Mohon tunggu...
Lintang Prameswari
Lintang Prameswari Mohon Tunggu... Jurnalis - Content Writer

Bukan penulis, hanya menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tsunami, Sebuah Catatan tentang Menangisi Kebodohan

24 Desember 2018   15:28 Diperbarui: 24 Desember 2018   15:46 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: klinikdesain.com

Headline berita hari ini:

Update korban bencana Tsunami di Selat Sunda: 229 orang. Laporan-laporan bersusulan setiap jam, jumlah korban pun bertambah. Puluhan hilang, ratusan terluka, dan sekali lagi, ribuan nyawa ditelan ombak dalam hitungan detik yang tak diperkirakan sebelumnya. Diunggah oleh beberapa portal berita nasional, diulas di berbagai linimasa, diperdebatkan di segala platform media sosial, diperbincangkan pada diskusi-diskusi di televisi, dan menjadi perbincangan duka lara yang kembali membumbung di langit Indonesia. Tanjung Lesung murung, Lampung pun berkabung. Asap tinggi berkejaran di langit Gunung Krakatau, meluapkan abu tebal diiringi semburat magma dari dalam perut bumi yang sedang ingin memuntahkan elegi.

Tahun ini, adalah tahun yang berat. Tahun dimana loncatan prestasi anak bangsa dalam perhelatan Asian Games dirayakan dengan sebuah kontradiksi: di wilayah timur Indonesia, tepatnya Sumbawa, Lombok dan sekitarnya sedang diguncang oleh gempa bumi yang bertubi-tubi. 

Gempa susulan pun datang ratusan kali. Beberapa warga trauma untuk kembali pulang sebelum keadaan pulih dan benar-benar dinyatakan aman. Miris. Saat kita tengah beramai-ramai merayakan kejayaan Indonesia setelah beberapa tahun terakhir tak pernah sampai pada angka lima besar di perhelatan Asian Games, ada relawan-relawan yang sedang berjuang untuk mendapat pasokan makanan. 

Beruntunglah Indonesia punya pemain-pemain hebat yang dengan ikhlas dan legowo menyumbangkan hasil perolehan rupiah yang besar jumlahnya untuk memenuhi kebutuhan saudara se-tanah airnya. Joshua, alias Jojo, atlet muda pujaan hati bangsa, setelah lelah berjuang mati-matian mempertaruhkan nama Indonesia, masih memiliki kebesaran hati untuk itu.

Bumi tak berhenti bergejolak setelah kejadian tersebut. Pertengahan Oktober 2018, Media kembali mengabarkan gejolak gempa bumi yang disusul oleh tsunami di Palu, Donggala dan sekitarnya. Lebih dari 2000 korban meninggal dunia akibat bencana tersebut. Tenaga medis dan bantuan terus dialirkan, kotak sumbangan disebar ke seluruh penjuru negeri, bantuan melalui portal kepedulian sosial di linimasa kembali digalakkan untuk membantu korban yang selamat. Rasanya, trauma di Lombok belum juga selesai, namun kemudian pemerintah dan seluruh jajaran negarawan harus kembali menguatkan hati di Palu dan meyakinkan bahwa pembangunan akan segera dilakukan.

Bencana yang terjadi setelah itu masih saja terus berlanjut, maskapai penerbangan Lion Air kehilangan kontak saat berada di udara, dan kembali membawa kabar duka. Seluruh penumpang dan awak pesawat meninggal di Tanjung Karawang, Jawa Barat. JT 610 baru saja lepas landas selama 13 menit. 13 menit saja untuk menjemput duka. Mereka baru saja akan bekerja kembali, di antaranya, ada punggawa-punggawa kementerian keuangan di bawah kepemimpinan Ibu Sri Mulyani. Ya, mereka baru saja akan melanjutkan tanggung jawabnya, memenuhi kewajiban sebagai abdi negara.

Kejadian pada Sabtu lalu, 22 Desember 2018 pada pukul 21.30, seakan merangkum bencana yang terjadi sepanjang 2018. Kali ini, punggawa-punggawa dari Perusahaan Listrik Negara yang menjadi korban. Seharusnya, mereka tengah merasakan kebahagiaan di akhir pekan yang panjang menuju libur natal ini. Seharusnya pula, bagi kerabat kita yang menganut kristiani, bisa berkumpul bersama keluarga untuk merayakan hari Natal yang suci.

Bersamaan dengan meletusnya Anak Krakatau ini pula, tanggul di Jember ikut jebol. Beberapa rumah terendam banjir bandang. Akses terputus. Di Surabaya, jalanan yang ambles akibat pembangunan basement sebuah Rumah Sakit belum juga selesai dibenahi. Bu Risma, sang walikota yang hebat itu, seakan tak peduli sakit yang sedang dialami, terus memantau proses pembangunan jalan yang menjadi penghubung denyut perekonomian kota besar tersebut.

Bagi saya, menulis tentang bencana bukanlah hal yang mudah, apalagi dengan kehadiran gadget serba cepat yang ketika membukanya, update tentang korban terus saja disampaikan via media sosial Line Today, dan menjadi penghias pagi saat Google Assistant ikut memperbarui berita hari ini. Apalagi, ketika membuka twitter dan Instagram. 

Duo media sosial yang wajib saya buka setiap pagi. Saya kira, hal-hal yang terjadi di kedua linimasa tersebut akan ramai dengan ucapan dukacita, belasungkawa, dan sinergi antar pengguna untuk menggalakkan bantuan. Tetapi nyatanya, yang terjadi di beberapa tautan adalah debat-debat yang berisi kekosongan. 

Di akun twitter @infobmkg, pengguna aktif atau yang selama ini lebih kita kenal dengan istilah netizen, beramai-ramai memberondong akun tersebut karena telah salah mengabarkan prediksi. Sebelum tsunami terjadi, BMKG memang sempat merilis pemberitahuan via twitter bahwa yang terjadi di Anyer dan sekitarnya bukanlah tsunami, melainkan fenomena bulan purnama yang menyebabkan air laut pasang tinggi. 

Beberapa orang, bahkan portal media nasional yang sempat menyimpan tingkapan layar dari hasil release berita tersebut menggunakan bukti tersebut untuk menjawab tweet terbaru mengenai penyebab tsunami yang tidak dipicu oleh gempa dalam pinned tweet yang ditautkan oleh @infobmkg. 

Ramai-ramai menuduh bahwa informasi salah yang disampaikan tersebut menjadi penyebab utama banyaknya korban yang berjatuhan akibat peringatan yang disalahgunakan. Disinilah kemudian ungkapan "netizen maha benar" itu nyata adanya. Alih-alih mengirimkan bantuan, atau setidaknya berdoa sejenak untuk korban yang berada disana, masyarakat kita lebih menggemari perdebatan dan sibuk menyalahkan orang lain. Membuat saya praktis berasumsi bahwa literasi media masih sangat rendah di kalangan kita.

Seakan tak mau berhenti meramaikan, di bagian media sosial yang lain, Whatsapp dan Facebook misalnya, malah saling mengaitkan bencana yang terjadi dengan guncangan politik bangsa ini, berusaha keras menghubungkannya dengan ultimatum mengganti presiden di pemilihan 2019 yang akan datang. Atau, ada pula yang menyalahkan masyarakat di Pandeglang dan sekitarnya dan mengaitkannya dengan adzab dari Tuhan atas perilaku yang melenceng dari aturan agama. Lantas bolehkah saya menambahkan asumsi bahwa literasi media yang rendah tersebut mendukung masyarakat kita untuk terus saja bersikap bodoh? Teknologi dalam genggaman tangan yang dapat langsung digunakan dengan sekali klik, tidak cukup memotivasi sebagian dari kita untuk mencari, menggali, memilih dan membaca dengan teliti setiap informasi yang diterima. 

Nyatanya berkomentar, berdebat dan menghujat masih menjadi aktivitas utama yang paling digemari oleh anak-anak kampung sini. Mirisnya, ketika kinerja pemerintah menurun sedikit saja, kita jadi yang paling vokal berteriak tentang keadilan. Seakan kita ini adalah makhluk terpandai yang pernah diciptakan oleh Tuhan. Masa bodohlah, Tuhan mungkin sedang menyesali pernah menciptakan kita yang digoda setan sedikit saja, sudah lupa daratan dan merasa menang diatas awan.

Saya kira, cukup dengan bencana kita bisa menyudahi pertengkaran yang mengatasnamakan sebuah golongan. Saya kira, bencana sudah cukup menjadi pengingat bahwa kita seharusnya saling bahu-membahu memperbaiki negeri. Ternyata memang itu semua hanya berada pada batas ambang perkiraan saya saja. Sayang sekali, kali ini saya sedang kurang beruntung.

Maka dari itu, setelah lama mempersiapkan tulisan macam apa yang akan saya unggah kembali setelah sekian lama meninggalkan blog ini, saya memutuskan untuk memilih ini. Menyampaikan sebuah kesimpulan bahwa kita tengah menutup 2018 dengan angan-angan yang kembali menggantung. Meneriakkan perubahan yang tidak diiringi dengan sikap yang nyatanya masih begitu-begitu saja. Bencana alam yang selalu bergesekan dengan bencana yang mengatasnamakan kemanusiaan.

Dengan tulisan ini saya ingin sedikit berdonasi mengirimkan doa-doa yang mengalir diterbangkan angin menuju Tanjung Lesung, Anyer, Pandeglang hingga Lampung. Semoga letusan Anak Krakatau tidak menimbulkan kerusakan yang signifikan, dan semoga saudara-saudara sekalian yang berada disana, selalu dilindungi oleh Tuhan. 

Semoga kawan-kawan yang besok merayakan hari spesial masih sempat pergi ke Gereja dan berdoa. Semoga keluarga yang belum bertemu, segera dipertemukan dengan keadaan yang tak kurang suatu apapun, selamat dan kita bisa bersama-sama menyambut tahun yang baru, tahun dimana perubahaan tak hanya menjadi sekedar wacana, agar kita bisa menjadi lebih bijaksana.

Amin.

#prayforBanten

#prayforLampung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun