Mohon tunggu...
Karina Lin
Karina Lin Mohon Tunggu... profesional -

Seorang manusia biasa yang suka menulis. Mencintai dan hidup untuk menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bandar Lampung Menjadi Kota Cerdas dan Mandiri, Mungkinkah?

28 Juni 2015   13:03 Diperbarui: 28 Juni 2015   13:48 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langkah lain untuk mengurangi kemacetan kota, dilakukan pula melalui proyek Bus Rapid Transit (BRT). Bus yang dominan berwarna hijau muda berkelir corak tapis Lampung ini diujicobakan pada November 2011 dan resmi beroperasi pada Januari 2012. Pada awal beroperasinya, BRT memiliki trayek yang banyak (kira-kira 10 trayek) dan armada busnya mencapai 250 unit.

Tetapi dalam perjalanannya, BRT mengalami banyak kendala – khususnya dalam pengelolaan finansial. Dalam tahun 2012 hingga awal 2014, telah beberapa kali terjadi pemogokan para karyawan BRT. Pemogokan ini dipicu oleh gaji mereka yang belum dibayarkan oleh manajemen BRT. Sebagaimana diketahui, BRT menganut sistem patungan swasta murni dalam operasionalnya. Tetapi pemkot sebagai regulatornya. Sistem swasta murni ini awalnya digadang-gadang sekali sebagai konsep yang berbeda. Kenyataannya sistem swasta murni yang diterapkan dalam operasional BRT, malah menjadi bumerang. Ada kalanya atau sering satu bus sepi penumpang dan trayek-trayek yang telah dibuat, tidak mampu menjaring penumpang seperti yang ditargetkan.

Imbasnya, pemasukan BRT tidak stabil dan inilah salah satu penyebab keterlambatan pembayaran gaji. Belum lagi pihak BRT harus melunasi hutang karena armada bus yang mereka ambil dari diler – jumlahnya banyak sekali.

 

Menuju Kota Mandiri dan Cerdas

Blog jurnalisme warga – Kompasiana – di beberapa bulan lalu pernah mengangkat tema soal kota cerdas di Indonesia. Disebutkan bahwa ukuran yang baik adalah kota yang mampu memberikan kenyamanan bagi penduduknya, kota tersebut wajib memiliki sirkulasi yang baik yang artinya penghuni kota dapat berpindah tempat menggunakan transportasi publik yang baik tanpa hambatan. Proses sanitasi ataupun drainase menjadi ukuran penting seberapa jauh sebuah kota bisa dikategorikan sebagai kota yang baik atau kota yang cerdas bagi penduduknya.

Lebih lanjut, ukuran kota cerdas adalah kota yang menggunakan teknologi digital untuk menunjang operasionalnya dan diharapkan bisa membantu perkembangan kota secara signifikan. Ada tiga faktor yang menjadi penilaian kota yang cerdas; cerdas secara ekonomi, cerdas secara sosial dan cerdas secara lingkungan (Kompasiana.com). Bercermin dari tiga indikator kota cerdas tadi – saya yakin bahwa kita sebagai warga Bandar Lampung bisa menilai sendiri apakah kota kita termasuk sebagai kota cerdas atau tidak ? Secara pribadi, saya mengatakan tidak karena memang faktanya demikian. Indikator sebuah kota cerdas masih belum dimiliki oleh Kota Bandar Lampung.

Saya – dengan mendasarkan pada realitas – memandang pemerintahan di kota tapis berseri ini bukanlah part of solution. Sebaliknya part of problem dan berlaku tak hanya untuk pemerintahan yang sekarang. Memang ada beberapa program yang dalam penilaian saya cukup baik – telah diterapkan selama kepala daerah yang sekarang bersama jajarannya menjabat. Misalnya membuat program kerjasama dengan rumah sakit di Bandar Lampung dalam hal layanan persalinan gratis; program biling (bina lingkungan) yang ditujukan untuk pembiayaan sekolah siswa tak mampu namun berrestasi (walau dari info yang beredar, program biling ini juga diselewengkan oleh oknum tertentu), pihak pemkot juga konsisten dalam menjaga kebersihan dan keindahan Kota Bandar Lampung, dan lain-lain.

Hanya saja untuk persoalan-persoalan yang lingkupnya lebih besar (tiga yang sebelumnya telah saya sebutkan sebelumnya: listrik, transportasi dan kemacetan) – pemerintah kita masih belum mampu. Sebenarnya jika saja pemerintah setempat kreatif dan (terutama) tidak antikritik – bisa menyiasati problem-problem yang menghimpit kota kita. Ketimbang ribut, saling lempar tanggung jawab atau kesalahan (yang menimbulkan persepsi negatif kinerja dari dua perwakilan pemerintah) – pemkot bersama instansi yang terkait bisa membuat kebijakan rumah harus berpanel solar sehingga listrik warga dapat dipasok mandiri tanpa sepenuhnya bergantung pada PLN. Sudah jadi rahasia umum bila PLN Lampung memang selalu kekurangan pasokan listrik dan mereka selama ini dibantu oleh PLN dari provinsi tetangga kita (Palembang).

Pemkot bisa saja bekerjasama dengan pihak Universitas Lampung (Unila) karena pernah saya baca di sebuah media cetak lokal, ada dosen PTN itu yang berhasil mengembangkan panel solar penangkap energi matahari.

Begitupun guna membatasi kemacetan dan pembenahan transportasi publik Kota Bandar Lampung. Bisa saja pemkot bersama instansi samsat menerapkan pajak progresif bagi pemilik kendaraan pribadi yang memiliki mobil atau motor lebih dari satu unit. Sedangkan bagi pengguna angkutan umum – dalam hal ini BRT – diberikan subsidi sehingga tarifnya murah atau terjangkau di kantong masyarakat Kota Bandar Lampung. BRT pun harus dibenahi untuk kemudian dikelola secara serius dan profesional – khususnya operasional para awak BRT. Cukup sering saya mengalami pemandangan tidak menyenangkan ketika menumpang BRT. Ada kalanya sopir BRT menyetir sambil merokok, pakaiannya tidak rapih, bau dan bersandal jepit, ugal-ugalan pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun