Mohon tunggu...
Karina Lin
Karina Lin Mohon Tunggu... profesional -

Seorang manusia biasa yang suka menulis. Mencintai dan hidup untuk menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Edward Syah Pernong Pulang Kampung

28 Juni 2015   16:27 Diperbarui: 28 Juni 2015   16:27 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pergantian pucuk pimpinan suatu institusi atau lembaga (baik pemerintah ataupun swasta) biasanya diikuti oleh perombakan perangkatnya. Hal inilah yang terjadi pada Korps Bhayangkara Indonesia. Awal tahun 2015 ini – mereka sempat dilanda polemik mengenai penunjukkan pimpinannya yang baru. Kini enam bulan kemudian, pasca polemik mereda dan kapolri baru telah diangkat – perombakan terhadap susunan perangkat anak buah mereka dilakukan.

Mengutip Tajuk SKH Lampung Post (Senin, 8 Juni 2015), melalui telegram rahasia Kapolri Badrodin Haiti, sejumlah pejabat tinggi dan pejabat menengah dimutasikan. Termasuk Korps Bhayangkara Lampung. Pucuk pimpinan Polda Lampung yang sebelumnya dijabat oleh Brigjen Heru Winarko diestafetkan kepada Brigjen Edward Syah Pernong.

Dalam kalangan masyarakat Sai Bumi Ruwa Jurai ini, nama kapolda yang baru bukanlah asing. Dia merupakan putera asli daerah Lampung bahkan dalam adat merupakan raja dari Kepaksian Pak Sekala Brak di Lampung Barat. Karenanya dapat disebut juga jika serah terima jabatan (sertijab) kali ini terasa lebih istimewa. Sebab daerah kita, Lampung sai – akan dijaga oleh putra Lampung sendiri.

Menyandang status putra Lampung asli dan raja kerajaan adat – saya yakin masyarakat Lampung berharap besar dari Edward Syah Pernong dalam menjaga keamanan dan menekan angka kriminalitas di sini. Ini sebuah tantangan baginya: bisa atau tidak; mampu atau tidak mampu ? Cara atau pendekatan bagaimanakah yang akan diterapkan olehnya dalam menahkodai keamanan wilayah Lampung ?

Rawan Konflik dan Begal

Tentu bukan perkara mudah menjaga daerah seluas 35.367 kilometer persegi. Terlebih masyarakatnya heterogen atau majemuk. Mengutip tulisan Djadjat Sudjrajat dalam catatan penutupnya di buku Merajut Jurnalisme Damai di Lampung (AJI Bandar Lampung dan Indepth Publishing, 2012), menyebut dari penduduk (Lampung) sekitar 1 juta jiwa itu, etnis Lampung hanya 11,9%. Komposisi lengkapnya: etnis Jawa 61,02%, Sunda 13,2%, Banten 3,6%, Palembang 2,89%, Bali 1,62%, Minangkabau 0,84%, Ogan, Semendo dan etnis lainnya (2013).

Komposisi itu kemungkinan besar tidak berubah banyak saat ini; dan menyimak komposisi itu – semakin meyakinkan akan heterogenitas masyarakat di Ruwa Jurai tercinta ini. Secara positif, multietnis ini dapat memperkaya kelokalan budaya di daerah yang ada sehingga menjadi budaya yang khas dan unik; dan berkembang dan memperkuat keidentitasan daerah atau individu daerah yang bersangkutan.

Sedangkan secara negatif, multienis ini rawan menimbulkan gesekan-gesekan konflik yang dapat memicu antara lain kerusuhan atau aksi-aksi negatif plus anarkis lainnya.

Berita buruknya – berdasarkan amatan saya – di Lampung, kemultietnisan tadi lebih memberi efek negatif ketimbang positif. Termasuk sering konflik di Lampung terjadi. Intensitas konflik bisa kita telusuri dari masa-masa empat tahun terakhir ini. Hartoyo, sosiolog dari Universitas Lampung menyebut di tahun 2011-2012 konflik-konflik kekerasan terjadi beruntun di Lampung. Daerah-daerah kabupaten seperti Lampung Selatan, Lampung Timur, Mesuji; termasuk yang rawan konflik.

Masih menurutnya, konflik-konflik kekerasan yang terjadi itu termasuk kategori tsunami sosial karena getarannya termasuk sangat kuat pada lingkup lokal dan nasional bahkan menjadi perhatian dunia internasional (Mengapa Kita Berkonflik ?, Indepth Publishing, 2014). Ini memang benar, mengingat misalnya konflik di Balinuraga, Way Napal pada medio akhir Oktober-awal November 2012 lalu. Eskalasi konflik yang bermula dari hal sederhana bertransformasi menjadi skala besar dan bernuansa ke-SARA-an. Warga desa yang berkonflik sampai diungsikan ke Sekolah Polisi Negara (SPN) di Kemiling, Bandar Lampung.

Saya, sekali mengunjungi tempat pengungsian di SPN tersebut dan tak terelakkan timbul rasa kasihan, pedih dan prihatin – baik terhadap konflik yang kala itu membara sekaligus kepada rerata warga yang sebenarnya tidak bersangkut paut alias tak tahu apa-apa.

Walau akhirnya penyelesaian konflik Balinuraga dapat dicapai secara win-win solution. Realitasnya, Lampung ke depannya (pasca 2012) masih terus dilanda konflik. Bahkan ini yang menarik, penyebab konfliknya lantaran begal !

Saya teringat ucapan eks Kapolda Lampung Brigjen Heru Winarko yang saya baca di media online Lampost.co. Katanya dia malu, tiap rapat dengan pejabat-pejabat tinggi di pusat, selalu ditanyain soal begal dari Lampung. Ya, saya sendiri juga malu. Saya sebagai warga Lampung – sudah pasti berharap yang baik-baik saja yang kesohor ke luar daerah (nasional). Kayak kerajinan tapis, sulam usus, ukiran Lampung; dan jika kuliner antara lain keripik Lampung, sambal Lampung, tempoyak (walau saya nggak suka), pidang, dan lain-lain. Muli Mekhanai yang cantik-cantik dan ganteng-ganteng.

Tapi apa daya, begal-begal itu tak dapat dibendung kesohorannya hingga keluar Lampung. Setiap kali diberitakan di media nasional mengenai kriminalitas pembegalan (seringnya di Jakarta) – selalu lajutannya “begal Lampung nan sadis dan ganas !”

Selain berkibar ke luar daerah, di dalam daerah Lampung sendiri – jangan ditanya lagi gimana luar biasanya begal-begal tadi menguasai jalanan lintas provinsi atau kabupaten. Tiada hari tanpa libur pembegalan. Saya sendiri sudah ketakutan sendiri kalau mau travelling ke kabupaten. Begal-lah yang pertama-tama tersirat di kepala saya. Ujung-ujungnya, saking parno begal – saya enggak pernah atau jarang banget ke kabupaten. Padahal saya kepingin banget menikmati Kiluan yang indah, lumba-lumba liarnya yang menggemaskan, merasai udara laut yang segar, menyentuh air lautnya yang kebiruan jernih, makan otak-otak dan baso ikan marlin yang nikmat, sedap sepuas-puasnya. Pupus yang indah-indah hanya karena begal !

Nah akhir-akhir ini malah begal di Lampung naik peringkat. Nampaknya mereka berharga sekali, sampai-sampai dibelain sepenuh hati oleh warga tempat si begal berdomisili dan imbasnya mampu memicu konflik antar warga kampung. Contohnya seperti di Tanggamus. Pada medio Juli setahun yang lalu, terjadi keributan antarwarga disana dan semua keributan tadi berawal dari begal yang kepergok mencuri motor penduduk, lantas bersama-sama dipukuli oleh warga yang memergoki begal tersebut.

Penduduk pekon asal begal, tidak terima warganya dipukuli hingga mengalami luka berat; dan bisa diduga, akhirnya terjadilah penyerangan ke pekon yang telah menggebuki begal dari pekon sebelah hingga luka berat tadi (Kompas.com).

Saya yang membaca kronologis kejadiannya di media – dibikin planga-plongo saja. Penjahat kok dibelai-belain setengah mati – sampai rela berkorban nyawa ? Benar-benar luar biasa ! Nggak beda kayak ngebelain koruptor – yang sudah jelas terbukti bersalah tetapi masih ngotot atau ngeles tidak bersalah sambil mengajukan dalih lain. Misalnya si Ketua DPRD Bangkalan yang juga mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin itu.

Disinilah kita berada, Lampung memang tergolong tinggi angka kriminalitasnya dan turunannya. Hanya saja konflik/ kerusuhan dan begal ini yang menurut saya paling memerlukan perhatian penanganan serius.

Persuasif Budaya

Tentu bukan perkara mudah menjaga keamanan Lampung adem ayem dari kerusuhan/ konflik sosial, juga menekan angka kriminalitas begal. Namun kalau kita melihat background Kapolda Lampung yang baru, saya (kok) optimis bisa ya ?

Rekam jejak karir dari Brigjen Edward Syah Pernong tergolong cemerlang, ini yang saya baca dari ensiklopedia online wikipedia.org. Sebagai pejabat tinggi dari Polri, Edward Syah Pernong merupakan pengecualian. Dia bukanlah lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) melainkan lulusan Fakultas Hukum, UGM. Menariknya, ia sangat berpengalaman di bidang reserse. Brigjen Edward pernah ditempatkan di Polda Metro Jaya lalu menjadi Kasatreserse Polres Metro Bekasi pada 1992. Selama menapaki karirnya di bidang reserse ini, ia mengungkap banyak tindak kejahatan, antara lain membongkar kasus perampokan dan pemerkosaan terhadap Keluarga Acan di Bekasi (1995), membongkar kasus sodomi disertai pembunuhan terhadap 12 anak yang dilakukan oleh Siswanto alias Robot Gedek di Jakarta dan sekitar Jawa (1997). Bahkan ia berhasil menjebloskan preman Tanah Abang, Hercules beserta anak buahnya ke penjara.

Ketika berhasil membongkar Kasus Keluarga Acan, Presiden Soeharto lantas memanggilnya ke Istana dan menganugerahkannya Lencana Adhi Satya Bhakti.

Namun, sekali lagi – Brigjen Edward memiliki nilai plus. Ia lebih dari sekedar putra asli Lampung. Ia merupakan Raja. Tepatnya Raja Kerajaan Adat dari Kepaksian Sekala Brak Yang Dipertuan ke XXIII. Jadi beliau sejatinya bisa menitikberatkan upaya menjaga keamanan Lampung melalui persuasi budaya kelampung. Entah bagaimana cara yang akan ditempuh olehnya nanti dalam persuasi budaya kelampungan guna menjaga keamanan. Hanya sedikit usulan, bisa saja para (calon) personel Korps Bhayangkara Lampung dibekali atau diajarkan pengetahuan mengenai kelampungan pada saat mereka menuntut ilmu kepolisian atau ketika telah lulus pun, materi ini tetap disosialisasikan kepada para personel itu.

Udo Z. Karzi, budayawan, sastrawan cum jurnalis Lampung, sering sekali menulis artikel kelampungan yang temanya secara spesifik pada falsafah hidup orang Lampung; piil pesenggiri, juluk adok, nemui nyimah, nengah nyapur, sakai sambaian. Selain lima ini, masih ada versi lainnya dari falsafah atau pedoman hidup orang Lampung.

Falsafah-falsafah ini, dalam perspektif saya dapat dan justru ideal sekali bilamana dikombinasikan dalam bagian persuasi budaya guna menjaga keamanan daerah kita bersama. Sungguh indah dan menenangkan hati membayangkan Lampung yang bebas dari konflik dan begal. Kondisi seperti itu, saya yakin berefek positif bagi pertumbuhan daerah, terutama ekonominya dan kualitas masyarakat.

Harapan yang tidak muluk kepada Kapolda Lampung yang baru, Brigjen Edward Syah Pernong. Tak lupa, terima kasih kepada Brigjen Heru Winarko yang telah menjaga Lampung dalam tiga tahun ini. Selamat bertugas dan semoga amanah selalu bagi keduanya. (Tulisan ini dimuat dalam SKH Lampung Post edisi Kamis, 18 Juni 2015)

Tulisan juga bisa dibaca di blog www.sycarita.blogspot.com

Atau Facebook Sycarita Karina Lin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun