Mohon tunggu...
Lintang Chandra
Lintang Chandra Mohon Tunggu... -

Seorang pemikir bebas

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Sinetron Sembilan Wali: Sejarah yang Tergadai

16 Juli 2012   22:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:53 3951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_200929" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Menjelang bulan Ramadhan, sudah menjadi tradisi stasiun TV akan berebut menampilkan acara-acara bertema religi. Tidak salah, tetapi budaya "lebay" ini terkesan justru menafikkan kemurnian arti bulan yang penuh damai dan rahmat. Ibarat para penjaja makanan berebut menjajakan makanan untuk berbuka puasa di pinggir jalan, stasiun-statisun TV nasional juga mulai berebut mengkomersilkan bulan Ramadhan dengan berbagai tayangan yang bertema religi. Lebih-lebih motif komersil ini sering melahirkan bentuk-bentuk acara yang “kebablasan”.

Sebut saja sebuah sinetron religi bertajuk “Sembilan Wali” yang baru tayang beberapa episode di sebuah stasiun TV swasta nasional. Awalnya saya berharap sinetron ini akan memberi guyuran rohaniah dengan sajian sejarah abad 14-15 di Nusantara yang dapat dipetik hikmahnya. Namun nyatanya yang tersaji adalah sinetron dengan kualitas acak adut dan kisah sejarah yang kacau balau. Tapi saya tidak terlalu kaget sebab rumah produksi sinetron ini adalah produsen yang sama dari Sinetron Tutur Tinular Versi 2011 yang telah sukses mengacak-acak kisah asli Tutur Tinular berikut juga timeline sejarah yang melatar belakanginya.

Tidak gampang untuk mengangkat sebuah kisah sejarah dalam bentuk film. Tentu perlu kerja keras, perlu sebuah analisa sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan kepada publik dan dedikasi kepada sejarah itu sendiri secara jujur dan objektif. Tapi tampaknya sikap seperti ini sudah sirna dalam dunia perfilman nasional. Tampaknya siapapun pemilik modal bisa dengan bebas membuat film sejarah dengan semau-maunya, yang penting banyak pemirsanya, tinggi rating programnya dan banyak iklannya yang berarti juga banyak keuntungan yang mengalir. Gayung bersambut dengan sikap masyarakat, termasuk pemerintah yang tampaknya sudah tidak peduli lagi pada sejarah nasional, terserah mau diplintir-plintir seperti apapun.

Sinetron Sembilan Wali memang tampaknya dibuat untuk memanjakan umat Islam sebagai agama mayoritas. Bahkan ada kesan seperti “cari muka” tanpa peduli menabrak rambu-rambu sejarah yang ada. Alasannya untuk syiar, biarpun ceritanya tidak punya dasar historis. Pertanyaan yang muncul adalah apakah alasan syiar dapat menghalalkan segala cara yang ditempuh, apalagi sampai mengacak-acak sejarah? Apakah sebuah tujuan yang mulia harus diraih dengan cara-cara yang murahan? Saya rasa tidak seharusnya demikian.

1342477497712810734
1342477497712810734

Dalam sinetron tersebut dikisahkan tokoh Sunan Kalijaga sebagai sosok yang sempurna, tampan, berbudi luhur, sakti, dan steril dari intrik politik. Demikian pula sosok Raden Patah dan para wali yang lainnya yang digambarkan sebagai sosok super suci dan steril dari intrik politik. Kesultanan Demak Bintoro digambarkan sebagai kesultanan yang bersih dan cinta damai. Berbeda dengan Kerajaan Majapahit yang digambarkan sedemikian bobroknya, berisi orang-orang yang suka berperang, kejam, penuh intrik politik dan memusuhi agama Islam serta memerangi para wali. Dalam sebuah script adegan bahkan dengan nyata-nyata seorang perwira Majapahit yang berwajah beringas mengatakan bahwa mereka harus memusnahkan wali karena mau mengganti kepercayaan lama dengan agama Islam. Apa maksudnya kepercayaan lama? Apakah ini mengacu pada agama Hindu-Buddha yang merupakan agama masyarakat Majapahit? Apakah script ini dibuat tanpa pertimbangan dapat menimbulkan isu-isu SARA?

Dan di atas semua itu, pertanyaan yang muncul adalah: Benarkah semua kisah sejarah ini?

Sebelum kita melangkah jauh mengupas kisah sejarah, maka marilah terlebih dulu menata hati kita menjadi insan yang jujur pada sejarah. Perlu kebesaran hati untuk bersikap jujur pada sejarah, sepahit apapun itu. Kejujuran pada sejarah, adalah modal dasar untuk menata peradaban bangsa di masa depan. Dengan bersikap jujur, maka kita akan mengakui hal-hal yang baik, begitu pula hal-hal yang buruk, lalu mengambil hikmahnya untuk mengayun langkah ke depan.

Kisah tentang Sembilan Wali dilatarbelakangi oleh keruntuhan Kerajaan Majapahit dan bangkitnya Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Beberapa sumber sejarah tertulis antara lain: Babad Tanah Jawi, Serat Kanda, Kitab Darmogandhul, Kronik China Sam Po Kong jelas menunjukkan adanya kudeta Demak atas Majapahit yang didukung oleh para Wali. Termasuk konflik berdarah Syeh Siti Jenar, konflik Trah Demak dengan Trah Pengging, dan perang Kesultanan Giri Kedaton versus Kesultanan Pajang, yang terasa sampai sekarang dengan simbolisasi kaum Putihan dan Abangan. Justru tidak ada bukti bahwa pada Jaman Majapahit, kaum Islam dimusuhi apalagi para wali diperangi, diburu untuk dibunuh. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan yang sangat toleran pada keberagaman sesuai dengan slogan Bhineka Tunggal Ika. Hal ini terbukti dari eksistensi Kesultanan Malaka dan Pasai yang dibiarkan hidup berkembang dengan kultur agama Islam di bawah naungan payung Majapahit.

Dalam Sinetron Sembilan Wali berkali-kali ditayangkan Sunan Kalijaga diburu dan hendak dibunuh oleh pemerintah Majapahit, namun agar tidak kelihatan terlalu vulgar maka pihak Majapahit disamarkan dalam bentuk kerajaan-kerajaan kecil bernama Mojoagung dan Wengker yang saling bertikai dan menjadikan para wali serta Kesultanan Demak sebagai korban politik. Hal ini sungguh sangat tidak berdasar pada fakta sejarah. Sebuah interpretasi yang ngawur dan semau gue. Memang benar bahwa pada masa itu terjadi perang saudara di Majapahit, khususnya Majapahit Kulon (Pusat) dengan Majapahit Wetan (Blambangan) yang dikenal dengan Perang Paregreg (1404-1406). Perang ini berakibat melemahnya kekuatan pusat Majapahit Kulon sehingga banyak kerajaan-kerajaan kecil yang mulai melepaskan diri secara diam-diam dari naungan Majapahit. Tapi tidak ada catatan sejarah tentang perang antara Mojoagung dan Wengker.

Tidak jelas daerah mana yang dimaksud Mojoagung ini, tapi di jaman sekarang kita mengenal Mojoagung adalah sebuah kecamatan di sebelah Kecamatan Trowulan, pusat pemerintahan Majapahit dulu. Jarak Trowulan-Mojoagung hanya sekitar 5 km. Kalau benar begitu, berarti Kerajaan Mojoagung ada di pusat Kerajaan Majapahit Kulon, sehingga Kerajaan Mojoagung dan Majapahit tentu saling tumpang tindih. Sangat janggal dan aneh. Sedangkan Wengker adalah negara bawahan Majapahit di kawasan Ponorogo sekarang. Tidak pernah diceritakan Wengker berperang melawan Majapahit pusat, apalagi Mojoagung yang tidak jelas kerajaan apa dan dimana. Memang Wengker adalah kawasan tempat pelarian para pejabat Majapahit yang mengundurkan diri karena tidak puas dengan pemerintahan Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) karena terlalu dikendalikan oleh permaisurinya yaitu Putri Champa (Dwarawati).

Memang pernah ada peristiwa penyerangan prajurit Majapahit pada rombongan pendatang dari Tiongkok yang dipimpin Laksamana Cheng Ho, seorang perwira muslim dari Suku Hui Chi, yang berakibat tewasnya 170 orang anggota rombongan. Hal itu terjadi karena kecelakaan atau penyerangan salah sasaran akibat kekacauan Perang Paregreg. Atas kecelakaan itu, Prabu Wikramawardhana meminta maaf dan harus didenda ganti rugi 60.000 tahil. Sampai 1408 ia baru bisa mengangsur 10.000 tahil saja. Akhirnya, Kaisar Yung Lo membebaskan denda tersebut karena kasihan. Peristiwa ini dicatat Ma Huan (sekretaris Cheng Ho) dalam bukunya, Ying-ya-sheng-lan.

Jadi sekali lagi tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan pasukan Majapahit menyerang, memburu, bahkan membunuh para wali dan umat Islam yang kala itu mayoritas adalah orang-orang China Selatan. Perang yang terjadi adalah perang saudara Majapahit Kulon dan Majapahit Wetan. Juga tidak ada catatan tentang Perang Wengker versus Mojoagung. Sinetron Sembilan Wali jelas mengada-ada, maksudnya ingin mengagungkan para wali tapi kebablasan sampai membuat kebohongan sejarah.

Adalah seorang pejabat Demang Kutu di wilayah Wengker bernama Ki Ageng Kutu yang mengkritik Prabu Brawijaya dengan menciptakan tradisi Tari Reog Ponorogo, dimana Prabu Kertabhumi digambarkan seperti macan banci yang dikangkangi seorang wanita, sedangkan para warok adalah gambaran panglima militer Majapahit yang marah pada penari-penari banci yaitu gambaran prajurit-prajurit Majapahit yang kekuatannya mlempem seperti banci. Sikap Ki Ageng Kutu ini justru mengundang amarah Kesultanan Demak, sehingga Demak menyerang wilayah Ki Ageng Kutu dengan pasukan yang dipimpin oleh Batoro Katong, adik Raden Patah atas rekomendasi dari Sunan Kalijaga dan Kiai Muslim. Terjadi pertempuran sengit antara prajurit Ki Ageng Kutu dengan prajurit Batoro Kathong, tetapi Ki Ageng Kutu dan prajuritnya berhasil dipukul mundur hingga ke Gunung Bacin. Peristiwa bersejarah ini tercatat dalam Babad Ponorogo.

Masyarakat Malaysia bahkan mengakui fakta sejarah kudeta Demak atas Majapahit dari Hikayat Hang Tuah tentang Putri Gunung Ledang, yang tidak lain adalah Retno Dumilah, adik dari Pangeran Handayaningrat - Bupati Pengging, suami dari Retno Pembayun - putri Prabu Kertabhumi. Retno Dumilah melarikan diri ke Malaka akibat serangan Demak ke Majapahit sekaligus menemui kekasihnya Hang Tuah, pahlawan Malaka yang termasyur.

Fakta sejarah yang harusnya diakui secara jujur adalah bahwa Kesultanan Demak, di bawah pimpinan Raden Patah atas rekomendasi walisongo telah melakukan kudeta terhadap Majapahit. Raden Patah dan para wali selain sebagai penyebar agama Islam, namun juga memiliki manuver politik untuk membawa Demak menjadi penguasa Nusantara, khususnya Jawa. Hal ini terbukti dari pertikaian para wali dengan Syeh Siti Jenar beserta muridnya Kebo Kenongo yang berakhir dengan hukuman mati. Kisah ini tercatat dalam Serat Centhini dan Serat Cabolek.

Saya tidak sedang menyudutkan historisitas Walisongo, saya hanya menyuguhkan kejujuran sejarah, itu saja tidak lebih. Wali yang paling berperan dalam pembentukan majelis dakwah adalah Sunan Ampel. Sunan Ampel adalah sosok yang berwibawa, disegani dan cinta damai. Sunan Ampel adalah guru dari Syeh Siti Jenar. Sunan Ampel mendapat kepercayaan dari Prabu Kertabhummi untuk menyebarkan syiar agama Islam, bahkan diberi wilayah di Ngampel Denta untuk mendirikan pesantren. Maka dari itu Sunan Ampel sangat menghormati Prabu Kertabhumi. Sunan Ampel berpesan pada Raden Patah agar jangan sekali-kali mengkudeta pemerintahan ayahnya. Semua wali hormat dan tunduk pada Sunan Ampel, sebab beliau jugalah ketua majelis dakwah Islam di Jawa kala itu. Tetapi suasana dakwah Islam yang damai berubah manakala Sunan Ampel wafat (besar kemungkinan sebelum Masjid Demak berdiri tahun 1401). Sunan Giri yang mengambil alih pucuk pimpinan majelis dakwah mulai melangkah pada kepentingan politis dan menyarankan Raden Patah menyerang Majapahit. Adalah Syekh Siti Jenar yang kukuh menolak sikap tersebut. Ketika Syekh Siti Jenar berkata “Ingsun Pangeran Sejati”, sebenarnya terselip sindiran pada Giri untuk kembali pada hakikat wali yaitu sebagai penyebar nilai-nilai Islam, jangan sampai dicemari manuver politik. Tapi sikap Syekh Siti Jenar ini adalah duri dalam daging bagi para wali, sehingga diputuskanlah untuk menghukum mati beliau.

Pada akhirnya tulisan ini mengajak kita sekalian untuk bersikap ksatria, berkata ya di atas ya, tidak di atas tidak. Akuilah baik sebagai baik, buruk sebagai buruk. Bukankah sikap ini yang diteladankan oleh Rasulullah Nabi Muhammad SAW

“Agar Allah memberikan balasan kepada yang jujur karena kejujurannya dan mengazab orang munafiq jika ia menghendakinya.” (QS. al-ahzab: 24)

Hanya dengan kejujuran pada sejarah di masa lalu, maka kita dapat mengevaluasi diri dan menata diri masa depan bangsa. Sebagaimana ucapan Bung Karno:

Jangan pernah melupakan sejarah jika ingin menjadi bangsa yang besar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun