tentang membeli atau menanam sendiri. Apalagi tentang, sekali-kali bolehlah petani untung lebih. Faktanya petani Sumenep mengaku hanya mendapat tiga puluh ribu rupiah dari tengkulak untuk penjualan satu kilogram cabainya. Kemudian mereka akan mendengar dari radio yang mewawancarainya, atau melihat di televisi, harga cabai untuk konsumen mencapai seratus tiga puluh ribu rupiah per kilonya.

Islam memandang bahwa ini tentang pengaturan urusan rakyat, ada hak dan kewajiban negara untuk memastikan curang dan tidaknya jual beli terlaksana. Jual beli skala petani-tengkulak, maupun tengkulak-pasar. Terlepas dari muslim dan non muslimnya seseorang, di tengah masyarakat ada aturan yang harusnya terwujud. Aturan yang akan membuat semua orang peduli, adil tanpa diskriminasi, demi terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Sayangnya aturan itu hanya bisa terwujud di masyarakat yang menerapkan Islam secara menyeluruh dalam bernegara. Saat ini memang belum ada, maka beruntunglah orang yang mau berpikir lebih dalam, mencoba jujur pada fakta, mencari tahu seperti apa aturan Islam itu dan berupaya mewujudkannya. [za]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun