Mohon tunggu...
Karina Lin
Karina Lin Mohon Tunggu... profesional -

Seorang manusia biasa yang suka menulis. Mencintai dan hidup untuk menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Engeline, Anak Terlantar dan Potret Kegagalan Program KB Indonesia

4 Juli 2015   10:47 Diperbarui: 4 Juli 2015   10:47 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tak terasa kasus penemuan jenazah gadis cilik Engeline telah berlalu hampir sebulan. Engeline, gadis cilik berusia 8 tahun dan bertempat tinggal di Sanur, Denpasar ini awalnya dilaporkan hilang pada 16 Mei 2015. Informasi hilangnya gadis cilik ini cepat tersebar – terutama melalui media sosial (medsos) dan kemudian diliput oleh media mainstream. Bahkan di facebook, tak berapa lama kemudian ada fanspage khusus berlabel: Find Angeline, Bali’s missing child.

Fanspage ini berhasil menarik follower sekitar 4000 orang. Melalui fanspage ini juga, dana sejumlah lebih dari Rp 40 juta berhasil dikumpulkan. Fanspage Engeline ini disebut-sebut dibuat oleh kakak angkatnya yang saat ini sedang berada di Australia.

Namun betapa terkejutnya kita, ketika di Rabu, 10 Juni lalu – semua media memberitakan penemuan jenazah bocah cilik ini – yang tragisnya (dari hasil otopsi pihak forensik kepolisian) diperkirakan telah meninggal tiga minggu yang lalu karena dibunuh dan jasadnya dikubur dalam lubang (sampah) halaman rumah ibu angkatnya sendiri.

Kepolisian Daerah (polda) Bali yang menangani kasus pembunuhan Engeline bergerak cepat untuk mencari siapa tersangka atau pelaku pembunuhan gadis cilik ini. Agustinus Tai, eks PRT yang bekerja di rumah ibu angkat Engeline, Margriet Ch. Megawe – ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan. Sedangkan Margriet, sampai saat ini oleh Polda Bali masih berstatus tersangka dalam kasus penelantaran anak.

Memang banyak beredar cerita dan pemberitaan seputar bagaimana kondisi kehidupan gadis cilik itu semasa tinggal di rumah ibu angkatnya tadi. Banyak yang mengatakan bila Engeline kurang atau tidak diurus dengan baik oleh Margriet dalam waktu belakangan ini (disebutkan sejak kematian ayah angkatnya, suami Margriet). Mulai dari sering dipukul, penampilan lusuh, bau tai ayam dan lain-lain.

Gencarnya pemberitaan seputar perlakuan ibu angkat Engeline terhadapnya, menjadikan (tak heran) masyarakat kita berspekulasi bahwa Margriet-lah termasuk tersangka atau pelaku pembunuhan Engeline. Tetapi, menurut saya – dalam kasus ini – tidaklah sepenuhnya bisa menyalahkan Margriet Ch. Megawe, ibu angkat Engeline.

Kesiapan Finansial Memiliki Anak

Hamidah, ibu kandung Engeline menangis histeris ketika mendatangi kamar jenazah putrinya itu. Dalam tayangan di televisi nasional, diperlihatkan betapa ia menangis histeris sembari berteriak-teriak seolah hendak membangunkan putrinya yang telah almarhumah itu. Ada pemandangan sedih tentunya.

Namun, menelusuri ke belakang  – sebelum akhirnya Engeline diasuh oleh Margriet, didapat fakta bahwa Engeline merupakan anak kedua pasangan Hamidah dan Rosidik (kini telah berpisah). Fakta lain ? a) Engeline diasuh oleh Margriet lantaran orang tua kandungnya tidak memiliki biaya membayar persalinannya yang mencapai Rp 1,8 juta. Margriet yang membayari biaya persalinan itu dan berdasarkan kesepakatan, Engeline diadopsi oleh Margriet. Dan b) Engeline memiliki seorang adik yang saat ini ikut neneknya di Banyuwangi dan diasuh di sana.

Disinilah saya menangkap pangkal dari segala rentetan kejadian pembunuhan Engeline ini; dan menurut saya – kita tak perlu menjadi naif bahwa kita tak bisa hidup tanpa uang. Jika direka ulang, dikatakan bahwa alasan ibu kandung Engeline menyerahkan anaknya itu kepada Margriet lantaran ia (Hamidah) tidak memiliki uang untuk membayar biaya persalinan Engeline sebesar Rp 1,8 juta.

Jelas sekali maknanya disini bahwa orang tua kandung Engeline tidak memiliki perencanaan yang matang mengenai kehidupan membangun keluarga termasuk dalam hal memiliki anak. Lebih jauh lagi bahwa (kuat dugaan saya) orang tua kandung Engeline menikah di usia muda di bawah 20 tahun. Perhitungan saya ialah usia Hamidah yang saat ini masih berusia 28 tahun yang jika dikurangi oleh usia Engeline (8 Tahun) maka didapat pada usia 20 tahun-lah Hamidah melahirkan Engeline. Usia yang 20 tahun itu lalu dikurangi 2 tahun karena Hamidah telah memiliki seorang anak sebelum melahirkan Engeline. Sehingga asumsinya ialah Hamidah masih berusia 18 tahun ketika menikah dengan ayah kandung Engeline, Rosidik.

Selanjutnya saya juga tak muter-muter dan ini memang telah mengendap sekian lama pasca pemberitaan penemuan jenazah Engeline. Seandainya kesulitan finansial, maka tak usahlah memiliki banyak anak. Kalaupun bermaksud menambah anak, idealnya dipikirkan secara matang-matang. Sekalian buatlah perencanaan mulai dari biaya persalinan, biaya hidup anak dan lain-lain sampai anak dari orang tua yang bersangkutan dewasa dan bisa mandiri menafkahi dirinya sendiri. Jangan dilupakan juga bahwa kesehatan ibu harus juga menjadi prioritas. Asupan gizi atau nutrisi yang masuk ke tubuh ibu, apabila baik dan mencukupi – yakinlah bayi yang dilahirkan akan dalam kondisi sehat dan normal.

Gagalnya program KB ?

Apa yang terjadi pada kasus Engeline ini mengingatkan kita pada program Keluarga Berencana (KB) yang dulu sekali pernah digiatkan oleh pemerintah kita. Publik mengetahui bahwa program KB merupakan produk dari masa Orde Baru. Tidak juga karena berdasarkan sejarahnya yang dikutip dari depkes.go.id, program KB telah dimulai sejak tahun 1957 (masa orde lama) namun masih menjadi urusan kesehatan dan belum menjadi program kependudukan. Baru di tahun 1970, tepatnya tanggal 29 Juni, KB ditetapkan sebagai program pemerintah bersamaan dengan dibentuknya Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Harus diakui, masih ada stigmanisasi negatif terhadap program KB selama ini dalam masyarakat kita, misalnya sasaran KB hanyalah wanita dan KB dapat memandulkan peserta program tersebut. Padahal bila kita mau memahami dulu apa definisi dan tujuan program KB di Indonesia, stigma negatif tadi dapat dikikis. Dalam website kebidanan.org, ada tiga definisi dari KB. Definisi pertama, KB adalah upaya peningkatan kepedulian masyarakat dalam mewujudkan keluarga kecil yang bahagia sejahtera (KB versi UU No. 10/ 1992). Definisi kedua, KB (family Planning Planned Parenthood) yakni suatu usaha untuk menjarangkan atau merencanakan jumlah dan jarak kehamilan dengan kontrasepsi. Dan definisi ketiga dari WHO (Expert Committee, 1970), KB merupakan tindakan yang membantu individu atau pasien untuk mendapatkan obyektif-obyektif tertentu, menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur internal di antara kehamilan dan menentukan jumlah anak dalam keluarga.

Sementara tujuan umum dari KB yakni membentuk keluarga kecil yang sesuai dengan kekuatan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara pengaturan kelahiran anak, agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa baru-baru ini pernah mengungkap kisaran angka anak terlantar di Indonesia. Waktu itu saat sedang hebohnya kasus penelantaran anak di Cibubur. Kepada media ia mengatakan ada 4,1 juta anak terlantar di Indonesia (detik.com, 15/5/2015). Angka yang disebut-sebut oleh Mensos tadi terkategorikan mencenggangkan. Mengingat pula bahwa anak-anak terlantar itulah generasi penerus bangsa kita. Namun angka yang disebut oleh mensos tadi kemungkinan jauh lebih besar lagi jika kita turun langsung ke lapangan dan dugaan kuat dari saya ini – dapat menjadi valid jika kita mengamati jumlah anak-anak berkeliaran di penjuru kota.

Salah satu contoh nyata dari hal ini dapat saya lihat betapa banyaknya anak usia SD dan malah TK berkeliaran setiap hari mulai sore atau maghrib dan entah hingga malam pukul berapa. Mereka menyambangi warung-warung tenda/ PKL yang mulai berjualan di sore hari di kota saya (Bandar Lampung). Entah bagaimana di kota lainnya, hanya dugaan saya ialah sama saja. Biasanya mereka mengemis atau mengamen dengan gitar kecilnya dan berpenampilan kucel – yang mungkin untuk mengiba supaya orang kasihan dan memberi uang kepada mereka.

Sampai disitu – dengan pemandangan begitu, saya jadi berpikir sekaligus bertanya-tanya, dimana gerangan orang tua dari anak-anak tadi ? Apakah para orang tuanya mengetahui apa yang dilakukan oleh anak-anak mereka ? Apakah anak-anak itu telah memberitahu apa yang mereka lakukan kepada orang tua mereka ? Pasalnya yang mereka lakukan itu adalah hal yang berbahaya; berkeliaran, mengemis dan acapkali juga harus menyeberang jalan yang berlalu lintas padat.

Selain itu, bagaimana reaksi dari orang tua mereka ketika mengetahui apa yang dilakukan oleh anak-anaknya itu ? Idealnya ialah melarang karena itu bukanlah ranah dari anak-anak itu. Akan tetapi saya curiga, jangan-jangan aksi mengemis atau mengamen yang dilakukan oleh anak-anak tadi justru atas suruhan ortunya sendiri. Secara logis, saya meyakini bahwa tak mungkin anak usia SD/ TK (5-12 tahun) punya inisiatif mengemis atau mengamen. Jadi kuat dugaan bila inisiatornya ialah ortu mereka. Kuat dugaan juga bila kondisi keluarga mereka ini tergolong kurang mampu atau ekonomi lemah dan ketika menikah, orang tua mereka berusia masih sangat muda.

Menjadi sungguh miris dimana orang tua yang seharusnya merawat, mendidik atau menafkahi anak-anaknya. Malah yang terjadi sebaliknya. Anak-anak tadi diterlantarkan lantaran ketidaksiapan orang tua mereka secara ekonomi (contohnya tidak siap dalam hal biaya persalinan anak yang baru dilahirkan tadi, seperti dalam kasus Engeline), edukasi dan sosial. Serta yang terpenting ialah kesiapan mental untuk menikah dan menjadi orang tua serta membesarkan anak. Seandainya para orang tua tadi mengikuti program KB yang mengatur perencanaan kehamilan dan jumlah anak. Pemandangan seperti anak-anak kecil yang mengemis atau mengamen tadi dapatlah dihindarkan. Anak-anak itu pun niscaya akan tumbuh menjadi generasi yang sehat dan teredukasi dengan baik. Engeline mengingatkan kita dan khususnya para orang tua yang hendak memiliki dan menambah anak (dalam hal ini). Anak bukanlah boneka yang bisa didandani lalu ketika bosan dibuang begitu saja. Anak adalah calon manusia dewasa, yang bernafas, memiliki kebutuhan dan selayaknya orang tua bertanggung jawab – wajiblah memenuhi kebutuhan hidup anak mereka sebaik-baiknya seumur usia hidupnya.

Tulisan ini juga bisa dibaca di blog: www.sycarita.blogspot.com

atau facebook Sycarita Karina Lin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun