Gandhi adalah sosok pemimpin India yang dikenal karena pendekatan damainya dalam memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan Inggris. Sebagai penganut agama Hindu, ia menginspirasi dunia untuk meninggalkan kekerasan, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan memperjuangkan kebebasan. Pengalamannya selama 21 tahun tinggal di Afrika Selatan menjadi titik awal yang membentuk pandangannya. Di sana, Gandhi menghadapi diskriminasi rasial dan belajar tentang toleransi, bahkan ketika hak-hak kaum Hindu tidak setara. Pengalaman ini memperkuat tekadnya untuk menjadi jembatan penghubung bagi masyarakat dari latar belakang yang berbeda, sebuah prinsip yang terus ia bawa hingga kembali ke India. Gandhi dikenang sebagai pemimpin besar yang memperjuangkan kemerdekaan India dari kolonialisme Inggris dengan prinsip tanpa kekerasan. Pendekatan perjuangannya yang unik telah menginspirasi dunia untuk menghadapi ketidakadilan dengan keberanian moral. Gandhi adalah contoh pemimpin transformasional, yang memberdayakan individu untuk mencapai potensi mereka sekaligus mendorong perubahan besar dalam masyarakat. Dengan hidup sederhana dan berpegang pada nilai-nilai keadilan, ia memotivasi jutaan orang untuk ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan. Kepemimpinannya berlandaskan pada prinsip-prinsip moral seperti Ahimsa (tanpa kekerasan) dan Satyagraha (kekuatan dalam kebenaran), serta mendorong partisipasi luas dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk petani, buruh, dan kaum miskin.
Gandhi menjalankan kepemimpinannya melalui beberapa prinsip utama, yaitu Ahimsa, yang menolak segala bentuk kekerasan sebagai respons terhadap ketidakadilan. Dalam perjuangannya, baik di Afrika Selatan untuk melawan diskriminasi rasial maupun di India untuk melawan penjajahan, Gandhi selalu mengutamakan pendekatan damai. Satyagraha, sebagai inti strateginya, menekankan keberanian moral dalam menghadapi ketidakadilan, seperti yang terlihat dalam Salt March pada 1930, di mana ia memimpin perlawanan damai terhadap undang-undang kolonial. Swadeshi, yang mendorong penggunaan barang-barang lokal sebagai simbol kebebasan ekonomi dari ketergantungan terhadap produk impor Inggris. Gandhi juga menunjukkan konsistensi dan keteladanan dengan menjalani hidup sederhana dan mempraktikkan apa yang ia ajarkan.
Pada 1 Maret 1919 Gandhi mengeluarkan suatu manifesto yang isinya bahwa telah diputuskan untuk terus melakukan gerakan satyagraha sampai rencana undang-undang India, maka Gandhi menganjurkan untuk melakukan hartal yaitu suatu hari untuk berpuasa dan merenung. Menurut I Gede Suwantana (2007:17) mengatakan bahwa :
“Gandhi adalah seorang yogi yang terjun dalam politik. Sebenarnya politik Gandhi tak bisa dibedakan dari agamanya. Ia mengatakan bahwa rasa patriotismenya adalah mengabdi kepada agamanya. Dalam politik ia berpegangan pada pertimbangan moral dan sebagai Mahatma ia berpendapat bahwa tempatnya bukanlah di dalam gua atau kuil, melainkan ditengah tengah hiruk pikuk perjuangan rakyat untuk hak haknya dan demi kebenaran. Agama Gandhi membuat jadi politis dan politisnya beragama.”
Dengan adanya satyagraha dan swadesi yang dijalankan oleh Mahatma Gandhi beserta rakyat India, kolonialis Inggris lambat laun mengalami kemerosotan terutama di bidang ekonomi. Rakyat India tidak ada lagi yang bekerja dengan Inggris, tidak mau lagi menggunakan produk-produk luar negeri yang mengakibatkan kas negara mereka semakin lama semakin menurun dan akan berdampak kepada Inggri untuk segera meninggalkan negara India.
Mahatma Gandhi menghadapi berbagai hambatan dalam perjuangannya untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dengan prinsip Satyagraha. Salah satu tantangan utamanya adalah keluar masuk penjara, yang ia dianggap bukan sebagai penderitaan, melainkan simbol keberanian dan pengorbanan demi cita-cita kebebasan bangsa. Gandhi menyikapi hukuman penjara dengan penuh ketenangan, bahkan dengan semangat suka cita, sehingga menginspirasi orang-orang di seluruh India untuk menghadapi ketakutan mereka terhadap penindasan. Di balik dinding penjara, Gandhi terus bekerja dengan tekad, memanfaatkan waktu untuk menulis, bermeditasi, dan memperkuat hubungan dengan sesama tahanan, termasuk para pemimpin politik yang turut dipenjara. Baginya, setiap tempat yang ia datangi, termasuk penjara Yeravda yang ia anggap seperti rumah, menjadi ruang sakral untuk mendalami spiritualitas dan menyebarkan semangat nirkekerasan kepada orang-orang di sekitarnya.
Setelah Inggris akhirnya memberikan kemerdekaan kepada India, tantangan baru muncul dengan terjadinya perpecahan antara India sebagai negara mayoritas Hindu dan Pakistan sebagai negara mayoritas Muslim. Gandhi, yang sepanjang hidupnya menentang diskriminasi berdasarkan agama, kasta, atau ras, sangat berharap dapat menyatukan masyarakat dalam damai dan persaudaraan. Sayangnya, pada 30 Januari 1948, ia dibunuh oleh seorang ekstremis bernama Nathuram Godse saat hendak beribadah. Kepergiannya meninggalkan jejak mendalam, tidak hanya bagi rakyat India tetapi juga dunia, sebagai seorang pemimpin yang mengutamakan kemanusiaan dan perdamaian universal. Gandhi dikremasi sesuai tradisi Hindu, dan abunya disebarkan di berbagai tempat penting sebagai penghormatan atas perjuangan dan dedikasinya yang luar biasa.
Warisan Gandhi melampaui kemerdekaan India. Ia membuktikan bahwa perubahan besar dapat dicapai tanpa kekerasan, menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh dunia seperti Martin Luther King Jr. dan Nelson Mandela. Gandhi mengajarkan bahwa kekuatan sejati terletak pada prinsip moral, bukan pada kekuatan fisik atau material. Meskipun ia wafat pada 30 Januari 1948 akibat dibunuh oleh seorang ekstremis, nilai-nilai yang ia perjuangkan tetap hidup dan relevan, menjadi pedoman bagi dunia untuk memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H