Mohon tunggu...
Lintang Prameswari
Lintang Prameswari Mohon Tunggu... Jurnalis - Content Writer

Bukan penulis, hanya menulis.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

A Grief's Bacon: Bagaimana COVID-19 "Mengubah" Pandangan Kita tentang Pola Makan

12 Mei 2022   21:51 Diperbarui: 12 Mei 2022   21:55 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah tulisan di Platform Medium. Setelah merasakan betapa sakitnya kehilangan seorang keluarga yang meninggal akibat COVID-19, judul itu nampak sangat relatable, "At Grief's Table", yang ditulis oleh seseorang bernama Amanda Lahr. Dalam tulisan tersebut, Amanda menyebutkan satu frasa dalam Bahasa Jerman, yakni "Kummerspeck", yang kemudian dalam Bahasa Inggris diterjemahkan sebagai, "A Grief's Bacon", yakni suatu keadaan kelebihan berat badan yang diakibatkan oleh pola makan berlebihan, setelah mengalami kesedihan yang panjang, seperti kematian seseorang yang dicintai, breakup, atau ketika menghadapi keadaan sulit berkepanjangan seperti pandemi COVID-19 yang saat ini tengah kita alami.

Konsep "Kummerspeck" cukup sederhana: makanan dapat memberi rasa nyaman. Makanan berlemak, yang dalam hal ini diumpamakan sebagai bacon, atau dalam Bahasa Indonesia adalah daging babi berlemak, terbukti punya pengaruh yang kuat terhadap otak.  Sebuah riset di tahun 2011, yang dipublikasikan di Journal of Clinical Investigation mengungkapkan, mengonsumsi makanan dengan lemak jenuh dapat membantu melawan emosi-emosi negatif. Riset tersebut membuktikan, hormon yang berada di perut kita dapat "berkomunkasi" dengan otak, dan akhirnya mempengaruhi kondisi mental kita. Di tahun 2017, "Kummerspeck" mulai digaungkan dan masyarakat Jerman mulai menormalisasi tradisi ini.

COVID-19 telah menguras seluruh tenaga dan kesehatan mental kita. Virus kecil ini telah banyak membawa perubahan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari cara kita berkomunikasi, hingga cara kita makan. 

Ya, makan, sebuah kegiatan dasar yang harus dilakukan oleh seluruh makhluk hidup untuk bertahan hidup. Frasa A Grief's Bacon, secara tiba-tiba memberi sebuah perspektif baru bagi saya tentang masa depan, bahwa ternyata, hal sesederhana makan, dapat memberi dampak yang luar biasa di masa depan.

Kita rupanya telah terbiasa untuk menghibur diri dengan makan, utamanya di saat-saat paling menyedihkan di hidup kita. Bahkan, dalam tradisi Islam, ketika seorang anggota keluarga meninggal, ada tradisi tiga, tujuh, empat puluh, seratus, satu tahun, hingga seribu hari. Hari-hari penting di mana keluarga inti harus memikirkan makanan atau sajian apa yang harus disuguhkan kepada para tamu yang datang ke rumah untuk mengumandangkan tahlil, atau istilah umumnya, pengajian.

Di tengah pandemi yang juga memaksa kita untuk diam di rumah, bekerja, belajar, dan memusatkan seluruh kegiatan di rumah, makanan menjadi salah satu hal yang paling krusial untuk diperhatikan.

Pola makan kita cenderung menjadi lebih buruk daripada sebelum pandemi. Dengan akses layanan pesan antar melalui aplikasi ride hailing yang semakin mudah, cepat, dan menawarkan banyak diskon, masyarakat lebih memilih untuk memesan makanan cepat saji yang praktis, dan tentu saja enak karena punya kandungan pengawet yang kuat.

Tanpa disadari, di tengah pandemi ini, kita sama-sama tengah menjalankan Kummerspeck, sebab kematian sudah terlalu banyak kita dengar, dan pertanyaan-pertanyaan tentang kapan pandemi ini akan berakhir membuat pikiran kita semakin berantakan.

Sebuah laporan dari EAT, Yayasan nirlaba global yang dibentuk oleh Yayasan Stordalen, Stockholm Resilience Centre, dan Wellcome Trust yang dibentuk untuk mengkatalisasi transformasi sistem pangan, menjabarkan sejumlah data-data pola makan sebagian besar masyarakat dunia yang terbukti cukup buruk.

Nyatanya, kegemaran kita untuk mengonsumsi makanan-makanan cepat saji, atau kebiasaan untuk tidak menghabiskan makanan, akan memberikan dampak yang sangat buruk di masa depan. Melalui campaign tentang pola makan yang sehat, EAT berupaya untuk secara substansial mengurangi kehilangan pangan di sisi produksi dan limbah pangan di sisi konsumsi, untuk menjaga agar sistem pangan global tetap berada dalam safe operating space.

Seperti pernyataan-pernyataan yang telah diberikan oleh para ilmuwan, di masa depan nanti, permasalahan besar kita bukanlah perang nuklir, melainkan perang melawan penyakit, kesenjangan sosial, kemiskinan, dan kelaparan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun