Mohon tunggu...
Karina Lin
Karina Lin Mohon Tunggu... profesional -

Seorang manusia biasa yang suka menulis. Mencintai dan hidup untuk menulis.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mau Edukasi Anak Soal Kespro? Edukasi Dulu (Calon) Orangtuanya

25 Juli 2016   23:36 Diperbarui: 25 Juli 2016   23:45 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Dalam hal ini, yang patut disalahkan adalah orangtuanya. Pernyataan ini diucapkan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Yohana Yembise dalam rapat kerja bersama dengan Komisi VII DPR RI pada tanggal 30 Mei 2016 lalu. Rapat itu sendiri guna meminta semacam “pertanggungjawaban” terhadap kasus Yuyun di Bengkulu. 

Efek dari pernyataan Menteri Yohana yang secara langsung menyalahkan orangtua kandung almarhumah Yuyun lantas menuai protes dan bullying. Banyak masyarakat yang menyebut ucapan Yohana tidak etis. Ketidaksetujuan terhadap pernyataan Yohana rata-rata disuarakan melalui media sosial.

Kasus Yuyun yang disebut-sebut di sini memang telah menghebohkan publik tanah air karena kesadisan para pelaku. Yuyun, remaja putri berusia 13 tahun yang tinggal di Ulak Tanding, Bengkulu. Ia meninggal secara tragis setelah diperkosa ramai-rama bergiliran oleh 14 pemuda di kampungnya. Semakin menghentak karena dari 14 pelaku pemerkosa Yuyun, masih berusia muda – belasan hingga awal 20 tahunan. Malah ada beberapa pelaku yang berusia di bawah 17 tahun alias ABG.

Kembali ke pernyataan Menteri Yohana, dalam konteks tersebut saya mencoba obyektif. Pada satu sisi, ucapan yang menyalahkan orangtua kandung Yuyun adalah sesuatu yang nyelekit. Sebab, bayangkan saja – sudah kehilangan buah hati dengan cara yang menusuk hati eh masih disalahkan pula. Normalnya, orangtua manapun tidak berharap kejadian buruk menimpa kehidupan sang anak atau sampai merenggut nyawanya.

Pada sisi lain, ucapan Yohana Yambise ada benarnya juga. Mengapa?

Kekerasan Seksual Versus Edukasi Kespro

Kasus kekerasan seksual terhadap anak – bahkan yang masih balita memang mengkhawatirkan. Menurut data yang baru-baru ini pernah dipublikasi oleh sebuah media televisi swasta nasional pada tahun 2014 tercatat 4 ribuan kasus kekerasan terhadap anak. Tahun 2015 meningkat menjadi 5 ribuan kasus dan di 2016 ini mencapai kurang lebih 6500-an kasus – padahal saat ini baru setengah tahun berjalan. Artinya kekerasan seksual terhadap anak terjadi secara masif walau pelakunya berbeda-beda, dilakukan pada lokasi dan waktu yang berbeda serta jenis kekerasan seksual yang juga berlainan.

Tentu kita masih ingat pada kaburnya buronan Anwar dari LP Salemba diawal bulan Juli 2016 ini. Cerdiknya cara dia kabur adalah dengan menyamar sebagai perempuan. Ia rela mengenakan hijab dan memulas gincu di bibirnya demi mengelabui petugas. Syukurlah Anwar kemudian berhasil ditangkap oleh Korps Bhayangkara kita dan terungkap alasannya kabur karena khawatir diindah ke LP Nusakambangan. Bila benar dipindah, Anwar menjadi galau karena semakin terbatas dibesuk oleh keluarganya.

Tetapi yang membikin kita marah karena kejahatan yang telah dilakukannya. Entah apa yang ada dalam pikirannya ketika melakukan pembunuhan dan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur pada 22 Oktober 2015 di area Perhutani, Petak 17, Resort Pemangkuan, Hutan Tenjo, Desa Pangaur, Jasinga, Kabupaten Bogor.  

Sedikit mundur, dalam bulan yang sama dengan kasus Yuyun (April 2016) di daerah saya juga terjadi kekerasan seksual yang menimpa seorang murid TK di Kota Metro, Lampung. Berdasarkan informasi dari teman-teman jurnalis, menurut pengakuan korban – pelakunya ialah penjaga sekolahnya.

Menariknya sekolah tempat siswa tersebut seolah tutup mata terhadap kasus tersebut. Mereka kompak tutup mulut mengenai fakta. Dari teman yang bekerja di portal warga kota Metro, diduga aksi kompak tutup mulut kepala sekolah dan lain-lain dipicu oleh status sekolah yang mana merupakan institusi pendidikan milik pemerintah kota (pemkot) setempat dan duduklah ibu pejabat wali kota atau sekretaris kota sebagai penasihatnya.

Kasus ini pada akhirnya bisa ditindaklanjuti pihak kepolisian Lampung. Itupun setelah gencar dilakukan pemberitaan oleh media lokal.

Kasus-kasus ini semakin menunjukkan betapa rentan anak menjadi sasaran kekerasan seksual. Tetapi saya berpendapat dapat dicegah atau setidaknya diminimalisir oleh edukasi mengenai kesehatan reproduksi (kespro) dan siapa yang paling berperanan? Bukanlah sekolah. Melainkan keluarga, lebih spesifik lagi orangtua anak itu.

Sayangnya tidak semua orangtua mumpuni atau memiliki kapasitas pengetahuan mengenai kespro. Bukan hanya itu, kalaupun mereka punya pengetahuan yang cukup – para orangtua tersebut mengalamai kesulitan dan kebingungan ketika hendak menjelaskan atau mengedukasikannya kepada anak-anak mereka. Setahun yang lalu, saya pernah mewawancarai surveyvor LSM PKBI Lampung yang bernama Regina. Interviu tersebut guna mendapatkan gambaran mengenai maraknya pernikahan usia dini di Lampung.

Dalam wawancara, terkuaklah fakta yang telah saya sebut di atas (meski ia tak menyebut angka atau presentase). Selain itu, masih menurutnya, berdasarkan data survey – ada faktor budaya dan adat yang mengekang. Budaya patriakat misalnya yang menjunjung kaum lelaki atau adat yang masih mentabukan membahas kespro dalam keluarga.

Sinergi BKKN untuk Pendidikan (Calon) Orangtua

Menyikapi realitas tersebut, saya kira sangat penting untuk mengedukasi para (calon) orangtua mengenai kespro. BKKBN sebagai institusi yang berwenang mengurusi keluarga berencana dan ideal Indonesia harus lebih proaktif lagi. Selain itu dapat melibatkan perangkat setempat semisal KUA, rohaniwan atau lembaga agama, dokter, dan lain-lain.

Bagaimana caranya mensosialisasikan hal tersebut? Bisa disesuaikan dengan kekhasan setempat atau misalnya kreatif membikin slogan pengingat, seperti Kespro Yes, Kespro BKKBN be ngcoolen, dan lain-lain. Bisa juga sebelum pernikahan ada tahap konsultasi yang materinya adalah hal ini. Bisa juga melalui kegiatan ibu-ibu PKK.

Edukasi kespro dari orangtua kepada anak, dilihat dari manfaat tak hanya berguna untuk mendidik anak mengenai kespro semata. Pendidikan ini pun memberi manfaat atau pemahaman untuk pencegahan pernikahan usia dini.

Data dari BKKBN pada tahun 2015 menyebutkan bahwa Indonesia termasuk negara dengan presentase pernikahan usia muda tinggi di dunia, yakni rangkin 37 dan tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. 

Jelas itu bukan kabar baik. Kemiskinan kerap dikaitkan dengan maraknya pernikahan usia dini. Namun, kini kita tak bisa lagi menunding itu saja. Faktor rendahnya pemahaman mengenai kespro di kalangan orangtua turut ambil bagian melanggengkan pernikahan usia dini – yang sebenarnya sama saja orangtua anak tersebut mempersilakan anaknya dijadikan obyek kekerasan seksual.     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun