Mohon tunggu...
Lintang Chandra
Lintang Chandra Mohon Tunggu... -

Seorang pemikir bebas

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

ANTARA GURU BAHASA JAWA DAN ILMU JAWA

19 Juni 2012   02:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:48 1012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Jadi anda mengajar pelajaran Bahasa Jawa?" tanya saya pada wanita berjilbab itu.

“Ya benar, tetapi saya ini mengajar di MTs.” jawabnya santun.

“Ooo … pantas saja kalau begitu”, saya bergumam dalam hati,.

Wajar bila saya berpikir demikian, karena biasanya sangat jarang saya menemukan guru wanita Bahasa Jawa yang mengenakan jilbab. Belum sempat saya bertanya lebih jauh, sang guru Bahasa Jawa itu bertutur lagi.

“Sebenarnya alasan kenapa banyak orang memilih menjadi guru Bahasa Jawa, karena biasanya paling gampang proses pengangkatannya (jadi PNS) dibanding guru mata pelajaran lain. Tapi kalau saya, tidak semata-mata demikian. Sebenarnya saya memang benar-benar ada rasa suka dengan Bahasa Jawa.”

Saya hanya manggut-manggut mendengarkan ia berbicara.

”Sebenarnya dulu waktu kuliah, saya sering merasa gimana gitu. Saya kalau mendengar dosen mengajar, kok begini ya?”

”Maksudnya gimana, bu?” saya bereaksi ingin tahu, walau saya sesungguhnya dapat menerka apa yang hendak disampaikan oleh sang ibu guru.

”Ya, kan banyak ajaran-ajaran yang bertentangan dengan keyakinan saya mas. Saya pikir belajar Bahasa Jawa itu ya cuma belajar cara berbicara dan menulis saja, tetapi ternyata saya juga diperkenalkan pada serat-serat Jawa, misalnya Serat Cethini. Pernah juga dperkenalkan ritual memandikan keris. Apalagi tentang ajaran Manunggaling Kawula Gusthi. Aduh .... bingung saya, mas. Pokoknya saya cuma ngikut aja deh, hanya sebatas tahu, tidak sampai diyakini dalam hati.”

”Ya, pasti karena anda adalah seorang wanita yang taat pada agama”, kata saya sambil tersenyum.

”Ya, benar mas.” ia menimpali.

“Belajar tradisi Jawa pasti bertentangan dengan akidah yang ibu yakini, kan?”.

“Ya begitulah, mas” jawabnya sambil mengangguk.

Saya tahu bahwa orang-orang yang demikian pasti mengalami pergulatan internal antara falsafah kearifan lokal dengan keyakinan agama yang dipegangnya dengan teguh. Selama orang tersebut masih memiliki kemelekatan dogmatika agama, maka ia akan gagal memahami hakikat kearifan lokal, dan selama itu pula pertentangan batin akan terus terjadi. Dan itulah yang terjadi pada sang ibu guru Bahasa Jawa ini.

Tidak banyak orang menyadari bahwa belajar bahasa sebenarnya tidak hanya belajar masalah gramatikal belaka. Belajar bahasa juga berarti belajar tentang budaya, falsafah, logika dan pandangan hidup masyarakat pengguna bahasa terebut. Dalam bahasa terkandung “jiwa” spiritualitas. Apalagi dalam Bahasa Jawa yang termasuk sarana komunikasi kelompok masyarakat “timur” yang sarat dengan falsafah mistik dan spiritualitas.

Istilah Ilmu Jawa sebenarnya berbeda arti dengan istilah Jawa dalam konteks etnis. Ilmu Jawa lebih mengacu pada pengertian budi pekerti, suatu standar moralitas dan spiritualitas yang sangat dalam. Orang awam biasanya menyebut dengan istilah ilmu kebatinan atau kejawen. Kearifan lokal dengan ”spirit” yang sama dapat dijumpai pada kelompok etnis di Nusantara di luar Suku Jawa, misalnya Sunda Wiwitan (Sunda), Kaharingan (Kalimantan), Tonaas Walian (Minahasa), dan Parmalim (Batak). Di mancanegara, ada pula kearifan lokal yang memiliki kemiripan dengan Ilmu Jawa, misalnya Suku Maya di Amerika Selatan dan Suku Polynesia di Hawaii.

Dewasa ini tidak banyak orang tahu bahwa falsafah kearifan lokal semacam ini memiliki kedalaman spiritualitas yang teramat dalam. Perihal Ilmu Jawa, banyak orang Jawa sendiri yang masih belum dapat memahami hakikatnya dengan benar. Hakikat Ilmu Jawa sering terdistorsi dalam kesalah-kaprahan praktik per-klenik-an dan perdukunan, serta perkara-perkara supranatural, seperti alam ghaib, tenaga dalam, santet, mantra, sesaji, dan semacamnya. Dalam khasanah Ilmu Jawa, hal-hal semacam itu tergolong dalam aspek kulit luar (kulitan) atau masih berorientasi pada keduniawian (donya brana).

Inti dari Ilmu Jawa sejatinya adalah harmonisasi kosmik antara manusia dengan Tuhan (Sang Hyang Wenang), dengan sesamanya manusia dan dengan alamnya. Ilmu Jawa tidak tumbuh melalui sistem dogmatika, sebagaimana yang dikenal dalam agama-agama formal, tetapi dalam tatanan sistem kepercayaan masyarakat Jawa, akulturasi antara agama-agama formal dengan falsafah Ilmu Jawa selalu membuahkan sikap hidup yang “cantik”. Semacam pelengkap atau penyempurna bagi ajaran-ajaran agama.

Ilmu Jawa adalah ilmu roso (hati nurani), sehingga kehidupan spiritualitas dibangun secara natural, tidak terikat pada sakralisasi wahyu, kitab, dan ritual. Praktik pemujaan terhadap alam atau materi bendawi oleh para penganut tradisi Jawa sebenarnya hanyalah sarana menyatukan diri dengan tatanan kehidupan yang kosmik. Praktik ini hanya kulit luar bagi kaum awam yang masih sulit memahami hakikat. Tapi bagi yang sudah paham hakikat, sudah mampu melepaskan diri dari kemelekatan sakralisasi ritual. Penganut Ilmu Jawa meyakini bahwa figur Tuhan adalah infinitive dan oleh karenanya penyembahan pada Tuhan tidak terikat pada ritual tertentu. Hakikat Tuhan sejatinya harus berakar pada hati nurani (batin).

Saya menghela nafas panjang, lalu menyerahkan berkas file yang dipesan oleh sang ibu guru itu. Pembicaraan kami pun terus bergulir.

“Maaf, kalau boleh saya berkomentar. Itu pertanda bahwa anda adalah seorang yang sholeha, tetapi barangkali anda masih berada dalam tingkat syariat. Sedangkan apa yang diajarkan dalam ilmu Jawa itu adalah hakikat. Ini bukan untuk diberdebatkan, tetapi untuk direnungkan, karena ini adalah ilmu roso (hati nurani).” demikian saya bertutur perlahan, berupaya untuk memberikan sedikit pencerahan pada wanita itu. Saya tidak ingin terlalu mengintervensi keyakinan orang, namun dengan sedikit wacana, saya berharap wanita itu akan memahami sesuatu yang berharga.

”Apakah anda pernah mendengar istilah desakralisasi?” saya melanjutkan pembicaraan dengan sebuah pertanyaan yang menurut saya, cukup dalam maknanya.

”Ya...ya, saya pernah mendengar tentang itu sewaktu kuliah dulu. Para mahasiswa masjid sering membahas tentang itu.” jawabnya

”Wacana itu dicetuskan oleh Prof. DR. Nurcholis Madjid (almarhum), tetapi sebenarnya falsafah ini sudah lama ada dalam dunia sufisme sejak jaman para wali, khususnya Sunan Kalijogo dan Syeh Siti Jenar. Bahkan sebenarnya falsafah ini sudah ada sejak jaman leluhur orang Jawa dulu. Tuhan itu adalah entitas yang tak terbatas, sedangkan manusia adalah entitas yang terbatas. Keterbatasan ego manusia cenderung ingin mempersonifikasikan Tuhan dan mensakralkan aspek-aspek tertentu, sebagai sarana untuk mencapai ketidak-terbatasan Tuhan. Ada masyarakat yang mensakralkan patung, pohon, gunung, laut, matahari, dan hal-hal bendawi. Ada yang mensakralkan benda-benda abstrak, misalnya hari lahir (weton), mantra, ritual, jin, dan sebagainya. Nah, ada pula yang paling banyak terjadi dalam era masyarakat kita saat ini, yaitu mensakralkan agama dengan segala dogmatika dan atribut yang ada di dalamnya. Agama apapun itu.”.

Ibu itu terdiam tanpa ekspresi. Seperti ada yang berkecamuk dalam batinnya. Saya sempat mencoba mengalihkan pembicaraan sejenak pada hal-hal lain, tentang pekerjaan dan keluarganya. Kemudian pembicaraan kami tentang spiritualitas berlanjut lagi.

“Ajaran Syeh Siti Jenar memang sangat dalam, sehingga banyak orang yang tidak memahami. Makanya sampai terjadi ia dihukum mati karena dianggap sesat.” demikian ibu guru itu memulai pembicaraan lagi.

“Ya, dari dulu polemik dan konflik spiritualitas ya itu-itu saja. Antara sakralisasi dan desakralisasi. Bagi kaum sufi, kesempurnaan tauhid adalah melepaskan diri dari segala macam kemelekatan, termasuk yang paling sulit adalah kemelekatan ego. Selama masih ada sakralisasi, berarti masih ada kemelekatan, berarti masih belum mampu mencapai tauhid yang sejati yaitu “Lailahailallah”.

“Ya mas, kalau pas sholat mestinya kita harus merenungkan makna ungkapan Lailahailallah. Sungguh dalam maknanya. Mestinya kita memang harus menyingkirkan semua hal yang tanpa kita sadari kita ”pertuhankan”. kata wanita itu.

”Termasuk mempertuhankan akidah ya?” saya mengajukan pertanyaan yang tajam.

Ibu guru itu tampak agak syak, dan iapun hanya tersenyum. Saya menyadari betapa sulitnya melepaskan diri dari kemelakatan pada hal-hal yang diyakini sejak dari lahir.

”Melepaskan kemelekatan akidah bukan berarti melepaskan agama yang kita yakini, bukan pula berarti meninggalkan akidah yang kita pegang teguh. Tetapi kita harus menyadari bahwa akidah atau dogmatika bukanlah hakikat kebenaran. Itu hanyalah sarana, hanyalah pintu yang kita pilih untuk menuju Tuhan. Ada banyak pintu-pintu yang lain untuk menuju Tuhan. Pilihan kembali pada keyakinan masing-masing individu, mau melalui pintu yang mana, tetapi jangan sampai mensakralkan pintu itu, sehingga kita kehilangan hakikat kebenaran yang ada di balik pintu itu.”

Jam sudah menunjukkan pukul 11.30, dan sudah waktunya ibu guru Bahasa Jawa ini kembali ke kelasnya dan saya pun harus larut kembali pada pekerjaan rutin saya. Tetapi pembicaraan singkat tentang hakikat spiritualitas tadi rasanya akan terus berlanjut dalam diri ibu guru tadi. Pembicaraan yang terjadi antara dia dengan batinnya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun