Namun yang ingin kita sama-sama pahami, pemeliharaan satwa secara pribadi dan kebun binatang sangat berbeda. Kita mungkin dapat belajar secara otodidak mengenai satwa tersebut, dari aspek kesehatan, pakan, dan juga kebiasaannya. Namun, pihak dengan kapabilitas dalam penanganan satwa liar, seperti dokter hewan spesialis satwa liar dan juga ahli konservasi, apakah kita dapat serta merta melangkahi peran mereka dalam penanganan satwa liar? Kita boleh jadi berkonsultasi dengan pihak tersebut, namun apakah itu akan membuat kita lebih paham dari mereka?Â
Jika kita salah saja dalam penanganan dan pemahaman satwa liar, bukan tidak mungkin kita dapat menjadi korbannya. Kasus harimau yang menerkam seorang ART di Samarinda (18/11/2023), buaya yang menyerang pemilik di Kotawaringin Timur (06/09/2022), dan kasus lain yang serupa merupakan akibat dari kelalaian kita sebagai masyarakat awam yang salah kaprah dalam penanganan satwa liar. Keeper kebun binatang yang terlatih saja dapat diserang oleh satwa kebun binatang, bagaimana dengan kita? Belum lagi masalah penyebaran penyakit oleh satwa liar, seperti rabies, virus corona, dan yang terbaru –cacar monyet. Hewan domestik saja masih memiliki peluang untuk menyebarkan penyakit, apakah kita masih ingin menambah peluangnya?
Kan saya pecinta hewan, saya mampu dan paham dalam memenuhi kebutuhan hewan tersebut, kan hewannya tetap sejahtera?
Bagaimana cara memastikan hewan tersebut sejahtera, sementara kita sebagai manusia tidak bisa serta merta berkomunikasi dengan hewan secara lisan kan? Memang, sinyal tingkah laku hewan dapat memberitahu pemelihara bahwa ada yang salah dengan mereka. Namun, apa yang bisa menjamin hewan tersebut sejahtera dalam segala aspek kehidupannya?
Manusia tidak bisa menyamai alam dalam memenuhi aspek kehidupan satwa liar di alam. Manusia tidak akan pernah bisa memberi perlakuan yang sama dengan alam, dan juga tidak akan pernah bisa meniru proses ekologi yang terjadi di alam. Apakah kita bisa menjamin dapat memenuhi kebutuhan wilayah jelajah harimau yang dapat mencapai lebih dari 500 km persegi di alam, jika kita memeliharanya di pekarangan rumah? Apakah kita bisa menjamin burung peliharaan kita, seperti merak, tidak stress selama dikandangkan? Apakah kita bisa menjamin keberlangsungan hidup biawak atau iguana yang kita pelihara? Sementara kita saja masih memiliki kendala untuk memahami perilaku hewan domestik yang biasa dipelihara, dan masih banyak para pemilik hewan peliharaan yang tidak bisa menjamin kebutuhan hidup hewan peliharaannya. Kalau begitu, mengapa kita masih ingin menjinakkan satwa liar?
Ini masih dalam aspek kesejahteraan hewan, kita belum masuk pada bahasan keseimbangan di alam.Â
Saya sudah terlanjur memelihara satwa liar tersebut, dan saya melihat beberapa teman saya ada yang sudah bosan memelihara satwa tersebut. Apakah sebaiknya saya kembalikan ke alam? Kan melepasnya di habitat aslinya?
Anda bisa menyerahkan satwa tersebut kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) yang ada di daerah anda untuk dapat diperiksa dan direhabilitasi sebelum dikembalikan ke alam. Jika langsung dilepas di alam, peluang mereka untuk dapat bertahan di alam akan rendah, dari segi perilaku dan juga kesehatan satwa tersebut selama kita memeliharanya karena sangat berbeda di habitat aslinya. Satwa harus diskrining kesehatannya untuk memastikan apakah satwa tersebut sehat dan tidak membawa penyakit kepada satwa lain di habitat target pelepasliaran satwa tersebut. Selain itu, rehabilitasi dilakukan untuk mengembalikan sifat alaminya, seperti perilaku mencari makan, sifat takut pada manusia ataupun predator lainnya, agar dapat sukses hidup kembali di alam.Â
Untuk penanganan satwa peliharaan eksotis yang bukan asli Indonesia, seperti rakun, macaw, dan iguana, masih menjadi PR bagi kita semua. Pelepasliaran satwa eksotis ke habitat yang ada di Indonesia akan membuat keseimbangan ekosistem terganggu dan juga tidak menjamin keberlangsungan hidup satwa eksotis tersebut. Kepunahan hewan asli penghuni habitat di suatu tempat dapat terjadi akibat masuknya jenis pendatang ke habitat tersebut. Contoh kasusnya adalah kepunahan burung Dodo di Pulau Mauritius akibat manusia mendatangkan jenis pendatang seperti anjing, kucing, tikus, serta monyet ekor panjang ke pulau tersebut, dimana sebelumnya burung Dodo tidak punya pesaing dalam ekosistemnya namun tiba-tiba memiliki pesaing dan predator. Tindakan pencegahan, seperti edukasi kepada masyarakat agar tidak memelihara satwa eksotis, merupakan langkah yang efektif dalam penanganan hal ini. Karena bagaimanapun ketatnya proses karantina hewan yang masuk ke Indonesia, akan masih ada yang lolos apabila pasar dan peminatnya masih ada.