[caption id="attachment_200929" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Menjelang bulan Ramadhan, sudah menjadi tradisi stasiun TV akan berebut menampilkan acara-acara bertema religi. Tidak salah, tetapi budaya "lebay" ini terkesan justru menafikkan kemurnian arti bulan yang penuh damai dan rahmat. Ibarat para penjaja makanan berebut menjajakan makanan untuk berbuka puasa di pinggir jalan, stasiun-statisun TV nasional juga mulai berebut mengkomersilkan bulan Ramadhan dengan berbagai tayangan yang bertema religi. Lebih-lebih motif komersil ini sering melahirkan bentuk-bentuk acara yang “kebablasan”.
Sebut saja sebuah sinetron religi bertajuk “Sembilan Wali” yang baru tayang beberapa episode di sebuah stasiun TV swasta nasional. Awalnya saya berharap sinetron ini akan memberi guyuran rohaniah dengan sajian sejarah abad 14-15 di Nusantara yang dapat dipetik hikmahnya. Namun nyatanya yang tersaji adalah sinetron dengan kualitas acak adut dan kisah sejarah yang kacau balau. Tapi saya tidak terlalu kaget sebab rumah produksi sinetron ini adalah produsen yang sama dari Sinetron Tutur Tinular Versi 2011 yang telah sukses mengacak-acak kisah asli Tutur Tinular berikut juga timeline sejarah yang melatar belakanginya.
Tidak gampang untuk mengangkat sebuah kisah sejarah dalam bentuk film. Tentu perlu kerja keras, perlu sebuah analisa sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan kepada publik dan dedikasi kepada sejarah itu sendiri secara jujur dan objektif. Tapi tampaknya sikap seperti ini sudah sirna dalam dunia perfilman nasional. Tampaknya siapapun pemilik modal bisa dengan bebas membuat film sejarah dengan semau-maunya, yang penting banyak pemirsanya, tinggi rating programnya dan banyak iklannya yang berarti juga banyak keuntungan yang mengalir. Gayung bersambut dengan sikap masyarakat, termasuk pemerintah yang tampaknya sudah tidak peduli lagi pada sejarah nasional, terserah mau diplintir-plintir seperti apapun.
Sinetron Sembilan Wali memang tampaknya dibuat untuk memanjakan umat Islam sebagai agama mayoritas. Bahkan ada kesan seperti “cari muka” tanpa peduli menabrak rambu-rambu sejarah yang ada. Alasannya untuk syiar, biarpun ceritanya tidak punya dasar historis. Pertanyaan yang muncul adalah apakah alasan syiar dapat menghalalkan segala cara yang ditempuh, apalagi sampai mengacak-acak sejarah? Apakah sebuah tujuan yang mulia harus diraih dengan cara-cara yang murahan? Saya rasa tidak seharusnya demikian.
Dalam sinetron tersebut dikisahkan tokoh Sunan Kalijaga sebagai sosok yang sempurna, tampan, berbudi luhur, sakti, dan steril dari intrik politik. Demikian pula sosok Raden Patah dan para wali yang lainnya yang digambarkan sebagai sosok super suci dan steril dari intrik politik. Kesultanan Demak Bintoro digambarkan sebagai kesultanan yang bersih dan cinta damai. Berbeda dengan Kerajaan Majapahit yang digambarkan sedemikian bobroknya, berisi orang-orang yang suka berperang, kejam, penuh intrik politik dan memusuhi agama Islam serta memerangi para wali. Dalam sebuah script adegan bahkan dengan nyata-nyata seorang perwira Majapahit yang berwajah beringas mengatakan bahwa mereka harus memusnahkan wali karena mau mengganti kepercayaan lama dengan agama Islam. Apa maksudnya kepercayaan lama? Apakah ini mengacu pada agama Hindu-Buddha yang merupakan agama masyarakat Majapahit? Apakah script ini dibuat tanpa pertimbangan dapat menimbulkan isu-isu SARA?
Dan di atas semua itu, pertanyaan yang muncul adalah: Benarkah semua kisah sejarah ini?
Sebelum kita melangkah jauh mengupas kisah sejarah, maka marilah terlebih dulu menata hati kita menjadi insan yang jujur pada sejarah. Perlu kebesaran hati untuk bersikap jujur pada sejarah, sepahit apapun itu. Kejujuran pada sejarah, adalah modal dasar untuk menata peradaban bangsa di masa depan. Dengan bersikap jujur, maka kita akan mengakui hal-hal yang baik, begitu pula hal-hal yang buruk, lalu mengambil hikmahnya untuk mengayun langkah ke depan.
Kisah tentang Sembilan Wali dilatarbelakangi oleh keruntuhan Kerajaan Majapahit dan bangkitnya Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Beberapa sumber sejarah tertulis antara lain: Babad Tanah Jawi, Serat Kanda, Kitab Darmogandhul, Kronik China Sam Po Kong jelas menunjukkan adanya kudeta Demak atas Majapahit yang didukung oleh para Wali. Termasuk konflik berdarah Syeh Siti Jenar, konflik Trah Demak dengan Trah Pengging, dan perang Kesultanan Giri Kedaton versus Kesultanan Pajang, yang terasa sampai sekarang dengan simbolisasi kaum Putihan dan Abangan. Justru tidak ada bukti bahwa pada Jaman Majapahit, kaum Islam dimusuhi apalagi para wali diperangi, diburu untuk dibunuh. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan yang sangat toleran pada keberagaman sesuai dengan slogan Bhineka Tunggal Ika. Hal ini terbukti dari eksistensi Kesultanan Malaka dan Pasai yang dibiarkan hidup berkembang dengan kultur agama Islam di bawah naungan payung Majapahit.
Dalam Sinetron Sembilan Wali berkali-kali ditayangkan Sunan Kalijaga diburu dan hendak dibunuh oleh pemerintah Majapahit, namun agar tidak kelihatan terlalu vulgar maka pihak Majapahit disamarkan dalam bentuk kerajaan-kerajaan kecil bernama Mojoagung dan Wengker yang saling bertikai dan menjadikan para wali serta Kesultanan Demak sebagai korban politik. Hal ini sungguh sangat tidak berdasar pada fakta sejarah. Sebuah interpretasi yang ngawur dan semau gue. Memang benar bahwa pada masa itu terjadi perang saudara di Majapahit, khususnya Majapahit Kulon (Pusat) dengan Majapahit Wetan (Blambangan) yang dikenal dengan Perang Paregreg (1404-1406). Perang ini berakibat melemahnya kekuatan pusat Majapahit Kulon sehingga banyak kerajaan-kerajaan kecil yang mulai melepaskan diri secara diam-diam dari naungan Majapahit. Tapi tidak ada catatan sejarah tentang perang antara Mojoagung dan Wengker.