Mohon tunggu...
Lingkar Hijau Tebo
Lingkar Hijau Tebo Mohon Tunggu... Penulis - Penggiat lingkungan dan budaya /Seppayung hijau

Sepriadi, Hoby Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Peran Intlektual Organik dalam Medsos Nuansa Pilkada

6 Oktober 2024   22:00 Diperbarui: 6 Oktober 2024   22:56 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kariktur medsos (bia https://www.margasari.desa.id/)

Pilkada, atau pemilihan kepala daerah, selalu menjadi moment yang penuh harapan sekaligus tantangan bagi masyarakat Indonesia. Di tengah hiruk-pikuk politik, peran intelektual organik sangat penting dalam membentuk kesadaran dan partisipasi masyarakat. Namun, dalam konteks ini, kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan pahit yang sering kali menyelimuti proses demokrasi kita.

Dalam bermensos selama Pilkada Intelektual organik memiliki peran penting sebagai pembentuk opini publik, penyampai informasi yang akurat, dan penghubung antara calon pemimpin dan rakyat. Mereka mampu menggunakan media sosial untuk mengedukasi masyarakat, memerangi hoaks, dan mengkritik kebijakan secara konstruktif. Meskipun mereka menghadapi tantangan seperti polarisasi, serangan balik, dan persaingan dalam banjir informasi, peran mereka tetap esensial dalam menciptakan demokrasi yang lebih sehat dan partisipatif.

Antonio Gramsci, seorang pemikir Marxis Italia. Menurut Gramsci, intelektual organik adalah individu yang berfungsi sebagai perwakilan intelektual dari kelas sosial tertentu. Mereka tidak hanya berpikir secara teoretis, tetapi juga terlibat secara aktif dalam kehidupan sehari-hari kelas atau kelompok yang mereka wakili. Mereka memahami realitas sosial dan ekonomi serta mampu mendorong perubahan dari dalam dengan berinteraksi langsung dengan kelompok mereka.

Sehingga Proses Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah), terutama di era digital dan media sosial (bermensos), intelektual organik memainkan peran penting dalam membentuk wacana dan opini publik. Mereka bisa menjadi jembatan antara rakyat dan calon pemimpin, menggunakan platform digital untuk menyampaikan gagasan, kritik, dan informasi yang berkaitan dengan Pilkada. Berikut adalah bagaimana intelektual organik berperan dalam media sosial (bermensos) selama Pilkada:

Peran Intelektual Organik di Media Sosial dalam Nuansa Pilkada

  • Pembentuk Opini Publik: Intelektual organik menggunakan media sosial untuk membentuk opini publik terkait calon-calon yang berlaga dalam Pilkada. Mereka dapat memberikan analisis kritis tentang kebijakan calon, rekam jejak politik, serta program-program yang ditawarkan. Karena mereka berasal dari dalam komunitas, mereka dianggap memahami kebutuhan dan realitas masyarakat, dan analisis mereka sering diterima sebagai pandangan yang sah.

  Contoh: Melalui platform seperti Twitter, Facebook, atau Instagram, intelektual organik dapat membagikan ulasan mendalam terkait visi-misi kandidat. memberikan penilaian kritis tentang bagaimana kebijakan tertentu akan mempengaruhi masyarakat bawah, atau membuka diskusi seputar isu lokal yang kurang terangkat di media mainstream.

  • Penghubung antara Kandidat dan Rakyat: Intelektual organik sering kali berperan sebagai penghubung yang menjembatani komunikasi antara kandidat dan masyarakat. Mereka bisa mengartikulasikan aspirasi masyarakat dan mengungkapkannya melalui media sosial, sehingga kandidat bisa mendapatkan gambaran yang lebih baik tentang kebutuhan rakyatnya. Sebaliknya, mereka juga menjelaskan program-program kandidat dalam bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat luas.

 Contoh: Seorang intelektual organik yang aktif di media sosial dapat mengadakan diskusi atau tanya jawab terbuka dengan publik mengenai visi misi kandidat, mengadakan siaran langsung (live) di Instagram atau TikTok, atau mengomentari kebijakan calon untuk memastikan masyarakat memahami dampak nyata dari janji politik.

  • Melawan Misinformasi dan Hoaks: Pilkada sering kali menjadi ajang bagi penyebaran misinformasi dan hoaks. Intelektual organik dapat bertindak sebagai penyeimbang dengan menyediakan informasi yang akurat dan berbasis data. Mereka membongkar narasi palsu dan mendidik masyarakat tentang cara mengenali berita yang tidak benar.

 Contoh: Intelektual organik menggunakan media sosial untuk melakukan "fact-checking" dan mengedukasi masyarakat tentang berita palsu yang beredar. Mereka mungkin menulis thread di Twitter atau membuat konten edukatif di TikTok atau Instagram untuk membantah klaim-klaim yang tidak berdasar.

  • Aktivasi Partisipasi Politik: Salah satu misi intelektual organik adalah memobilisasi rakyat untuk lebih aktif terlibat dalam proses politik. Di media sosial, mereka bisa mengajak pemilih muda atau kelompok marginal yang sebelumnya kurang berpartisipasi dalam Pilkada untuk mulai memperhatikan politik lokal. Dengan konten yang interaktif dan kreatif, mereka dapat menarik perhatian kelompok yang biasanya apatis terhadap politik.

Contoh: Mereka membuat kampanye kreatif di media sosial seperti menggunakan meme, video pendek, atau infografis untuk menjelaskan pentingnya berpartisipasi dalam Pilkada. Mereka juga bisa memanfaatkan tren dan format populer seperti TikTok challenge atau Instagram story untuk meningkatkan partisipasi politik kaum muda.

  • Pengkritik Kebijakan: Intelektual organik menggunakan media sosial untuk mengkritik kebijakan kandidat yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat. Mereka tidak segan-segan menyoroti inkonsistensi, janji yang tidak realistis, atau kebijakan yang berpotensi merugikan kelompok tertentu. Melalui analisis kritis ini, mereka memandu pemilih untuk membuat keputusan yang lebih baik dan berdasarkan informasi.

 Contoh: Mereka mungkin mengadakan webinar di YouTube atau sesi diskusi di Clubhouse untuk membahas implikasi kebijakan tertentu, seperti dampak sosial ekonomi dari rencana pembangunan infrastruktur di daerah yang akan diusung oleh calonkepala daerah.

Kontra-Argumen dan Tantangan

Namun, ada juga tantangan yang dihadapi oleh intelektual organik dalam bermensos selama Pilkada:

  • Polarisasi dan Serangan Balik: Media sosial bisa menjadi ruang yang sangat terpolarisasi, terutama selama kampanye politik. Intelektual organik yang vokal sering kali menjadi target serangan balik dari pendukung kandidat tertentu yang merasa dirugikan oleh kritik yang mereka sampaikan. Ini bisa berupa serangan verbal di media sosial, cyberbullying, atau upaya delegitimasi melalui penyebaran hoaks.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun