Begini. Jika boleh jujur, saya lebih senang berdiskusi dengan teman-teman lelaki saya, baik itu tentang olahraga, politik, sastra, ekonomi, atau bahkan hal-hal receh semacam curahan hati atau sekedar meminta saran untuk memotivasi diri saat terpuruk. Saat saya bercerita dengan mereka, saya merasa bahwa masukan-masukan yang diberikan terdengar lebih masuk akal. Ketimbang berdiskusi bersama teman perempuan yang lebih mengutamakan dari hati ke hati, berbincang dengan kaum lelaki memberi keleluasaan pada saya untuk bertukar pikiran, dari kepala ke kepala, yang kemudian menghasilkan sebuah kesimpulan yang rasional.
Lelaki dekat sekali dengan hobi. Setiap berdiskusi, saya selalu meluangkan waktu untuk bertanya apa kesibukan mereka selain nongkrong bersama saya. Dan sebagian besar jawaban yang saya dapatkan selalu melebihi ekspektasi saya. Ada yang tampilannya kinyis-kinyis, klimis, dan sangat rapi, tapi ternyata pekerjaannya berhubungan dengan pekerjaan lapangan, menjadi apa ya istilahnya? Entahlah, yang jelas dia berhubungan erat dengan kapal, serta usaha ekspor-impor. Dan konon katanya, dia hampir tidak pernah masuk ke kantor dan diam di ruangannya yang ber-AC.
Di sisi lain, ada pula teman saya yang menjadi seorang public speaker, sering diundang untuk mengisi acara, menjadi narasumber atau memandu acara (istilahnya nge-MC). Terlepas dari stigma seorang MC laki-laki maskulin dan biasanya bisa dibilang metroseks, teman saya ini jauh sekali dari penampilan macam begitu. Rambutnya lurus agak gondrong, biasa di-poni ke kiri, dan di Instagram-nya, dia lebih sering terlihat jalan-jalan ke pulau-pulau tak terjamah. Kalau ketemu dia pertama kali, mungkin persepsi kalian sama sepertiku, seorang anak nyastra yang kerjaannya jalan-jalan sambil jadi travel blogger.
Kemudian, ada juga teman saya yang senang sekali menggeluti dunia otomotif, berbisnis segala tetek-bengek per-motoran dan per-mobilan, dan sukses menggunakan hasil usaha tersebut untuk jalan-jalan. Ketika ngobrol bersama mereka, saya suka cara mereka menceritakan setiap detail kegiatan yang sedang mereka lakoni.
Atau tak usah jauh-jauh ngomongin soal teman saya, saat berbicara dengan bapak, yang memang kebanyakan lebih sering diam pun, saya tau beliau ini semangat sekali kalau cerita soal hobinya: dunia perburungan dan olahraga voli. Di rumah ada berbagai macam jenis burung yang kalau dijual harganya mulai 100 ribu rupiah hingga lima juta, jenis lovebird yang sangat umum sampai Murai Batu yang paling beliau sayang. Apalagi kalau di tv lagi ada liga voli, dia bisa teriak-teriak sendiri sambil mendukung tim kesayangannya, samator.
Piala Dunia, Laki-laki, dan hobinya jadi saling berkaitan ketika kita berbicara soal persatuan. Jika bersama gerombolan ibu-ibu yang nantinya mungkin saya bisa jadi akan menjadi seperti itu dan ikut meng-ghibah, kita bisa jadi terpecah belah.
Semoga dengan adanya event-event yang mendorong kaum lelaki untuk terus menjalankan hobinya ini bisa menjadi salah satu alternatif agar pertengkaran rumah tangga kita tak melulu soal harta dan orang ketiga (hehe). Dan semoga gairah piala dunia yang melekat dalam diri kaum adam ini bisa menjadi contoh jika suatu saat mak-mak cerdas nan futuristik juga akan mengadakan lomba masak tingkat internasional, yang bisa dilabeli sebagai "Piala Daster" atau apapun itu sebutannya.
Terlepas dari gender, kita semua pasti punya hobi dan passion masing-masing jika memang ingin konsisten dan menjadikannya sebagai sebuah cara untuk maju menghadapi dunia persilatan yang semakin menuntut kita untuk terus bersaing. Mungkin dengan hobi, kita bisa tanamkan arti persatuan dengan saling berkolaborasi, tidak sibuk berkompetisi.
Selamat menyaksikan laga final Prancis vs Kroasia! Mungkin ini bisa jadi bahan pemanasan sambil ngopi cantik agar nanti bisa begadang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H