Tidak jelas daerah mana yang dimaksud Mojoagung ini, tapi di jaman sekarang kita mengenal Mojoagung adalah sebuah kecamatan di sebelah Kecamatan Trowulan, pusat pemerintahan Majapahit dulu. Jarak Trowulan-Mojoagung hanya sekitar 5 km. Kalau benar begitu, berarti Kerajaan Mojoagung ada di pusat Kerajaan Majapahit Kulon, sehingga Kerajaan Mojoagung dan Majapahit tentu saling tumpang tindih. Sangat janggal dan aneh. Sedangkan Wengker adalah negara bawahan Majapahit di kawasan Ponorogo sekarang. Tidak pernah diceritakan Wengker berperang melawan Majapahit pusat, apalagi Mojoagung yang tidak jelas kerajaan apa dan dimana. Memang Wengker adalah kawasan tempat pelarian para pejabat Majapahit yang mengundurkan diri karena tidak puas dengan pemerintahan Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) karena terlalu dikendalikan oleh permaisurinya yaitu Putri Champa (Dwarawati).
Memang pernah ada peristiwa penyerangan prajurit Majapahit pada rombongan pendatang dari Tiongkok yang dipimpin Laksamana Cheng Ho, seorang perwira muslim dari Suku Hui Chi, yang berakibat tewasnya 170 orang anggota rombongan. Hal itu terjadi karena kecelakaan atau penyerangan salah sasaran akibat kekacauan Perang Paregreg. Atas kecelakaan itu, Prabu Wikramawardhana meminta maaf dan harus didenda ganti rugi 60.000 tahil. Sampai 1408 ia baru bisa mengangsur 10.000 tahil saja. Akhirnya, Kaisar Yung Lo membebaskan denda tersebut karena kasihan. Peristiwa ini dicatat Ma Huan (sekretaris Cheng Ho) dalam bukunya, Ying-ya-sheng-lan.
Jadi sekali lagi tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan pasukan Majapahit menyerang, memburu, bahkan membunuh para wali dan umat Islam yang kala itu mayoritas adalah orang-orang China Selatan. Perang yang terjadi adalah perang saudara Majapahit Kulon dan Majapahit Wetan. Juga tidak ada catatan tentang Perang Wengker versus Mojoagung. Sinetron Sembilan Wali jelas mengada-ada, maksudnya ingin mengagungkan para wali tapi kebablasan sampai membuat kebohongan sejarah.
Adalah seorang pejabat Demang Kutu di wilayah Wengker bernama Ki Ageng Kutu yang mengkritik Prabu Brawijaya dengan menciptakan tradisi Tari Reog Ponorogo, dimana Prabu Kertabhumi digambarkan seperti macan banci yang dikangkangi seorang wanita, sedangkan para warok adalah gambaran panglima militer Majapahit yang marah pada penari-penari banci yaitu gambaran prajurit-prajurit Majapahit yang kekuatannya mlempem seperti banci. Sikap Ki Ageng Kutu ini justru mengundang amarah Kesultanan Demak, sehingga Demak menyerang wilayah Ki Ageng Kutu dengan pasukan yang dipimpin oleh Batoro Katong, adik Raden Patah atas rekomendasi dari Sunan Kalijaga dan Kiai Muslim. Terjadi pertempuran sengit antara prajurit Ki Ageng Kutu dengan prajurit Batoro Kathong, tetapi Ki Ageng Kutu dan prajuritnya berhasil dipukul mundur hingga ke Gunung Bacin. Peristiwa bersejarah ini tercatat dalam Babad Ponorogo.
Masyarakat Malaysia bahkan mengakui fakta sejarah kudeta Demak atas Majapahit dari Hikayat Hang Tuah tentang Putri Gunung Ledang, yang tidak lain adalah Retno Dumilah, adik dari Pangeran Handayaningrat - Bupati Pengging, suami dari Retno Pembayun - putri Prabu Kertabhumi. Retno Dumilah melarikan diri ke Malaka akibat serangan Demak ke Majapahit sekaligus menemui kekasihnya Hang Tuah, pahlawan Malaka yang termasyur.
Fakta sejarah yang harusnya diakui secara jujur adalah bahwa Kesultanan Demak, di bawah pimpinan Raden Patah atas rekomendasi walisongo telah melakukan kudeta terhadap Majapahit. Raden Patah dan para wali selain sebagai penyebar agama Islam, namun juga memiliki manuver politik untuk membawa Demak menjadi penguasa Nusantara, khususnya Jawa. Hal ini terbukti dari pertikaian para wali dengan Syeh Siti Jenar beserta muridnya Kebo Kenongo yang berakhir dengan hukuman mati. Kisah ini tercatat dalam Serat Centhini dan Serat Cabolek.
Saya tidak sedang menyudutkan historisitas Walisongo, saya hanya menyuguhkan kejujuran sejarah, itu saja tidak lebih. Wali yang paling berperan dalam pembentukan majelis dakwah adalah Sunan Ampel. Sunan Ampel adalah sosok yang berwibawa, disegani dan cinta damai. Sunan Ampel adalah guru dari Syeh Siti Jenar. Sunan Ampel mendapat kepercayaan dari Prabu Kertabhummi untuk menyebarkan syiar agama Islam, bahkan diberi wilayah di Ngampel Denta untuk mendirikan pesantren. Maka dari itu Sunan Ampel sangat menghormati Prabu Kertabhumi. Sunan Ampel berpesan pada Raden Patah agar jangan sekali-kali mengkudeta pemerintahan ayahnya. Semua wali hormat dan tunduk pada Sunan Ampel, sebab beliau jugalah ketua majelis dakwah Islam di Jawa kala itu. Tetapi suasana dakwah Islam yang damai berubah manakala Sunan Ampel wafat (besar kemungkinan sebelum Masjid Demak berdiri tahun 1401). Sunan Giri yang mengambil alih pucuk pimpinan majelis dakwah mulai melangkah pada kepentingan politis dan menyarankan Raden Patah menyerang Majapahit. Adalah Syekh Siti Jenar yang kukuh menolak sikap tersebut. Ketika Syekh Siti Jenar berkata “Ingsun Pangeran Sejati”, sebenarnya terselip sindiran pada Giri untuk kembali pada hakikat wali yaitu sebagai penyebar nilai-nilai Islam, jangan sampai dicemari manuver politik. Tapi sikap Syekh Siti Jenar ini adalah duri dalam daging bagi para wali, sehingga diputuskanlah untuk menghukum mati beliau.
Pada akhirnya tulisan ini mengajak kita sekalian untuk bersikap ksatria, berkata ya di atas ya, tidak di atas tidak. Akuilah baik sebagai baik, buruk sebagai buruk. Bukankah sikap ini yang diteladankan oleh Rasulullah Nabi Muhammad SAW
“Agar Allah memberikan balasan kepada yang jujur karena kejujurannya dan mengazab orang munafiq jika ia menghendakinya.” (QS. al-ahzab: 24)
Hanya dengan kejujuran pada sejarah di masa lalu, maka kita dapat mengevaluasi diri dan menata diri masa depan bangsa. Sebagaimana ucapan Bung Karno:
“Jangan pernah melupakan sejarah jika ingin menjadi bangsa yang besar”