Mohon tunggu...
Lintang Kinasih
Lintang Kinasih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Today I'm still student

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja di Sana Kinara

10 Juli 2024   15:37 Diperbarui: 10 Juli 2024   15:54 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bapak kami pamit pulang ya pak," pukul setengah enam menyadarkan kami bahwa sudah saatnya kami kembali kerumah beristirahat,membersihkan diri, menganggap kembali seolah semua hal berhasil kami lalui,berpura-pura bahawa tidak apa tersisih,tidak apa semuanya telah terjadi. Tanganku senantiasa merangkul erat Ibu seolah tak ingin terjadi apa-apa terhadapnya sama seperti apa yang aku lakukan padanya pada saat keluar Kantor Pengadilan Negeri 5 tahun lalu. "Bapakmu orang baik ra,tanpa apa yang dilakukannya mungkin saya masih tertatih didepan mesin pembakaran,"kalimat Pak Ucup menguatkanku pada saat pemakaman Bapak ketika aku mengantarkannya sendirian ke liang lahat,Ibu sudah tidak sanggup membuka mata kalah pada keadaan yang terjadi dalam 24 jam ini. "Yang kuat ya anak baik,Saya akan menjadi saksi di akhirat bahwa Bapakmu tidak bersalah atas kasus ini," tutup pesannya seolah merasakan hancurnya hatiku kali ini genggaman pada bahuku dilakukannya setelah mengucapkan kalimat itu. Senja saat itu menjadi saksi bagaimana aku menyaksikan Bapak sudah terbujur tenang dibawah sana ditemani kegelapan,ditinggalkan satu demi satu pelayat yang beranjak pulang merasa bahwa semua rangkaian acara pemakaman telah selesai. Aku masih tetap termenung sendiri menatap nisan kayu berukir dihadapanku,air mata sudah mengering,lengket keringat disertai serpihan tanah merah masih menempel pada ujung gamis hitam yang aku kenakan,usiaku 15 kala itu sangat sulit memahami semua yang terjadi pada hari dimana tuhan meminta Bapak untuk pulang.

"Bapak Surya terbukti bersalah penyelewengan dana,hasutan pada karyawan,serta membangkang pada kontrak perusahaan sudah menjadi bukti yang konkret untuk memutuskan masalah ini," lusa setelah pemakaman Bapak,tuntutan kembali diajukan kali ini Bapak tertuduh bersalah atas apa yang Bapak perbuat semata untuk kesejahteraan karyawan bersama rekan kerja Bapak. "Tidak, tidak, suami saya tidak bersalah ,tidak, tolong,keputusan ini salah, tuduhan yang anda ajukan tidak benar,"berteriak Ibu dibuatnya setelah tuduhan yang sangat amat tidak benar dikemukakan pada sidang siang hari itu.Riuh mulai terdengar memenuhi suasana sidang rekan kerja Bapak mulai bereaksi tidak menerima pada gugatan jaksa perwakilan Perusahaan tempat Bapak bekerja. Ditengah ruangan itu ada aku menggenggam seonggok surat bukti dari pihak Bapak yang berhasil aku tulis dengan kedua tanganku dan voice recorder peminjaman Pak Ucup sebagai pendukung setiaku pada niat yang aku ungkapkan kepedanya malam saat pengajian kepergian Bapak.

"Saya ada bukti baru,entah bisa atau tidak untuk yang mulia ijinkan,tetapi saya memohon agar bukti yang saya bawa anda sertakan dalam sidang ini yang mulia,"lantang kuucap pada hakim ketua siang itu,kuingatkan sekali lagi usiaku 15 tahun entah darimana tekad ini berasal tetapi melihat bagaimana keadaan pemakaman Bapak membuatku tergerak."Baiklah,nak Kinara silahkan berdiri untuk disumpah menjadi saksi," aku berjalan dengan tenang mendekati bilik saksi berdiri diatasnya merasakan keadaan dikala semua pasang mata tertuju kearahku seolah aku adalah bintang malam ini, kondisi menjadi terkendali ketika aku mulai memaparkan satu demi satu coretan kecilku pada buku diary peninggalan Bapak sebagai kado ulang tahun ke 15 untukku. 

Selesai,selesai semua bait serta rekaman suara terputar,terucap seolah kunci jawaban dari berbagai persoalan yang terangkum dalam satu larik lembar terakhir buku."Tok,tok,tok,ya Terima Kasih atas pemaparannya silahkan duduk kembali,Kinara,"titah Hakim Ketua membuatku menghembuskan nafas berat sekali lagi aku merasakan atmosfer mencekam setelah apa yang aku sampaikan pada bilik saksi itu.

Tertunduk lesu membenamkan isi kepalaku berkeliaran membiarkan rangkaian acara Sidang saat itu berjalan kembali."Kinara,Bapak ingat waktu kamu menangis pertama kali hanya kata itu yang,Bapak pikirkan artinya sangat dalam sekali tepi,batas ya semacam itulah,Bapak berharap kelak suatu hari nanti kamu bisa menjadi batas antara hak dan bathil didalam hidupmu,Nak," Saat setelah kesaksianku ingatan bersama Bapak menelusup pertama kali kepadaku setelah sepeninggalnya,senja kembali menjadi saksi dialog kami berdua di tepi Pantai mungkin latar itu meneybabkan Bapak menyampaikan kalimat itu kepadaku.

Aku kembali kedalam bilik kamar setelah ziarah kubur bersama Ibu aku lakukan dan aku sudah memastikan bahwa Ibu sudah terlelap di dalam kamar.Kudekati laci meja usang dan kembali kubuka berkas pengadilan sisa perjuangan yang dulu sempat aku kejar bersama Ibu untuk penghapusan tuduhan atas nama Bapak. Tuhan teramat baik kepada kami saat itu,5 tahun yang lalu seminggu setelah serentetan kejadian dari penghilangan dengan sengaja nyawa Bapak dalam tragedi pengeroyokan,Keadilan yang Bapak kejar dengan rekan-rekan Bapak, dan fakta yang akhirnya terungkap bahwa pengeroyokan itu sengaja dilakukan kepada Bapak akibat perlawanan yang dilakukannya terhadap kontrak Perusahaan,bak malaikat seseorang pria paruh baya hadir dalam sidang memaparkan satu kalimat sederhana yang sengaja aku lupakan menghapuskan semua tuduhan terhadap Bapak kala itu. "Terima Kasih", aku melihat Ibu menunduk dalam serta menjabat erat tangan pria itu seolah berhutang budi kepada apa yang telah dilakukannya membekaskan Bapak dari berbagai tuduhan.

"Datanglah padaku jika kau butuh pertolongan,aku yakin kau anak baik,"ucapnya sembari mengusap kepalaku melenggang menjauhiku  pada saat itu meninggalkanku termenung mencerna semua yang terjadi. Hari ini pertanyaan menyelubungi hatiku kembali "Siapa sebenarnya pria itu?Apa hubungannya dengan Bapak?Mengapa Bapak mengenal pria itu?"pertanyaan itu bergejolak bersamaan dengan suara Ibu memecah kesunyian di ambang pintu kamarku berujar "Tidak usah kau cari,Bapak pasti sudah bahagia disana,Nak" Bagai panah pernyataan itu menyusup kedalam benakku,entah sadar atau tidak sadar tangan serta pikiranku berkata seolah menyudahi semua penulusuran singkat yang aku lakukan malam ini, sedikit demi sedikit berkas aku pungut pelan namun pasti semua seolah rapi kembali tersusun seperti sebelumnya.

https://bit.ly/KONGSIVolume1

Kompasiana
Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun