Menurut Prof. Quraish Shihab, moderasi beragama dalam konteks Islam sebenarnya sulit didefinisikan. Hal itu karena istilah moderasi baru muncul setelah maraknya aksi radikalisme dan ekstremisme. Pengertian moderasi beragama yang paling mendekati dalam istilah Al-Qur’an yakni “wasathiyah”.
Wasath berarti pertengahan dari segala sesuatu. Kata ini juga berarti adil, baik, terbaik, paling utama. Hal ini diterangkan dalam surat Al-Baqarah ayat 143 (wa kadzalika ja’alanakum ummatan wasathan) yang dijadikan sebagai titik tolak moderasi beragama.
Ada tiga kunci pokok dalam penerapan wasathiyyah ini, yaitu pengetahuan yang benar, emosi yang terkendali dan kewaspadaan atau hati-hati. Tanpa ketiga hal ini, wasathiyyah akan sangat susah bahkan mustahil untuk diwujudkan.
Terdapat prinsip dasar dalam segala aspek kehidupan. Siapa pun yang anda temui, dia akan menjadi saudara anda seagama, atau saudara sekemanusiaan. Apabila seseorang tersinggung dengan sesuatu yang tidak ia sukai, maka orang lain pun sama, mereka juga akan tersinggung dengan sesuatu yang tidak mereka sukai.
Dalam surah Saba’ terdapat pengertian yang intinya adalah boleh jadi kami yang benar boleh jadi juga kami yang salah. Tetapi bisa jadi Kita tidak dapat mengklaim dihadapan Allah bahwa kami benar dan kalian salah. Nanti Allah yang akan menghimpun kita di hari Kiamat, dan allah yang akan memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah.
Sebagai muslim kita harus yakin ke dalam diri kita bahwa Islam itu benar dan selain Islam itu tidak benar apabila ajarannya tidak sesuai dengan agama. Namun hal tersebut tidak perlu disampaikan pada orang lain, karena orang lain pun akan merasa begitu.
Orang-orang yang mengajak kita masuk ke agama mereka, sebenarnya tersirat cinta mereka pada diri kita. Agar kita bisa masuk surga sesuai dengan ajaran dan keyakinan mereka. Sama seperti kita, mereka berpikir kita tidak masuk surga karena tidak mengikuti ajaran agamanya.
Di dalam ayat dalam surat Saba’ tersebut juga dikatakan bahwa, “kalian tidak diminta untuk mempertanggungjawabkan dosa-dosa kami, dan kami juga tidak diminta untuk mempertanggungjawabkan apa yang kalian lakukan.” Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa apa yang kita lakukan, apabila salah, diakui sebagai dosa, namun apa yang mereka lakukan tidak dikatakan sebagai sebuah dosa. Supaya hubungan sebagai sesama makhluk menjadi akrab dan tidak menyinggung satu sama lain.
Apabila hal tersebut terjadi dikalangan agama yang berbeda, terlebih untuk sesama muslim, yang sama-sama meyakini bahwa Al-Quran itu benar, Nabi Muhammad itu benar, dan Islam adalah agama yang benar. Dalam penafsiran agama dikalangan umat muslim pun berbeda-beda. Contohnya dalam penafsiran Allah Maha Esa dan Allah mempunyai sifat atau tidak. Namun meskipun berbeda, sesama umat muslim sepakat terhadap prinsip-prinsip ajaran agama. Kita harus bertoleransi dalam rincian-rincian ajaran agama. itu sebabnya wasathiyah juga diartikan sebagai shirathal mustaqiim. Jalan lebar yang lurus. Apabila jalan itu lebar, maka orang dapat melewati jalan itu tanpa berdesak-desakan. Mengapa jalan yang lurus? Karena jalan itu tidak berliku-liku sehingga cepat sampai tujaun.
Namun ada sebagian orang yang berusaha mempersempit jalan tersebut, apabila seorang tidak melewati jalan yang itu, maka dia bukanlah muslim. Maka toleransi atau wasathiyah dipahami dengan persamaan tersebut.
Bagaimana cara menyikapi pemikiran orang bahwa Islam itu sempit dan selalu menuding bahwa orang lain berada di jalan yang salah?