Mohon tunggu...
Lintang Pualam
Lintang Pualam Mohon Tunggu... Guru - Puitis bukan hanya milik sang penyair

Lahir di Cilacap, kota indah dengan pantai yang membentang di sisi selatan pulau Jawa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sehangat Tangan Ayah

26 Maret 2021   21:36 Diperbarui: 26 Maret 2021   21:38 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tangan hangatnya selalu terbuka. Dimanapun aku berada. Kapanpun aku membutuhkannya. Dia selalu mendekapku, hangat. Melindungiku, dengan penuh kelembutan. Tidak ada sekat. Tangan yang kokoh nan kuat. Ayah, baktiku akan selalu untukmu dan ibu.

Kucium tangan hangat itu untuk meminta izinnya. Setiap aku hendak pergi kemanapun itu, aku selalu menjabat tangannya untuk berpamitan. Akan kucari sekeliling rumah jika tidak menemukannya. Aku tidak ingin pergi tanpa izin darinya. Karena disetiap izin darinya mengandung do'a agar aku baik-baik saja,  selamat sampai tujuan dan keperluanku pun dimudahkan. Itulah do'a orang tua kepada anak-anaknya. Tidak ingin aku lewati barang seharipun. Karena do'a orang tua langsung diijabah oleh Tuhan tanpa penghalang suatu apapun.

Ada kalanya aku tidak sempat menjabat tangannya. Mungkin karena aku terlalu lama bersiap-siap hingga beliau berangkat terlebih dahulu untuk bekerja. Tapi aku tahu, jika tujuanku baik do'anya selalu menyertaiku.

Ku tatap tangan hangat ayahku, tangan yang selalu siap sedia menggendongku ketika aku tertidur nyenyak kelelahan diruang keluarga. Tangan yang kuat menggendongku ketika aku terbaring sakit, dan selalu sigap membopongku ke rumah sakit bahkan sampai tepi ranjangku. Ya, tidak berhenti sampai disitu beliau pun mengusap dahiku ketika ku kesulitan tertidur karena nyeri yang mendera. Semoga saja ketika usiamu beranjak senja, aku bisa berbakti merawatmu dengan kedua tanganku ayah.

Ku elus tangan kokohmu, tangan yang tidak pernah memukulku barang satu kalipun. Kecuali aku benar-benar salah dan melanggar larangan Tuhan. Ku ingat waktu kecilku dulu, aku terlalu asyik bermain sehingga lupa segalanya. Lupa makan, lupa mandi sore hari, lupa mengaji, hingga parahnya lupa beribadah kepada Tuhan. Kau murka, marahmu yang satu ini karena memang aku benar-benar telah lalai. Aku paham, namun aku bersikeras tidak merasa bersalah. Ketika itu pula, aku rasakan kedisiplinan tangan hangatmu. Ya hanya sekali itu, itupun tidak sakit, tidak berbekas, dan tidak melanggar perintah agama. Karena memang diperintahkan untuk memukul anak yang lalai dalam beribadah untuk mendisiplinkannya. Benar, tidak sakit namun cukup mengingatkanku agar aku rajin beribadah. Bukan, bukan karena takut kepada ayahku, tapi takut kepada marah Tuhanku. Karena murka kedua orang tua juga merupakan murka Tuhan. Itu yang aku tahu.

Ku pandang, masih ku pandang tangan kokoh itu. Tangan yang kasar karena seharian bekerja untuk keluargaku. Meski kasar, namun lembut disaat bersamaan. Kelembutannya yang mengayomi keluargaku dengan kasih sayang. Perlindungannya yang tidak mudah gentar. Dan ketegasannya yang berbalut cinta kasih menjadi pedoman.

"Ayah..."

Ku langkahkan kakiku perlahan, ku dudukkan diriku disampingnya. Ku angsurkan segelas teh hangat di depan mejanya. 

Ku pijat dengan lembut tangan hangat ayahku. Tangan yang dulu kokoh kuat bagai besi, kini telah keriput seiring usia beranjak senja. Ku pijat dengan lembut untuk meminta izinnya. Memang anak-anak, ketika ada maunya baru bersikap baik. Ku malu mengakuinya, tapi memang benar. 

Ku pijat sambil meminta restunya untuk menerima pinangan orang yang akan menggantikan tugas menjagaku. Orang yang aku percaya benar-benar mencintaiku. Tapi aku tahu cintanya tidak akan sebesar cintamu. Namun, aku percaya tidak akan jauh berbeda. Akan merawatku, menyayangiku, menemaniku sampai aku tua nanti. Ayahku tersenyum mengizinkan, tangan hangatnya mengelus anak-anak rambutku lembut. "Anak gadis ayah sudah diminta orang, anakku yang dahulu kecil kini sudah dewasa, tapi kamu masih tetap anak gadis ayah sampai kapanpun itu. Jangan sungkan ceritakan semua keluh kesahmu kepada ayah, ayah disini masih tetap disini menemanimu" ucap ayah lembut, nadanya serak seperti menahan haru. "Ya ayah,,," jawabku juga terharu.

Ku pandang dua tangan di tempat yang penuh barokah, tempat yang dinaungi rahmat Alloh. Dua tangan yang kini saling berjabat tangan. Dua tangan yang paling aku sayangi. Tangan ayahku dan calon suamiku. "Saya nikahkan kau dengan anakku Kasih bin Muhammad dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai" ucap ayahku mantap. "Saya terima nikah dan kawinnya Kasih bin Muhammad dengan mas kawin tersebut tunai" ucap calon suamiku dengan satu hembusan nafas.

Jawaban sah mengalun dengan keras. Do'a-do'a mengalun dengan lembut. Urat-urat nadi yang tadinya tegang kini mengendur. Ayah, terima kasih kau telah menunaikan tugas terberatmu dengan penuh keikhlasan. Kini ada orang lain yang akan menjaga putrimu sebaik kau merawat diriku. Terima kasih ayah, putrimu yang satu ini memang nakal, susah diatur dan selalu manja padamu. Tapi terima kasih kau selalu sabar, ikhlas, menjagaku dan mendidikku sampai kini ku beranjak dewasa. Dan kini giliran tugasku untuk berbakti kepadamu juga suamiku. Mungkin tidak akan sebanding dengan pengorbananmu, baik waktu, tenaga, maupun materi yang kau limpahkan padaku. Namun harapanku hanya satu, semoga baktiku padamu ayah dan  ibu sampai kepada anak cucuku. Sekali lagi terima kasih.

Lintang pualam

Cilacap, 26 Maret 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun