Seringkali, sebuah film dokumenter mampu membuka mata kita (dan wawasan kita terhadap suatu peristiwa, dan memperbanyak kehadiran film-film seperti itu adalah tujuan dari Screen Below The Wind Festival 2012. Contohnya dua film dari Malaysia berikut ini. Mungkin masih banyak Kompasianers yang ingat tentang perseteruan antara Indonesia dengan negara tetangga kita, Malaysia. Utamanya soal budaya, di mana negeri Jiran tersebut beberapa kali mengklaim tarian, lagu, dan kesenian yang sudah lama kita banggakan. Ada banyak budayawan mencoba menengahi hal ini, mencoba mengingatkan agar kita tidak terpancing emosi atas sesuatu yang kurang kita pahami. Indonesia dan Malaysia adalah negara serumpun, sehingga wajar jika keduanya memiliki budaya (kesenian) yang mirip. Oleh karenanya tindakan mengklaim secara sepihak tentu saja adalah contoh dari keegoisan bangsa itu sendiri; baik jika dilakukan oleh Malaysia maupun Indonesia.
Film dokumenter berjudul "Wayang Merindukan Bayang" seolah menegaskan apa yang disebutkan oleh para sejarahwan dan budayawan soal sengketa seni Indonesia-Malaysia. Film yang diputar siang nanti pada
festival Screen Below The Wind ini memang tidak membahas konflik tersebut. Tapi setidaknya sejarah panjang hadirnya kesenian 'Wayang Kulit' di Malaysia (yang jadi kisah inti film ini) membuktikan bahwa bukan hanya orang Jawa (Indonesia) saja yang berhak mengklaim sudah lama menikmati lakon dalam format bayangan. Film karya Khoo Eng Yow yang berdurasi sekitar 90 menit ini akan mencoba memaparkan Wayang Kulit di Malaysia yang telah menjadi korban dari kebijakan negara yang konservatif dan pengaruh kaum puritan di Kelantan Malaysia. Apa yang dulunya dipandang sebagai bentuk kesenian yang adi luhung sekarang dilihat sebagai ancaman terhadap nilai-nilai agama, meskipun ia sudah ada seiring dengan hadirnya Islam pada abad ke – 13. Wayang kulit sekarang terperangkap dalam konflik antara kesenian dan pemerintah.
Masalah politik Malaysia tidak hanya dibahas sampai situ saja oleh para sineas Malaysia. Ada lagi film dokumenter berikutnya yang berjudul "Malaysian Gods" karya Amir Muhamad. Bedanya adalah, film ini langsung mengangkat 'topik modern' alias yang belum lama terjadi. Pada bulan September 1998, Anwar Ibrahim dipecat dari jabatannya sebagai Wakil Perdana Menteri Malaysia. Pemecatan dan susulan hukuman yang dijatuhkan padanya atas tuduhan korupsi dan sodomi telah memicu gelombang protes di jalanjalan oleh kaum oposisi, atas nama “reformasi”. Malaysian Gods melihat pada sejumlah protes penting tersebut dengan menyajikan arsip footage wawancara orang-orang yang masih hidup, mengunjungi lokasi-lokasi demonstrasi sepuluh tahun kemudian. Seluruh wawancara dilakukan dalam bahasa Tamil, bahasa utama dari tiga suku mayoritas. Apa yang dikatakan warga saat ini mengenai kondisi dan harapan serta mimpi-mimpi mereka? Dan apakah para tokoh social politik Malaysia telah mengubah banyak hal setelahnya? Jika kita lihat dari sinopsisnya, "Malaysian Gods" layak kita jadikan sebagai cermin untuk merefleksikan kisah bangsa kita sendiri. Sejak gerakan reformasi bergulir dari tahun 1998 hingga sekarang, apa saja kemajuan yang berhasil kita raih? Atau jangan-jangan gerakan reformasi itu hanya membawa harapan utopis yang semu, padahal kita semakin menderita dengan situasi saat ini. Dua film di atas rencananya akan diputar pada festival Screen Below The Wind hari ini, pada pukul 13.00 - 16.30. Untuk info lebih lanjut seputar festival Screen Below The Wind bisa cek
jadwalnya di halaman ini. Atau bisa juga cek langsung websitenya di
http://screenbelowthewindfest.net juga facebooknya di
https://www.facebook.com/sbwfest *poster film "Wayang Rindukan Bayang" diambil dari blog
http://mamuvies.blogspot.com * ilustrasi film "Malaysian Gods" diambil dari situs
dahuangpictures.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Lyfe Selengkapnya