Mohon tunggu...
Inovasi

Jurnalisme Online: Jurnalisme Kelas Dua?

14 April 2016   20:52 Diperbarui: 15 April 2016   12:23 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pikiran sederhananya seperti ini, masalah tersebut nampaknya akan membuat sebagian publik memilih untuk mempertahankan tradisi untuk membaca media konvensional. Publik akan lebih percaya dan terjamin karena media konvensional memiliki akurasi yang tidak main-main. Walaupun media konvensional tidak bisa lebih cepat dari media online. Namun tidak ada perbedaan yang begitu berarti pada dua jenis media ini. Mereka sama-sama memiliki ruang redaksi yang“menggodok” berita sebelum layak tayang. Jika media konvensional cenderung lebih akurat, hal itu dikarenakan media cetak tidak langsung naik cetak dan tersebar saat itu juga, saat sebuah peristiwa terjadi. Karena memiliki waktu yang cenderung panjang ketimbang media online, maka sah-sah saja jika media konvensional masih digemari.

Lain lagi masalah foto-foto yang tidak melalui proses sensor. Ketika anak dibawah umur menjadi korban pemerkosaan misalnya, dengan gamblang dan mudahnya media online menyajikan berita tersebut. Memang publik akan dibuat penasaran degan sensor yang dibuat, namun karena jurnalistik menuntut para pekerjanya memiliki hati nurani dan melindungi korban, seharusnya hal tersebut tidak dilakukan.

Belum selesai masalah foto. Terkadang foto-foto yang tampil dalam media online bukanlah foto yang sebenarnya menggambarkan peristiwa tersebut. Atau bisa juga foto tersebut menimbulkan propaganda dengan mengeditnya sedemikian rupa seolah-olah nampak terjadi suatu penindasan dan kekejian.

Cara yang dianggap tepat untuk dilakukan guna memastikan berita itu benar adanya ialah dengan mem-follow up berita  dengan mencatumkan hyperlink pada berita yang terkait. Sehingga dengan mudah publik dapat mengikiuti perkembangan dan perubahan yang terjadi atas sebuah peristiwa. Ini tentu merupakan bentuk ketaatan media online pada etika jurnalistik. Atau jika media melakukan kesalahan dalam menampilkan data, foto, dan hal-hal bombastis lain dengan mudah membuat surat permintaan maaf yang di publish pada media tersebut. Bukan hal yang salah memang. Alangkah baiknya hal tersebut kebiasaan media online yang demikian diteruskan. Karena besar kemungkinan, kesempatan untuk memajukan jurnalisme online di Indonesia menjadi semakin buruk karena menurunkan ini kepada generasi berikutnya. Pikiran baiknya ialah tetap berpikir bahwa generasi mendatang akan memperbaiki hal tersebut, tidak meniru, dan lain sebagainya. Ya kalau demikian? Kalau tidak? Sudah dipastikan jurnalisme online kedepannya menjadi tak terbayangkan.

 Berkaca pada standar yang ada, media online tetap harus menjaga standar akurasi dan keberimbangan berita yang tak lantas dikorbankan atas nama kecepatan. Tidak merugikan kan pikiran itu? Bahkan bila perlu, media online Indonesia mempraktikkan sebuah pengorbanan. Pengorbanan untuk meninggalkan kecepatan untuk mengecek setiap berita sebelum diunggah ke internet.

Tentu saja budaya cepat dan tidak melandaskan verifikasi ini tidak bisa dibiarkan. Karena dua hal berikut. Pertama, jurnalisme online ialah wilayah masa depan jurnalisme Indonesia diletakkan. Sama halnya dengan negara lain, jurnalisme Indonesia bergerak dengan kecepatan tinggi menuju jurnalisme online. Kedua, jurnalisme online justru menawarkan banyak kemungkinan yang tidak pernah tersedia sebelumnya. Ini diluar konteks kecepatan.

Era digital menyediakan peluang bagi jurnalisme online di Indonesia utnuk menyajikan laporan yang mendalam dengan memanfaatkan konvergensi media. Sehingga membuka peluang juga bagi wartawan untuk menembus ruang, format, waktu, dan arah berita. Dengan melibatkan interaktivitas viewers untuk mengoreksi sekaligus memperkaya produk jurnalistik.

Bagaimana dengan kriteria pekerja media yang akan dibutuhkan untuk berkontribusi memajukan jurnalisme online?

Munculnya internet dan masuknya jalur komunikasi kabel yang lebih maju, tidak merubah konsep penerapan berita yakni upaya untuk memutuskan apa yang diperlukan publik. Justru dengan adanya kemajuan teknologi malah membuat kebutuhan akan informasi semakin besar. Dengan demikian pada era ini dunia jurnalistik juga membutuhkan SDM yaitu para wartawan yang mumpuni untuk menjawab kebutuhan dan menyelesaikan masalah yang masih seirng terjadi dalam media online. Masalah verifikasi yang hingga saat ini selalu ada kasus yang tercatat di Dewan Pers. Ini merupakan salah satu cara agar etika jurnalistik harus diatas segala-galanya dalam seluruh jenis media.

Wartawan perlu kemampuan untuk melihat masalah atau berbagai persoalan yang terjadi dari berbagai macam perspektif dan kemampuan untuk sampai pada inti. Sehingga wartawan saat ini tidak perlu memutuskan apa yang seharusnya diketahui publik. Melainkan wartawan berkewajiban untuk membatu publik mengerti secara runtut apa yang harus mereka ketahui. Sehingga pada hasil akhirnya wartawan harus menambahkan interpretasi atau analisis pada sebuah laporan beritanya.

Sehingga dapat disimpulkan saat ini bahwa wartawan era baru saat ini tidak bisa mengabaikan verifikasi. Memverifikasi apakah informasinya bisa dipercaya, lalu meruntutkannya sehingga publik dapat memahaminya secara efisien. Hingga pada akhirnya jurnalisme online dianggap sebagai jurnalisme serius dan minim kontroversi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun