Mohon tunggu...
Kensha Hadima
Kensha Hadima Mohon Tunggu... wiraswasta -

Kata itu ibarat pedang, dia bisa membunuhmu, juga bisa membuatmu hidup. Semua itu adalah pilihanmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ternyata Mata Itu...

23 Desember 2013   20:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:34 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku melangkah masuk. Ruangan depan terlihat dan terasa sepi. Hanya ada perabotandengan beberapa lukisan yang terlihat. Bunga lili di atas meja sesekali meliuk terkena angin yang sepoi masuk. Akupun melangkah ke ruangan belakang. Masih saja sepi yang ada.

“Mbok Siyeeeeeeeemm!!” Aku berteriak.

Tidak ada suara balasan seperti  harapkanku. Mbok Siyem yang biasanya datang menyambut, membawakan tas dan membantuku melepas sepatu, sekarang tidak tampak sama sekali. Dengan hati dongkol, Aku lepaskan sendiri sepatu dari kaki kemudian ku lemparkan ke arah pintu dan jendela.

“Kemana sih, Mbok Siyem ini?!” Rutuk ku. Sudah hampir sebulan ini, Aku hanya ditemani Mbok Siyem. Papa dan mama harus terbang keluar negeri, karena urusan pekerjaan yang tidak bisa diwakilkan. Sebagai pemilik perusahaan berskala nasional, begitu sibuk dengan banyak meeting baik di dalam negeri maupun luar negeri. Aku hanya ditinggal dengan pembantu yang sudah lama ikut dengan keluargaku.

“Awas ya, aku bilang ke Mama!” batinku. Sejenak jemariku menekan layar di smartphone. Sambil merebahkan tubuh rampingku ke tempat tidur. Rambutku yang panjang ia biarkan tergerai berantakan.

“ Maaaa, kapan sih mama pulang?”

“Dua hari lagi sayang, ini tinggal nyari oleh oleh buat kamu ama Mbok Siyem.” Suara Mamaku dari seberang.

“Mbok Siyem dapat juga, kagak usah deh Mah!!”

“Emang kenapa Feb?” suara mamaku heran.

“Ngapain kasih oleh oleh, ama dia, wong dia mulai belagu! Nih rumah berantakan, aku pulang aja rumah sepi.”

“Lho? Mbok Siyem kemana?”

“Tahuu! Ngerumpi kali ama tetangga, apa mang Dikin, tukan kebon sebelah. Kemarin aja Aku liat dia ngobrol asyik ama mang Dikin. Pas nyapu depan rumah.”

“Yang bener Feb? coba cari dulu ke kamar Mbok Siyem..mamah sedang packing baju nih. Udahan dulu ya, jangan lupa makan siang.”

Sambungan handphone terdengar mati dari seberang. Dengan langkah malas Aku ke arah kamar mbok Siyem yang bersebelahan dengan dapur.

“Mbok Siyeeeeeem! Mbok Siyem!”

Sepi.

“Mbok Siyeeeem!” teriakku sambil menggedor gedor pintu. Masih tidak ada sahutan. Tanganku kemudian meraih gagang pintu. Tidak dikunci.segera ia langsung masuk. Tampak terlihat sosok paruh baya berbaring di tempat tidur dengan agak miring membelakangi. Aku yang yang sudah kesal, memegang kaki Mbok Siyem yang terlihat mengeriput dan menggoyang goyangkan kuat.

“Mbok Siyem, bangunnn! Semalam begadang ya, jam segini sudah tidur!”Untuk beberapa menit, aku terus berteriak membangunkan Mbok Siyem. Perlahan, pundak mbok Siyem bergerak, saat wajahnya menghadapku, wajahnya terlihat pucat. Segera saja mbok Siyem bangun.

“Maaf non, maaf tidak tahu non Aku sudah pulang.” Kata Mbok Siyem menunduk.

‘Ngapain saja sih? Sampai rumah berantakan. Kamarku juga!” Aku berkata dengan sewot. Kemudian dia membalikkan badan keluar kamar mbok Siyem. Saat hendak keluar pintu, ekor mataku sekilas melihat sebuah foto hitam putihmenggantung di pintu lemari Mbok Siyem, lemari di sebelah pintu kamar. Aku merasa tidak asing dengan wajah itu. Tapi…

** * **

“Sejam lagi mama ama papa pulang, aku harus, siapkan surprisenya,” batinku. Sebuah benda kotak berlapis kertas warna warni ada di sampingku. Sesuatu yang ia dapatkan dari sebuah event menulis di sebuah penerbitan. Akupun keluar hendak mandi.

“Mbok , ambilkan handukku!” Teriakku. Wajah ovalku terlihat celingukan. Kayak monyet aja rasanya.

Tidak ada jawaban.

“Ihh, kemana sih mbok Siyem, dari kemaren selalu saja bikin sebel, makin malas aja.”Batinku dengan wajah bersungut sungut. Akupun keluar kamar, mencari ke ruang depan, tidak ada. Di kamar Mbok Siyem juga tidak ada. Setelah menyusuri seluruh ruangan rumah kosong, Aku keluar ke halaman. Di sebelah kiri tampak sosok berkebaya lusuh dan rambut di sanggul sedang berdiri dengan seorang lelaki bertubuh gempa berkulit sawo matang dari balik pagar batas rumah. Mbok Siyem sedang berbincang dengan mang Dikin. Hatiku jengkel.

“Mbokkkk, handukku manaaaa? Jangan pacaran terus dong, inget umur!” Aku berteriak.

Perempuan paruh baya itu segeran menoleh,“Iy…. Iyaa Non, bentar!” jawab Mbok Siyem. Untuk beberapa saat perempuan itu masih berbincang dengan lelaki tukang kebun tetangga sebelah itu. Mang Dikin terlihat hanya mengangguk angguk dan terlihat wajahnya penuh resah. Selanjutnya dengan tergesa wanita yang punggungnya terlihat sedikit bungkuk itu menuju ke arahku.

“Ma mau mandi ya Non? bentar saya siapkan handuknya.”

“Ya iyalah! Mama papah bentar lagi pulang, masak aku tampak kucel kayak mbok?!” dengan ketus Aku berkata. “ Tuh ruang depan jangan lupa diberesin, !”

Dari seberang pagar, mang Dikin menatap mbok Siyem dan aku, dengan menghela nafas yang berat. Saat mbok Siyem masuk, diapun tampak surut dari tembok pagar pembatas rumah.

Keluar dari kamar mandi, Aku melihat mbok Siyem sedang membersihkan ruang tamu. Kembali hatiku jengkel, saat melihat mbok Siyem mengelap meja dengan pelan dan menunduk.

“Mbok Siyem, kalau kerja jangan ngalamun gitu ah! Bentar lagi mama papa pulang, kalau ruang depan belum beres pasti akan marahi mbok!”

“Iya Non,” jawab mbok Siyem pelan. Tubuhnya tampak bergerak lebih cepat dari sebelumnya.. Sedang Aku masuk kamar dan berganti baju.

Kotak yang telah kupersiapkan, kubawa ke ruang depan. Tapi sudah tidak terlihat mbok Siyem. Paling dia sudah di kamarnya. Bodo ah, yang penting ruangan sudah beres. Aku letakkan kotak itu ke bawah meja. Lalu ia tutupi dengan kain penutup meja yang panjang menjuntai. Aku ambil remote dan menyalakan televisi menunggu kedua orang tuaku.

“Tingg Tunggg!

Suara bel berbunyi. Aku menoleh ke kamar mbok Siyem. Dalam beberapa detik, tidak tampak wanita itu keluar. Aku mendengus. Bunyi bel kembali berbunyi. Aku masih duduk, mbok Siyem, masih saja tidak kelihatan. Pada bel ketiga, Aku berdiri dengan nafas lebih mendengus. Wajahku kutekuk saat berjalan menuju pintu,seketika berubah saat kulihat yang ada di balik pintu kaca itu adalah kedua orang tuaku. Akupun menghambur ke pintu kacanya dan memeluk dan mencium keduanya secara bergantian.

“Eh, kemana mbok Siyem? Kok dia tidak muncul, biasanya mbok Siyem yang datang duluan ke pintu? “ tanya Papaku, papakusambil berjalan menenteng beberapa kantong kertas bergagang anyaman rotan.

“Paling juga tidur lagi, kagak tau pah, beberapa minggu ini dia males malesan, malah sering pacaran ama mang Dikin, pembantu sebelah.” Kataku sambil menumpahkan kesalnya. Lalu kuhempaskan tubuh ke sofa.

“Hussh! Jangan gitu Aku, Jangan ngaco. Ibu tahu gimana mbok Siyem.”Kata mamaku. Perempuan berkaca mata dan bertubuh subur langsing. Meskipun sudah berkepala lima, tapi masih modis dalam berpakaian.

“Ahh mama, sama anak sendiri tidak percaya. Aku nih rasanya setengah mati deh, kalo manggil manggil mbok Siyem, suka tidak dengar, kalo kagak tidur ya di depan rumah bareng mang Dikin. Apalagi dua hari ini, duh ampun deh, mereka kayak orang kasmaran.,” Aku bercerita dengan kesal. “Eh, mana oleh oleh buat Aku mah?Aku juga ada kejutan buat mamah lho..” Suaraku manja.

“Kamu nih, kagak pernah lupa kalo soal oleh oleh. Nih.. eh bener ada kejutan buat mamah?” mama Aku menyerahkan sebuah kantung kertas bertulisan sebuah produk luar negeri yang terkenal.Beberapa kantung kertas lainnya mama Aku buka. Sedang papa bersandar di sofa memperhatikan mamaku dan anaknya Aku, beberapa kali dia menoleh kearah dapur.

“Eh, mah, tumben kok mbok Siyem tidak keluar keluar?” Tanya papaku pada mamaku.

“Feb, panggilkan mbok Siyem sana, minta buatin minum dan juga ini ada oleh oleh buat mbok Siyem.” Kata mamahku, menjawab pertanyaan papa dengan perintah pada aku.

“Maless ah mah, paling dia juga tidur kayak kemaren dan kemarennya lagi!”

“Kamu ini lho, ya udah mamah aja yang ke kamar mbok Siyem, sambil ngasih oleh olehnya.” Mama beranjak ke belakang. Sementara aku sibuk dengan oleh oleh yang ada.. Aku pikir, nanti sajalah surprisenya buat mama, kalau mereka berdua istirahat beberapa saat.

Mamaku mengetuk pintu dan memanggil lembut,

“Mbok Siyem,Mbok….”Sepi.

Mamaku memanggil lagi. Masih saja tidak ada jawaban. Mamaku mencoba mengintip pintu yang tidak tertutup rapat. Tampak tempat tidurnya kosong. Dengan pelan, ia dorong pintu lebih lebar, matanya tertumbuk dengan sesuatu di lantai. Langsung saja dia menerobos masuk pintu dan membuang kantong kertas yang ia pegang,

“Pahhhh, Papahhh!! “ Mamah berteriak histeris memanggil Papaku dengan suara panik. Dalam beberapa detik, Papaku muncul di ikuti olehku.

“Pah, cepat panggil mang Dikin, cepat! “

Papaku yang melihat itu, tanpa berpikir lagi langsung keluar menuju keluar memanggil mang Dikin. Aku hanya melongo. Aku heran kenapa mang Dikin harus dipanggil? Jangan jangan benar dia itu pacarnya mbok Siyem?

“Mah, kenapa sih mah? Paling dia juga tidur aja. Dua hari ini juga gitu biasanya.” Kataku dengan nada jutek.

“Biasanya? Kamu bilang biasanya? Coba pegang kakinya, coba pegang!” Suara Mamaku meninggi. Aku kaget. Seumur umur mamanya tidak pernah berkata sekeras itu terhadapnya. Tapi karena mbok Siyem, membela mbok Siyem, mama mau membentak dirinya. Dengan ogah ogahan dia pegang kaki mbok Siyem. Agak dingin.

“ Itu tandanya, ada apa apa dengan mbok Siyem. Ini bukan tidur Feb, Mbok Siyem itu pingsan. Kalo kamu bilang biasanya mbok Siyem kayak gini, artinya dia sering pingsan Feb! Mama tahu seperti apa mbok Siyem, dia orangnya rajin. Sekarang kamu telpon dokter Badrus, cepat. Jangan membantah!”mama berkata dengan panik.

Aku segera mengambil handphonenya dan menekan nomer dokter Badrus dan meneleponnya. Tapi di kepalaku masih penuh tanda tanya, ada apa. Tak lama Papaku datang bersama mang Dikin. Mang Dikin terlihat shock melihat sosok mbok Siyem tergeletak di lantai.

“ya Allah, kamu kenapa Yem?” mang Dikin bertanya dengan khawatir meski dia mengertitidak akan mendapatkan jawaban.

“ Kita angkat mbok Siyem ke tempat tidur. Mang” kata papaku. Segera bersama mang Dikin, Papaku mengangkat mbok Siyem itu ke tempat tidur. Wajah mbok Siyem terlihat sangat pucat. Mamah keluar masuk membawa minuman dan minyak untuk mencoba menyadarkan mbok Siyem. Sedang Aku yang berdiri di sudut pintu masih heran dengan apa yang terjadi.

“Mbok Siyem, kenapa mang? Kami tinggal sebulan yang lalu, dia baik baik saja.” Tanya Papaku.

“Itulah, saya sendiri tidak tahu, hanya saja beberapa hari ini dia cerita ke saya, kalau dia sering merasakan sakit yang teramat sangat. Sehingga seringkali dia tidak mampu menahannya, dia pingsan. Tahunya pingsan, ya saat dia membuka mata dia sudah tergeletak di mana tadi dia berdiri sebelumnya. Kadang di dapur,di belakang, jadi kalau dia merasa mau pingsan dia berusaha mencapai tempat tidur. Kata dia, yang sakit, bagian yang dulu di operasi. Dan saya mohon maaf, jika beberapa hari ini, si Iyem tidak bisa membersihkan rumah sebagaimana mestinya.” Mang Dikin bersuara..

“Udah jangan mikir soal kerjaan, yang penting ada apa dengan mbok Siyem, kalau sering terasa kenapa tidak kasih tahu saya atau ke dokter, masalah biaya jangan dipikirkan.” Kata papaku.

Aku masih terdiam. Mencerna dari apa yang dia dengar. Ada yang aneh. Sementaramama sibuk memijit jemari kaki mbok Siyem dan mengoleskan cairan minyak angin ke bawah hidung mbok Siyem, dengan harapan mbok Siyem siuman. Perlahan tubuh mbok Siyem bergerak. Wajahnya pucat, matanya terbuka lemah.

“Pak, Bu…maaf…..” kata mbok Siyem lemah, saat dilihatnya kedua majikannya ada di dekatnya.

“Sudah mbok, jangan mikir yang macem macem. Simbok ini kenapa sebenernya? “ tanya mama.

“Rasanya saya sudah ndak kuat, Bu..” Kata mbok Siyem sambil memegang bagian tubuh di sebelah bawah kiri dadanya “ Kang, jangan lupa ya…..” Mbok Siyem menatap mang Dikin.

“Jangan berkata gitu mbok, mbok akan sembuh. Feby sudah panggil dokter.” Mama berkata lirih penuh khawatir.

“Iya mbok, dokter Badrus akan segera datang.” Kata Papaku menambahi.

Mbok Siyem menatap kedua majikannya lemah. Lalu matanya menatap ke arahku. Aku yang bertemu mata terasa semakin aneh. Saat dilihat sinar mata mbok Siyem sangat berbeda dengan biasanya.

“Pak, Bu, bolehkah aku memeluk Feby, selagi saya bisa, sekarang ini?”

“Boleh, sangat boleh mbok” Kata mama mulai terisak. Tangan mama Aku pun melambai ke arahku. Akupun melangkahpelan. Masih bingung dengan yang terjadi.Tanganku digenggam erat mbok Siyem. Mataku tak kuasa beradu dengan mata mbok Siyem. Mata itu.. mata itu bukan mata mbok Siyem.

“Peluklah dia Feb..” kata mama Aku.

Akupun menurunkan tubuhku untuk dipeluk Mbok Siyem yang terbaring lemah. Di antara dinginnya jemari mbok Siyem, terasa ada kehangatan yang merasuk dadaku. Entah dari mana. LirihAku mendengar suara mbok Siyem berkata, “Jadilah anak yang baik, ya”

Suara itu begitu lembut.sedetik kemudian ada nafas panjang yang terdengar yang disertai pelukan yang melemah. Tanganmbok Siyem lunglai ke tepi tempat tidur.

“Iyeeeeem.. iyeeemmm!!” mang Dikin berteriak. Lelaki berambut putih itu mengguncang guncang pundak mbok Siyem dan meletakkan jemarinya di bawah lubang hidung mbok Siyem memastikan kondisinya.

“Mbokk Siyem, .. mbok Siyem….” papa dan mamaku berbarengan memanggil dengan memegang bagian tubuh mbok Siyem yang dapat diraih.

Aku bergerak bangun dan mundur. Saat kurasakanpelukan Mbok Siyem melemah dan lepas. Sedang ketiga orang disampingku begituhisteris. Apakah Mbok Siyem sudah meninggal?

Mama mendekati aku. Airmatanya membanjir. Dengan sesenggukan dia berkata,

“Feb,ketahuilah, mbok Siyem bukanlah sekedar mbok Siyem pembantu kita.”

“Maksudnya apa mah?” Aku masih heran.

“Dia adalah seseorang yang harus kita hormati, terutama kamu. Makanya mama seringkali bilang pada kamu agar tidak kasar kasar pada mbok Siyem. Jangan suudzon padanya.’

“Aku semakin bingung mah..” Aku makin tidak mengerti.

“mbok Siyem, itu…. Mbok Siyem itu….. “mamah makin keras menangis. Tidak kuasa meneruskan.

“Mbok Siyem itu ibu kamu Feb.” Papaku meneruskan dengan lirih. Aku kaget. Semakin tidak mengerti dengan apa yang sedang dikatakan kedua orang tuaku .“Feb, mbok Siyem ini adalah ibumu. Ibumu yang sebenarnya. Papamu, mamamu ini sebenarnya hanyalah orang tua angkat saja. Dulu, sewaktu kamu bayi, kamu kami angkat karena kami tidak bisa mempunyai keturunan. Tapi jangan pernah berpikir mbok Siyem membuang dan tidak sayang padamu. Justru karena sayangnya yang begitu besar padamu, dia bersediakarena secara ekonomi, dia merasa tidak mampu untuk menyekolahkan kamu . Diharapkannya, bersama kami engkau bisa sampai ke jenjang tertinggi dalam pendidikan. Dan dia tidak pernah melupakan kasih sayangnya padamu. Maka daripada itu, kami ijinkan mbok Siyemlah yang merawatmu sejak kecil…” Papa bercerita.

Hatiku campur aduk. Kutatap tubuh mbok Siyem yang tergeletak di tempat tidur. Inikah jawaban dari rasa heranku atas sinar mata mbok Siyem yang ku rasakan tadi. Terbayang sikapku yang seringkali kasar dalam tiap harinya. Aku masih kurang percaya. Benarkah, selama ini mbok Siyem yang selama ini menjadi pembantuku ternyata adalah ibuku? Ibu yang sebenar benarnya ibu?

“Feb, Mbok Siyem itu sangat sayang kamu, hanya saja caranya yang tidak seperti yang lain. Semua itu karena keadaan. Masih ingat saat kamu operasi ginjalmu yang bermasalah dulu? Sesungguhnya ginjal yang dicangkokkan di dalam dirimu itu adalah ginjal dari mbok Siyem, ibumu.” Mang Dikin ikut bercerita. “Karena ibumu itu berpikir masa depanmu masih sangat panjang. Dan dia akan berusaha mendukungmu dengan berbagai cara. Salah satunya ginjalnya diberikan padamu. Karena itu dia mulai sering sakit sakitan jika terlalu lelah. Dan beberapa hari ini dia menahan semua rasa sakit itu agar kamu tidak melihatnya Feb. Bagi mbok Siyem, kebahagianmu yang paling utama.

“Mang Dikin ini sapa sih, kok kayak tahu semuanya?” tanyaku. Mama menoleh ke arahku

“Mang Dikin ini suami mbok Siyem. Waktu kamu lahir, ayahmu meninggal karena kecelakaan. Dan tidak berapa lama mbok Siyem menikah dengan mang Dikin ini. Jadi mang Dikin ini adalah ayah tirimu.” Kata mama

Aku terdiam, mencerna semua yang ia dengar. Meski serasa tidak percaya, tapi tatapan mbok Siyem sangat terasa di dalam dadaku. Ku pandangi tubuh mbok Siyem, wajahnya yang pucat terpejam. Terbayang iaku memperlakukan dengan kasar mbok Siyem, yang ternyata ia adalah ibuku. Terbayang bagaimana ginjal yang menempel di dalam diriku, ternyata adalah ginjal mbok Siyem. Ibuku. Mataku terasa panas. Dan kemudian mengucur air dari sela sela mataku. Akupun bangkit dan menubruk tubuh mbok Siyem. Bagaimanakah bisa aku membalas semua yang telah dikorbankan mbok Siyem kepadanku?

“Ibuuuuuuuuuuu!! Maafkan aku yang tidak bisa memberikanmu senyum bahagia…..”

===============0000============================

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community


Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun