Mohon tunggu...
Divi Lintang
Divi Lintang Mohon Tunggu... Ilmuwan - Kerja

Yang membuatmu tersesat adalah nafsumu; dan yang membuatmu sadar adalah nafasmu

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kandangan, Bunga Kopi Bidadari

8 Januari 2016   14:57 Diperbarui: 8 Januari 2016   15:46 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[Perjalanan yang tiada sengaja. Sebuah ketersesatan yang bertualang antara masa lalu dan (mungkin) masa depan. Tapi garis sketsa kisah manis itu seperti benang merah sutera yang meraut wajah para kupu-kupu di aras pedesaan.........]

Sekitar tujuh bulan yang lewat, perjalanan kaki ini tanpa sengaja melangkah ke sisi Timur Selatan kota Madiun. Beranjak dari nDungus, selepas Monumen Kresek ke Selatan, menyusuri lereng gunung Wilis. Roda-roda sejarah tanpa sengaja menyisir jalan sempit semi makadam. Sekali waktu badan ini terguncang. Namun kesederhanaan bukit-bukit kecil yang menaungi atap rumah penduduk menyadarkanku tentang sebagian impian yang hilang, yaitu bukit ranum di mana keheningan menyelimuti perenungan.

Sesaat, jalan terus menanjak dan berkelok. Rumah jarang di antara pepohonan Wadang  bertengger di tanah keras. Di sisi perjalanan, senyum ramah para pekebun tersembul dari caping gunung. Bahkan ketika debu membual dari semak belukar, senyuman mereka melebar menjadi seringai yang akrab. Gugusan keramahan itulah yang memperpanjang niat hati untuk terus menelusuri pendakian. 

Beberapa pekebun yang istirahat di bawah rimbunnya daun waru renyah berujar, "Mendaki terus ke Selatan Barat perjalanan akan berujung di sebuah Perkebunan kopi". Saat menatap si penutur, asap tingwi  mengumbar ketulusan. Ada keinginan ke sana, sayangnya jalan yang rumpil dan "batas-batas" tak jelas dari para pegawai Perkebunan itu membuatku malas meneruskan pencarian ke pucuk-pucuk loji yang tertata rapi. Dan saat memalingkan wajah dari kebekuan Rumah Mewah itu, terpampang bukit-bikit hening yang kucari....... 

["Ketika buah kopi memerah"]

Kandangan...... 

Mendengar nama itu ingatan ini tidak hendak asing. Seorang kakak ipar (dari sepupu) berasal dari sana. Tapi entah Kandangan yang mana, karena banyak perkebunan bernama sama. Sayangnya juga perjalananku belum sempat menyusuri batang-batang kopi yang menetaskan butiran biji terbalut rekahan merah. 

(Dulu di sela menggoreng kulit dadar gulung  simbok mampu  bercerita tentang kampung itu dengan indah, sehingga bayangan pedusunan dengan penduduk yang mendiaminya menjelma menjadi telaga khayangan tempat bidadari menaburkan keceriaan dan ketenangan...) 

Hingga waktu berlalu kisah perjalanan di sepanjang dusun perbukitan yang hening dan konon dingin itu terus terajut. Ada harapan untuk sekedar memiliki rumah mungil yang hangat di situ. Di sela bukit menjelang perkebunan, dengan teras mungil untuk meluangkan waktu senja sambil merangkai kisah; atau nyuruput kopi bertoping hati. Mungkin enak juga menikmati pisang goreng di tengah mentari manyun di ufuk barat......sambil ura-ura

Ketika rasa terentang, sekuntum kupu-kupu bertanya kepadaku:

"Apakah tempatnya asyik ? Hening ?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun