Mohon tunggu...
Lingkaran Muda
Lingkaran Muda Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menanti Penobatan Jokowi "Bapak Maritim Indonesia" Laut Natuna dan Arafuru Jadi Ujian

21 Juni 2016   13:09 Diperbarui: 21 Juni 2016   13:22 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Munculnya ide dan gagasan visi pembangunan dengan mewujudkan negara poros maritim dunia seperti oase di padang pasir, di tengah pemikiran yang mandek terhadap terobosan pembangunan ekonomi yang berpihak ke darat. Poros maritim memunculkan harapan pengulangan kejayaan kerajaan masa lalu di Ibu Pertiwi. Untuk itu, wajib bagi kita semua mengawal gagasan Presiden Joko Widodo yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara poros maritim dunia, agar janji dan gagasan itu dapat kita wujudkan bersama. 

Sejarah kejayaan masa lalu dengan berbasis kekuatan maritim telah menggambarkan kepada kita tentang konsep besar agar bangsa ini maju dan kuat. Angin segar yang ditiupkan Jokowi ketika berkampanye semasa Pilpres 2014 lalu, ingin mewujudkan negara poros maritim yang digdaya. Belajar dari para pemimpin besar dengan kemauan yang kuat, begitu juga tidak ada yang sulit bagi Presiden Joko Widodo untuk menetapkan visi maritim sebagai "mainstream" pembangunan ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan. Tidak sulit pula menjabarkan visi tersebut dengan misi dan program kerja yang mendukung ide dan gagasan besar poros maritim. Ini semua tinggal diwujudkan jika ada kemauan politik yang kuat.

Dalam lima tahun ini, pemerintahan Joko Widodo menargetkan pembangunan 24 pelabuhan dan pembelian 609 kapal untuk pendukung program Tol Laut. Program Tol Laut akan menjadi bagian penting jalut maritim dunia. Dalam KTT Asia Timur 2014 di Myanmar lalu, Joko Widodo menyebutkan bahwa Indonesia akan menjadi Poros Maritim Dunia yang berkepentingan untuk ikut menentukan masa depan kawasan Pasifik dan Hindia. Sangat argumentatif, ketika Joko Widodo dalam pidato pertamanya sebagai presiden terpilih bertekad mengembalikan kejayaan bangsa di laut dan menjadikan Indonesia negara poros maritim dunia. Visi dan misi Presiden Joko Widodo jelas dilandasi dan bertolak dari budaya dan sejarah sebagai modal pembangunan negara maritim. Bangsa ini memang seharusnya lebih mencari ke konsep yang dianut Kerajaan Bahari daripada prinsip Kerajaan Konsentris. Masih segar dalam ingatan kita, ketika seruan "Jalesveva Jayamahe" disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada saat pelantikannya sebagai Presiden RI di Gedung MPR, 20 Oktober 2014. Seruan itu yang dapat diartikan sebagai "Di Lautan Kita Jaya", menjadi pegangan Presiden Joko Widodo hingga kini.

Kini kabarnya Presiden Joko Widodo akan diberi gelar "Bapak Maritim Indonesia". Presiden akan diberikan gelar tersebut karena dianggap memiliki perhatian besar pada sektor kemaritiman di Tanah Air. Tidak sembarangan, gelar ini diberikan dari para pelaku kemaritiman di Tanah Air. Terlebih, karena Presiden Joko Widodo memiliki Visi Nawacita yang bercita-cita menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. 

Penghargaan ini akan diserahkan bersamaan dengan Perayaan Hari Maritim Dunia pada 29 September mendatang, yang di Indonesia perayaan akan digelar di Politeknik Maritim Negeri Indonesia, di Semarang, Jawa Tengah. Polimarin (Politeknik Maritim Negeri Indonesia) saat ini mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan 11 Sertifikat Kelautan tingkat Internasional bagi pelaut di bawah payung International Maritime Organization (IMO), dan menjalin kerja sama luar negeri dengan Jerman dan beberapa lembaga serta universitas maritim internasional.

Polimarin berinisiatif memberikan penghargaan dengan menobatkan Presiden Joko Widodo sebagai Bapak Maritim Indonesia. Rencana pemberian penghargaan itu didasari atas jasa Presiden yang telah mencanangkan bahwa Indonesia merupakan poros maritim dunia. Pemberian gelar adalah bentuk apresiasi kepada seseorang dalam bidang tertentu. Kini giliran Presiden Joko Widodo akan memperoleh gelar dari Indonesia. Sulit untuk menampik alasan penobatan tersebut, karena program-program Presiden Joko Widodo dinilai lebih menitikberatkan untuk menguatkan maritim di Indinesia sebagaimana tercermin dalam Nawacita. 

Presiden tampak jelas memiliki kecerdasan geografis Indinesia yang sebagian besar adalah lautan dengan segala potensi dan permasalahannya. Joko Widodo juga terlihat mempunyai kesadaran akan kenyataan bahwa selama ini potensi ekonomi di laut seakan disepelekan dan tidak dilirik apalagi dimanfaatkan. Hal tersebut karena visi pemimpin Indonesia selama ini lebih fokus ke Kontinental sehingga kebijakan, dukungan anggaran dan politik di sektor maritim tidak terjadi. Laut yang dimiliki oleh Indonesia mencapai 5,8 juta km2. Dari jumlah tersebut 2,7 juta km2 merupakan wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) yang mempunyai sumber daya alam yang melimpah dan belum dimanfaatkan secara maksimal. Wilayah laut Indonesia juga diperkaya dengan jumlah pulau sekitar 17.500 pulau.

Dalam rapat terbatas kabinet kerja yang membahas tentang kebijakan pembangunan kelautan di Kantor Presiden, Selasa (15/6/2016), Presiden mengungkapkan kepada para anggota kabinetnya, bahwa saat ini ialah saat di mana seharusnya pemerintah mempercepat pembangunan di lautan Indonesia, karena Indonesia yang 70 %, 2/3 bagian wilayahnya berupa lautan akan menjadi sebuah negara besar bila mampu menjaga dan memanfaatkan potensi kelautan yang sangat besar. Menurut Presiden, Jepang mampu menyumbang 48,5% dari PDB nya atau setara  dengan USD 17.500 miliar hanya dari sektor ekonomi kelautannya. 

Indonesia dengan luas wilayah lautnya yang mencapai 70% kontribusi di bidang kelautan terhadap PDB nasional masih di bawah 30%. Potensi ekonomi sektor kelautan di Indonesia adalah USD 1,2 Triliun per tahun dan diperkirakan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 40 juta orang. Tantangan dan potensi ancaman bagi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo saat ini adalah memelihara dan menjaga teritorial maritim beserta seluruh kekayaan lautnya dari incaran negara-negara asing. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti telah berulang kali menyerukan dan mengingatkan, banyak kapal asing mengincar perairan Indonesia misalnya karena kandungan ikan yang melimpah, 60 % tuna dunia berasal dari perairan laut Indonesia.

Potensi kemaritiman Indonesia merupakan senjata Indonesia di masa depan yang dapat meningkatkan perekonomian, memperkaya kebudayaan, dan mengeksplorasi ilmu lebih dalam lagi terkait kepentingan kemaritiman Indonesia bahkan dunia. Untuk menjaga potensi maritim Indonesia yang kaya dibutuhkan pula kedaulatan maritim. Hal ini didasari dengan banyaknya sengketa wilayah laut Indonesia dengan negara tetangga. Para negara tetangga ini tergiur dengan apa yang terkandung dalam lautan Indonesia. Indonesia membutuhkan kekuatan politik dan pertahanan yang berani menghalau kekuatan asing. Batas wilayah negara harus dijaga melalui teknologi modern dan peralatan tangguh. Ocean Leadership dan Ocean Policy akan dapat menjaga kedaulatan bangsa dengan terwujudnya visi maritim yang hebat, serta kemampuan diplomasi yang tangguh. 

Sebagai negara kepulauan, integritas wilayah termasuk batas maritim dan isu kelautan harus menjadi bagian politik luar negeri dan diplomasi Indonesia.Rivalitas di Laut China Selatan patut dicermati dan diwaspadai, karena mulai bergeser dari klaim teritorial ke sengketa berebut sumber daya alam. Bukan hanya minyak dan gas yang menjadi pangkal sengketa, tetapi ikan dan hasil laut lainnya. Indonesia kerap mengecap sengketa ketika kapal pengawas perikanan berusaha menamgkap kapal nelayan China di perairan Natuna dan Arafuru. Namun upaya tersebut sering kandas lantaran kehadiran Kapal Penjaga Pantai China. 

Beberapa pakar meyakini China sedang menggunakan kapal nelayannya yang besar dan kian agresif sebagai senjata geopolitis buat mengintimidasi negara di kawasan. Nelayan China kini menikmati dukungan penuh negara untuk menjelajah Laut China Selatan dengan dikawal kapal pasukan penjaga pantai China. Kepulauan Natuna adalah gerbang utama RI di perairan LCS, dan pemerintah China mengklaim perairan Natuna sebagai wilayah "Historical Fishing Ground" milik China. 

Adalah Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti, jauh dari rasa inferior, mengancam akan membawa China ke Mahkamah Internasional menyusul protes Indonesia atas langkah Kapal Penjaga Pantai China di laut Natuna beberapa waktu lalu. Perairan Natuna yang terletak tidak jauh dari kawasan Selat Malaka adalah kawasan rawan perbatasan. Dengan demikian maka di Selat Malaka, seharusnya dijaga sebuah kekuatan laut yang mumpuni, yang mampu menjaga kedaulatan negara di laut. 

Gebrakan yang dilakukan oleh Menteri Susi dalam usahanya akhir-akhir ini untuk membasmi kapal-kapal pencuri ikan, antara lain dengan menengglamkam kapal pencuri ikan yang memasuki wilayah teritorial Indonesia sebenarnya merupakan upaya yang utuh dari penegakan kedaulatan negara di laut. Kinerja Menteri Susi dan jajarannya menunjukkan sebagai sosok dengan postur yang berdiri paling depan dalam jajaran garda penjaga kedaulatan negara di laut.

Presiden Joko Widodo masih terus diuji oleh berbagai insiden di wilayah maritim Indonesia yang mempertaruhkan harga diri bangsa dalam menjaga kedaulatannya. Terkait dengan insiden di perairan Natuna dengan kapal nelayan China yang dikawal pejaga pantai  China, Presiden menegaskan sikapnya agar seluruh jajarannya untuk terus mempertahankan kedaulatan wilayah Indonesia. 

Sudah sepatutnya Indonesia mempertahankan Zona Ekonomi Eksklusifnya sesuai hukum Internasional, Indonesia punya kedaulatan atas kekayaan alamnya. Natuna adalah wilayah kedaulatan Indonesia, dan karenanya menurut hukum, Indonesia berhak atasnya. Kemarahan Indonesia atas China soak Natuna bukanlah hal baru. Ketegangan kedua negara di wilayah itu meningkat sejak tahun 2014. Ketika China memasukkan sebagian perairan Natuna di Laut China Selatan ke dalam peta teritorialnya yang dikenal dengan sebutan "Sembilan Garis Putus-Putus" atau " Nine-Dashed Line".

Kita semua berharap, agar ke depan nanti Presiden Joko Widodo semakin tegas dalam menjaga dan melindungi sumber daya yang terkandung di Laut Natuna dan Arafuru. Pihak asing yang melanggar kedaulatan harus ditindak tegas. Sebagaimana yang ditegaskan Menteri Perikanan Susi, bahwa Laut Arafuru dan Natuna bukan milik kapal-kapal Thailand, Tiongkok, Vietnam, tetapi milik kapal-kapal Indonesia. Laut Arafuru berada di Samudra Pasifik antara Australia dan Papua, sedangkan laut Natuna di pesisir barat Kalimantan yang berhadapan dengan Laut China Selatan. Insiden terakhir Jumat lalu (17/6/2016), dimana kapal perang TNI-AL melepaskan tembakan peringatan kepada 12 kapal asing pencuri ikan di perairan Natuna, menunjukkan bahwa Tiongkok sedang menjajal kewibawaan negara dalam mengawal wilayah kedaulatan maritimnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun