Mohon tunggu...
Lintang Fitria
Lintang Fitria Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

memiliki hobi podcasting dan mengarang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Bovine Ephimeral Fever atau Demam Tiga Hari pada Sapi dan Kerbau

10 Juni 2024   09:36 Diperbarui: 10 Juni 2024   10:05 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
manningrivertimes.com

Bovine Ephemeral Fever (BEF), juga dikenal sebagai "Three-day sickness" atau "Demam Tiga Hari," adalah penyakit viral padaa sapi dan kerbau. Penyakit BEF pertama kali ditemukan tahun 1867 pada sapi di Afrika Tengah, setelah itu ditemukan di Afrika, Asia, dan Australia. Laporan kejadian BEF di Indonesia, diduga pertama kali terjadi pada tahun 1920 di Sumatera dan pada tahun 1979 penyakit yang sama muncul Kembali pada sapi ongole di Tuban dan Lamongan, Jawa Timur. 

Kasus BEF banyak terjadi di daerah beriklim triopis, subtropic, dan panas di Afrika, Australia, Timur Tengah, dan Asia. Sampai saat ini diketahui hanya sapi dan kerbau yang dapat terinfeksi virus BEF. Virus BEF juga ditularkan oleh arthropoda meskipun vector yang terlibat tidak sepenuhnya jelas. 

Virus tersebut telah berhasil diisolasi dari berbagai generasi nyamuk dan dari sejumlah spesies culicoides. Bukti epidemiologi dan pemeriksaan laboratorium dari beberapa lokasi menunjukkan bahwa nyamuk adalah vector biologis primer. Transmisi penularan dari vector terinfeksi melalui angin diduga telah menjadi penyebab wabah di beberapa wilayah seperti Australia dan Jepang. 

Lebih lanjut menurut Mellor et al., (2000), kondisi lingkungan dan iklim di daerah setempat mempengaruhi habitat vector dan mempengaruhi penyebaran penyakit tersebut. Gejala klinis BEF kemumgkingan bervariasi pada setiap individu hewan, tetapi biasanya dimulai dengan demam bersifat biphasic dan puncak suhu tubuh biasanya terjadi 12 hingga 18 jam. 

Produksi susu sering turun secara drastic selama puncak demam pertama dan pada saat tersebut, gejala klinis lain mungkin tidak teramati, meskipun beberapa hewan mungkin mengalami depresi, kaku, atau malas untuk bergerak. Manakala banyak hewan terserang, yang disertai gejala klinis yang jelas dan pathognomonis, maka kuat dugaan diagnose ke arah penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF). 

Apabila hanya sedikit hewan yang terserang, karena sedikitnya vektor yang mengandung virus, biasanya diperlukan peneguhan dari laboratorium. Pemeriksaan haematologis, menunjukkan adanya Neutrofilia dan Limfopenia. Virus dapat diisolasi dari darah segar pada awal fase demam, dalam biakan sel ataupun pasasi berulang pada mencit yang menyusui (Astiti, 2010). Uji penularan penyakit dilakukan dengan inokulasi intravena, menggunakan darah yang tertular ke dalam tubuh sapi yang sehat. 

Diagnosa secara serologis, dilakukan pada 2 macam serum yang pengambilannya berselang 3 minggu. Uji yang dilakukan adalah dengan pengikatan komplemen atau sel yang dibiakkan dalam biakan sel (BHK 21 atau Vero Cell Line), dengan Uji Neutralisasi Virus (Lim, et al., 2007). 

Pemeriksaan dengan flouresen antibodi, hanya dilakukan pada leukosit yang diambil dalam fase viremia, yang disertai demam. Kejadian penyakit yang menyangkut satu atau beberapa penderita, mungkin dapat dikacaukan dengan Klamidiosis, Laminitis atau Parturient Paresis. Pada penyakit Parturient Paresis, dapat segera diatasikan dengan menyuntikan larutan Calsium dengan cara infuse secara intravenous (Sjafarjanto, 2010). 

Kasus BEF di Kabupaten Pring Sewu adalah laporan penyakit ISIKHNAS pada sapi atau kerbau dengan gejala klinis meliputi demam, diikuti satu atau gejala lain meliputi anoreksia, hipersalivasi, sempoyongan (inkoordinasi), nasal discharge, pincang, lemah, ambruk serta tremor dengan diagnose sementara Demam Tiga Hari atau Bovine Ephemeral Fever. 

Koleksi data tentang kejadian BEF di Provinsi Lampung secara umum dan Kabupaten Pring Sewu khususnya dilakukan dengan mengunduh laporan ISIKHNAS. Penelusuran kesesuaian data dilakukan dengan mengkonfirmasi ke dinas terkait. Tindak lanjut lapangan dengan melakukan investigasi lapangan, wawancara dengan dinas, petugas kesehatan hewan dan peternak, serta melakukan pengambilan sampel untuk peneguhan diagnose penyakit. Jenis sampel yang diambil meliputi serum dan swab hidung. Sampel tesebut diambil dari sapi yang mengalami gejala klinis BEF. 

Swab hidung diambil dengan swab steril dan dimasukkan ke viral transport media. Data yang didapatkan disajikan secara deskriptif menggambarkan prevalensi kasus, case fatality rate, gejala klinis, kurva epidemic kasus, serta distribusi kasus di masing masing kecamatan. Sampel swab hidung diambil untuk pengungujian Polymerase Chain Reaction untuk penyakit BEF dan sampel darah untuk penyakit Bovine Viral Diarrhea dan septicaemia epizootica. 

Laporan kasus diagnose sementara BEF yang diunduh dari Isikhnas dari Januari 2019 hingga Februari 2020 di kabupaten Pring Sewu sebanyak 471 kasus. Populasi sapi di kabupaten tersebut adalah 12000 ekor, sehingga prevalensi kasusnya sebesar 3,9%. Jumlah sapi yang mati karena dilakukan potong paksa sebanyak 2 ekor sehingga Case fatality rate 0.4%. 

Diagnose sementara BEF dalam laporan Isikhnas seluruhnya ditandai dengan gejala klinis demam diikuti gejala lainya anoreksia, hipersalivasi, sempoyongan (inkoordinasi), nasal discharge, pincang, lemah, ambruk serta tremor. Distribusi kasus BEF di Pring Sewu menyebar di 8 kecamatan. Kecamatan Pagelaran merupakan kecamatan tertinggi kasus BEF pada sapi potong. Kecamatan ini memiliki populasi sapi tertinggi di Pring Sewu. 

Bias data dimungkinkan terjadi di lapangan terutama keaktifan petugas melaporkan kasus di kecamatan masing masing ke Isikhnas. Prevalensi kasus BEF yang rendah bisa bermakna kasusnya sedikit (riil) dan kasus banyak tidak terlaporkan (bias). Distribusi kejadian BEF masing masing kecamatan di Pring Sewu. 

Kasus penyakit BEF di Kabupaten Pring Sewu dengan prevalensi 4.2%, Case fatality rate 0.4%, terdistribusi berbeda di masing masing kecamatan, dan merupakan penyakit murni BEF tanpa infeksi sekunder septicaemia epizootica atau bovine viral diarrhea. Pencegahan penyakit seharusnya dapat dilakukan sebelum kasus puncak melalui program surveilans seroprevalensi, kebijakan program vaksinasi, fogging, dan penanganan kasus 

Mulya Fitranda. AR 
Mulya Fitranda. AR 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun