Mohon tunggu...
Lintang Prameswari
Lintang Prameswari Mohon Tunggu... Jurnalis - Content Writer

Bukan penulis, hanya menulis.

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Kecintaan pada Buku dan Ruang-Ruang Komunal yang Menyelamatkannya

18 Mei 2023   03:45 Diperbarui: 18 Mei 2023   14:40 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patjar Merah Surabaya, Dokumentasi Pribadi

Kemarin, 17 Mei, diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Orang-orang mulai membuka kembali ruang diskusi, menyampaikan segudang "prestasi" dan keberhasilan dalam merawat literasi, bahkan mencurahkan impian-impian utopis yang terlalu tidak realistis untuk diwujudkan di Indonesia. Saya tidak mau bilang siapa dan apa, tapi yang jelas, ini merupakan sebuah tulisan yang saya buat sebagai ruang apresiasi bagi ruang-ruang komunal yang hingga kini masih hidup dan terus memberi pelita pada ruang-ruang yang meski kecil, tapi tak pernah membuahkan hasil yang nihil.

Tidak, untuk menghidupkan literasi, kita tak perlu memberi panggung yang tinggi, menganggapnya sebagai ruang eksklusif dengan beban luar biasa tinggi untuk mencerdaskan bangsa, karena sejatinya, kecintaan kepada buku dibangun dari kebiasaan kecil untuk mengenalkan teks lewat ruang atau dimensi lain yang harus relevan dengan apa yang ada sekarang, lewat podcast, audio, video, quotes-quotes kecil tentang kesehatan mental, puisi-puisi pendek yang bisa diakses gratis di media sosial, dan kata-kata motivasi yang bagi sebagian penulis mungkin terkesan receh dan tidak perlu mendapat panggung, tetapi justru dari situlah generasi membaca kita akan tumbuh.

Ruang-ruang komunal yang selama ini tidak hidup dalam eksklusivitas itulah, yang justru berhasil menghidupkan literasi. Ruang yang bergerak diam-diam tapi konstan dan punya tujuan, menjadikan bahan bacaan sebagai sesuatu yang memikat, dengan upaya yang tidak sedikit, membuat buku dekat, dan lekat.

Pengalaman hadir di Patjar Merah Surabaya

Patjar Merah Surabaya, Dokumentasi Pribadi
Patjar Merah Surabaya, Dokumentasi Pribadi

Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.

 Quotes dari Tan Malaka itu terpajang di jendela besar, dekat dengan pintu masuk, saat saya hadir dalam festival kecil patjar merah yang diselenggarakan Oktober 2022 lalu. Setelah sekian lama tidak punya waktu, dan uang tentunya, untuk hadir dan ikut membeli buku di sana, akhirnya kesempatan itu datang dan memberikan memori yang tak terlupakan. 

Patjar merah-lah yang menguatkan hati saya untuk terus membaca, menulis, dan menghidupi rasa "haus" yang terus ada ketika berbicara tentang buku. Salah satu yang paling membekas, adalah sesi menulis puisi bersama Theoresia Rumthe. Bagaimana idola saya yang hadir di depan mata saya ini mampu membius dengan cara-cara teatrikal namun berangkat dari hal-hal yang dapat menyentuh sisi personal sedemikian dalam. 

Rumthe hadir mengisi relung hati saya yang paling gelap, membuka memori tentang keluarga, kesedihan, dan rasa ingin menyerah yang dulu, dan mungkin kini, masih kerap saya rasakan. Betapa mengagumkan mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah puisi. Berima, pelan, tetapi peka, hingga membuat siapapun yang hadir dalam sesi ini merasa didengarkan. 

Ia menceritakan masa kecilnya lewat pasir, batu, dan ciki. Bertanya kepada seluruh peserta, "Kapan terakhir kali kamu merasakan kesenangan membuka plastik ciki?" atau "Batu dan kerikil merekam berbagai peristiwa, tuliskan dan tuangkan apa yang pertama kali ingin kamu ucapkan pada batu." Ah, kalau bisa, saya ingin sekali kembali pada sesi tersebut. Meski tidak secara langsung, tetapi saya justru merasa seperti sedang menjalani terapi psikologis, terapi yang mendinginkan kepala saya, sejenak melepas diri dari rutinitas. 

Theoresia Rumthe dalam sesi puisi, dokumentasi pribadi
Theoresia Rumthe dalam sesi puisi, dokumentasi pribadi

Dari patjar merah pula saya berhasil mengajak seorang teman yang dulu hanya menggeluti dunia desain dan ilustrasi, menjadi gemar pula membaca buku, meski prosesnya mungkin tidak sebentar. Saya merasa telah berhasil menularkan apa yang selama ini hanya menjadi dunia saya, pada orang yang benar-benar baru menapakkan kaki pada buku. Bahwa kita tak akan pernah bisa lepas dari teks, itulah yang ingin saya tularkan, karena apapun produk karyanya, pasti berangkat dari teks. Lukisan hebat harus mampu menceritakan apa yang ada di pikiran pelukis, dan meski tidak semua pelukis akan menerjemahkan maksudnya, setidaknya dalam pameran-pameran penjelasan tersebut akan dituliskan lewat teks.

Tulisan ini benar-benar murni saya tulis dengan sukarela, tanpa bermaksud mempromosikan patjar merah kepada siapa pun teman-teman yang membaca. Namun, saya sangat ingin berterima kasih pada sosok Windy Ariestanty, yang menginisiasi festival literasi kecil ini, dan sampai sekarang konsisten berkeliling untuk menghadirkan buku pada teman-teman yang cinta literasi.

Kerennya, patjar merah pun hadir tidak terbatas pada buku. Ia terus berupaya untuk relevan dengan menghadirkan pula musisi, penulis-penulis kekinian, pegiat media sosial, influencer, pembuat karya audio visual, dan masih banyak lagi. Jadi meskipun tema utamanya adalah buku, tetapi buku tidak hadir secara eksklusif. Buku ditemani dengan medium-medium lain yang menguatkannya untuk jadi tetap relevan, menepis segala data dan penghakiman dari dunia yang terlanjur menasbihkan Indonesia sebagai negara yang tidak literat, negara yang tidak mencintai buku.

Buku-buku yang hidup dalam Perpustakaan Independen

Tak hanya patjar merah, ruang-ruang komunal yang merawat kecintaan pada buku terus hidup dalam perpustakaan independen, yang menyediakan buku-buku klasik, atau zine, dan konsisten mengadakan kumpul-kumpul buku yang mengajak buku agar tidak menjadi kaku. Buku seperti dihadirkan di meja makan sebagai menu utama yang lezat, setelah sebelumnya dihidangkan makanan pembuka, juga penutup yang menjadikannya semakin lengkap.

Saya akan menyebut dua ruang baca yang pernah saya datangi, dan memberikan memori cukup membekas tentang buku. Pertama, Kineruku di Bandung, dan C20 di Surabaya.

Saya akan menceritakan tentang Kineruku terlebih dahulu. Sebuah ruang baca yang sejuk dan terpencil di Hergamanah, yang selalu menguarkan rasa rindu saya akan Bandung, saksi hidup dunia perkuliahan yang akhirnya menyeret saya lebih dalam lagi pada buku, puisi, musik, film, dan hal-hal menyenangkan yang timbul dan memberi kekuatan pada saya untuk tetap konsisten bekerja di bidang-bidang ini.

Sejauh yang saya tahu, di tahun 2009 band Efek Rumah Kaca pernah tampil nge-gig di Kineruku membawakan lagu Balerina. Cek saja di Youtube, masih ada. Kineruku memang meminjamkan dan menjual buku, tapi tidak berhenti di situ saja. Ia juga menjual kaset piringan hitam, punya ruang sendiri dimana kita bisa melihat-lihat souvenir antik, dan oh, betapa kopinya juga enak. 

Maka saya tidak setuju jika toko buku harus berdiri secara eksklusif untuk menjual buku, karena memang mungkin inilah cara mereka untuk tetap bertahan. 

Di Kineruku, saya membaca trilogi Ronggeng Dukuh Paruk dengan tenang, perlahan, dan selesai. Sampai saat ini, tokoh Srintil dan Rasus selalu saya nobatkan sebagai dua tokoh favorit saya dari penulis Ahmad Tohari. Betapa dia bisa menulis dengan begitu runut, berdasarkan pengalaman sejarah tetapi juga penuh dengan nasihat-nasihat khas masyarakat desa yang bijaksana. 

Di Kineruku juga, saya pertama kali mengenal puisi-puisi yang ditulis Gratiagusti Chananya Rompas. "Kota ini Kembang Api" bisa menggambarkan Jakarta yang riuh dengan gaya khas Anya Rompas sendiri. Januari 2023 lalu, saya berkesempatan mengunjungi kembali Kineruku, dan salah satu buku yang saya ambil dari rak adalah karya Anya Rompas, judulnya Familiar Messes. Ada satu paragraf yang cukup menggelitik hati saya, kurang lebih seperti ini:

The poets read their poems, two each, and were applauded. Some of these poets were to fail and fade into a no-man's-land of Soho public houses in a few years' time, and become the familiar messes of literary life. Some, with many talents, faltered, in time, from lack of stamina, gave up and took a job in advertising or publishing, detesting literary people above all. Other succeeded and became paradoxes, they did not always continue to write poetry, or even, poetery exclusively.

Saya termasuk yang kedua, menyerah dan bekerja "serabutan" di berbagai bidang asal masih punya kesinambungan dengan dunia tulisan, menjadi "berantakan" dan tidak bisa sepenuhnya hidup dari puisi. They did not always continue to write poetry, katanya, karena memang mustahil hidup di Indonesia hanya dengan menulis puisi saja. Saya tidak akan bisa makan.

Yang ingin saya katakan adalah, Kineruku punya koleksi-koleksi spesial yang mungkin tidak dijual di ruang-ruang mainstream, bahkan memberikan kenangan tersendiri dari buku-buku yang dipinjam oleh para pelanggannya. Seperti yang ada juga pada buku Anya Rompas, dimana salah satu peminjam buku familiar messes menyampaikan kerinduannya pada bau rokok seseorang, seperti dalam foto ini:l

dari buku
dari buku "Familiar Messes" karya Gratiagusti Chananya Rompas

Berlanjut ke C20 di jantung kota Surabaya, yang baru saya tahu sejak ikut tur bersama patjar merah. Saya secara khusus tidak mengambil buku lalu menghabiskan waktu untuk membaca di sana, tetapi saya ingat ada gemerincing suara lonceng kecil di atas, di ruang coworking space-nya, yang bisa disewa selama 12 jam hanya dengan Rp 35.000. Saya lupa persisnya biaya itu untuk berapa jam, tetapi seingat saya 12 jam.

Ketika saya mengunggah foto C20 di Instagram, banyak yang mengingat memori tentang mengerjakan skripsi. Ternyata, C20 punya peran cukup penting dalam meluluskan mahasiswa-mahasiswi di Surabaya, dan jadi saksi bisu mereka yang harus revisi berkali-kali lalu cukup terpontang-panting melawan dosen pembimbing.

Menu favorit saya, es bunga telang yang dicampur lemon.

C20 pun aktif mengadakan acara-acara yang melibatkan komunitas. Sejauh pengamatan saya melalui media sosial mereka, acara yang paling banyak menarik minat orang untuk datang adalah pasar sehat. C20 memang membawa konsep ramah lingkungan, tatakan untuk minumannya pun dari disket yang sudah tidak terpakai, dan tentunya tidak ada sedotan, dan mereka pun tak menyediakan tissue. Namun percayalah, tempat ini tetap nyaman untuk yang mau duduk berjam-jam. Suaka di tengah panas dan riuhnya Surabaya.

Saya cukup malas untuk mencari koleksi foto saat di C20, jadi mungkin bisa kunjungi saja di profil Instagram saya, @lintangbudiyanti, untuk melihat juga cerita serta pengalaman saya saat di C20.

Harapan pada komunitas-komunitas kecil untuk memeluk para penulis dan pembaca

Sejak 2014, saya sudah aktif ikut komunitas malam puisi di Bandung. Dari situ, saya paham permasalahan mengapa kota asal saya, Mojokerto, tidak punya ruang gerak literasi yang luas, pertama karena kurangnya komunitas, dan kedua karena komunitas yang ada sudah terlalu eksklusif untuk dimasuki oleh pembaca-pembaca baru.

Di tahun 2022, setelah dihubungi oleh seorang kawan, kami akhirnya berhasil membuat klub baca kecil-kecilan, namanya, Mendadak Klub Buku, dengan kegiatan-kegiatan yang tentunya juga diadakan secara mendadak. 

Namun, dari situ saya sadar, ternyata banyak yang punya hobi sama, membaca, tetapi mereka jarang merasa memiliki ruang yang sama, entah hanya untuk sekedar membaca bareng atau menuangkan apa yang ada di benak mereka setelah membaca buku.

Komunitas kecil ini terinspirasi dari Silent Book Club, yang pertama kali muncul di luar negeri, dan sudah diterapkan di Indonesia sejak lama, dengan seorang inisiator bernama Hestia Istiviani, yang membentuk komunitas bernama bacabareng.sbc. 

Dari sini saya sadar, bahwa untuk membesarkan pengaruh literasi itu tidak perlu dengan hal yang muluk-muluk, cukup dengan membuat gerakan kecil yang membuat orang merasa ikut ambil bagian, atau setidaknya menjadi bagian dari sesuatu yang kecil. Setiap orang tentu akan senang jika kegemarannya disirami, dan dihidupi.

Kemarin, saya juga menyimak diskusi yang diadakan oleh Perpusnas dengan Maman Suherman sebagai pembahasnya. Beliau bilang, "Negara belum hadir untuk buku dan perpustakaan," dan entah mengapa saya sedikit percaya dengan pernyataan tersebut.

Negara memang tidak bisa hadir sepenuhnya untuk menghidupkan kecintaan pada buku. Namun, perasaan optimistis itu akan tetap ada pada ruang-ruang komunal yang selama ini sudah tercipta, bergerak secara independen, dan menghasilkan hal-hal yang meski tidak cukup besar dan riuh, tetapi cukup mampu menepis anggapan bahwa Negara kita tidak melek literasi.

Ada Ubud Writers and Readers Festival, begitu pula Makassar dengan penulis puisi seperti Aan Mansyur dan Faisal Oddang yang terus menghidupinya dengan festival-festival tiap tahun yang terus ada. Kedua event tingkat dunia ini saya yakin awalnya juga datang dari inisiasi di ruang-ruang komunal, yang tercipta dari diskusi-diskusi panjang yang terus ada dan menjadi pemantik bagi para penulis dan pembaca untuk ikut berkontribusi menjaga, melestarikan, dan merawat kecintaan pada buku.

Indonesia tidak kekurangan pembaca, tidak pula rendah kualitas literasinya. Jadi mari,sama-sama menepis anggapan tersebut karena ruang-ruang komunal ini akan selalu hadir dan tidak berhenti memeluk para penulis dan pembaca dengan erat. Kita boleh pesimistis dan menganggap bahwa negara atau pemerintah belum hadir sepenuhnya, tetapi mari meletakkan kepercayaan yang saya yakin tidak akan sia-sia pada ruang-ruang komunal yang mencintai buku ini.

Mereka yang akan terus menyalurkan pelita tersebut, menjaga nyalanya agar tidak mati, dan pelan-pelan meniup harapan pada literasi di Indonesia - yang tidak hanya berdiri sebagai ruang baca dan menyampaikan teori, tetapi membuat gerakan, menyentuh ruang-ruang personal, ruang-ruang yang hadir menyelamatkan, dan akan terus membawa perubahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun