Saya muslim dan berkerudung. Saya belum pernah ke Israel. Saya hanya pernah sedikit akan berhubungan dengan orang Yahudi saat berada di Bangkok, thailand.
Saya selalu mendengar mereka adalah orang yang sangat keras kepala, sombong, cerdas dan menguasai dunia. Secara pribadi saya tidak pernah membatasi diri untuk berhubungan dengan etnis manapun. saya menghabiskan masa kecil sampai remaja di daerah mayoritas non muslim. Pengalaman ini membuat saya tidak bermasalah berhubungan dengan non muslim. Jadi, jika suatu saat saya bertemu dengan orang Yahudi, saya tidak menolak untuk berteman dengan mereka. Tapi, mungkin mereka yang tidak mau berteman dengan saya.
Saat berada di Bangkok, seperti umumnya muslim yang ke luar negri, kami sulit mencari makanan halal. Saat itu saya menginap di daerah Khaosan Road. Sekitar 300 meter dari sana ada restoran Yahudi. Saya tahunya setelah browsing di Internet. Saya memilih restoran ini, karena Muslim diperbolehkan memakan binatang sembelihan orang Yahudi. Jadi, di sini makanannya halal. Saat itu, sudah pk 11.00 siang, kami berdua sudah kelaparan. Dari semalam belum makan, apalagi aktivitas jalan-jalan sangat tinggi, menambah rasa lapar.
Ada sih warung muslim jaraknya sekitar 1 km dari situ. Tapi dengan backpack di punggung, males juga jalan sekilo. Akhirnya diputuskan makan di restoran Yahudi itu aja.
Jalannya, hanya berjarak dua jalan dari khaosan road. Kalau sudah ketemu jalannya, kita akan segera tahu kalau restoran itu adalah restoran Yahudi. Berada di salah satu deretan pertokoan dan restoran. Ukuran restorannya sama saja dengan ruko di sekitarnya. 2 lantai dan Lebar sekitar 5 m. Bedanya, khusus restoran ini, di bagian depan ada pagar besi dan dijaga polisi berseragam (Cuma toko/restoran ini yang di jaga polisi resmi). Pak polisinya duduk berjaga di dalam rumah jaga ukuran kecil di sudut pagarnya.
Bentuk pagarnya biasa aja. Yang bikin istimewa adalah pagar ini menutupi trotoar. Jadi kalau orang jalan di trotoarnya, nggak bisa jalan lurus langsung, harus turun ke jalan aspal dulu, melewati restoran ini, baru naik ke trotoar lagi. Kok, pemerintah atau toko sekitarnya nggak protes ya ? itu kan trotoar, jalan umum. Kok boleh dipagari.
Hal lain yang membuat kita tidak akan salah adalah orang-orang yang berada di dalam restoran itu. Para prianya mengenakan tutup kepala khas Yahudi. Tutup kepala warna putih, bundar kecil, yang dipakai di tengah kepala.
Setelah yakin inilah restoran yang dituju, kami memutuskan untuk masuk. Begitu kami akan mendorong pintu pagar (rupanya pintu pagar selalu dalam keadaan tertutup), pak polisinya langsung bereaksi. Masih di dalam rumah jaganya, dia berdiri. Dengan wajah sedikit garang, dia menggoyangkan tangan ke kanan kiri, tanda tidak boleh masuk. Saya memberi menunjuk ke dalam dan memberi tanda gerakan tangan seperti orang makan. Maksudnya mau bilang, saya mau makan.
Eh, dianya malah keluar rumah jaga, lalu berdiri di depan saya. Mengusir kami, dengan gerakan tangan seperti kalau kita mengusir ayam. Jelaslah, kami tidak boleh masuk. Dengan beranggapan, dia tidak paham maksud kami. Saya ulangi lagi gerakan tangan, seperti orang makan sambil pegang dompet. Maksudnya mau beli makan.
Pak polisi ini dengan sikap yang tambah garang, berjalan maju, masih dengan gerakan mengusir ayam tadi, menutup gerbang, sambil bicara (bicaranya apa ? nggak tahu). Weleh…. Weleh…. Sudah jelas, tertutup harapan kami mau makan di situ. Pak, kita ini orang kelaparan. Cuma mau makan. Makannya beli loh. Nggak minta.
Rupanya politik mengikuti kemanapun kita pergi. Termasuk urusan sepele kayak gini.
Ya udahlah, jalan 1 km lagi, ke warung roti mataba. Warung muslim terdekat lainnya. Ini bukan menjual roti lho. Ini warung nasi. alhamdulillah bisa makan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H