Mohon tunggu...
lingkan bimoro
lingkan bimoro Mohon Tunggu... KOAS -

Hanya dek koas yang berusaha memenuhi harapan orang tua. Suka teater, membaca, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rumput Tetangga (Selalu) Lebih Hijau

7 Desember 2015   23:04 Diperbarui: 7 Desember 2015   23:15 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Iri. Adalah sifat saya yang paling sulit saya ubah. Saya selalu memandang keadaan orang lain lebih baik dari pada saya, dan hal itu membuat saya menyepelekan masalah dan penderitaan orang lain. Hasilnya? Saya menjadi orang paling cuek dan apatis yang mungkin pernah hidup di dunia ini.

Kisahnya dimulai ketika ibu saya didiagnosis kanker oleh dokter. Stadiumnya gak tanggung-tanggung. Stadium 4. Diagnosis itu adalah pukulan terbesar bagi keluarga saya, dan sejak saat itu, saya hanya melihat dunia sebagai hitam dan putih.

Saya terpuruk sekali. Ibu saya adalah orang yang paling dekat dan mengerti saya dari dahulu. Ibu adalah sahabat, teman, orang tua, sekaligus konselor bagi seluruh aspek hidup saya. Dan ketika orang yang paling saya andalkan sakit, pertahanan saya jebol. Saya marah kepada Tuhan, kepada keadaan, kepada semua orang.

Kalimat saya kalau  melihat orang lain kesusahan adalah begini: "Yah, aku tahu kamu tidak punya uang sekarang. Tapi setidaknya orang tua kamu sehat, kan? Gak sakit-sakitan kan? Masalah kamu tidak seberat masalah aku. Akulah yang paling menderita di dunia ini, jadi tolong, ngertiin lah.." atau "Yaelah.. Nilai kamu turun dikit kok mengeluh. Setidaknya orang tua kamu masih bisa jalan-jalan sama kamu setiap minggu. Masalah kamu gak ada apa-apanya". Padahal setiap orang punya masalah masing-masing dengan tingkat yang berbeda.

Tingkat stres saya bertambah dengan kehidupan perkuliahan saya yang mendekati TA. Karena saya masuk jurusan kedokteran, lulus sidang skripsi saja tidak cukup membuat saya menyandang gelar S. Ked di belakang nama. Saya harus menjalani ujian praktek, OSCE namanya, barulah saya boleh wisuda. Namun saya sungguh-sungguh tidak bisa fokus saat itu. Saya gagal di ujian OSCE, dan terancam mengulang satu semester lagi bila saya tidak mampu lulus di ujian perbaikan. 

Singkat cerita, akhirnya saya lulus tepat waktu. Saya harusnya bahagia, tapientah mengapa wisuda tidak membuat saya senang. Saya malas wisuda. Andai saja wisuda itu sifatnya tidak wajib, lebih baik saya tidak datang. Mending saya di rumah menemani ibu saya setiap hari, karena saya ingin di dekat dia sesering mungkin yang saya bisa. Saya tidak berhenti mengeluh mengenai ibu saya di dalam doa, dalam status sosial media, dalam obrolan dengan kekasih, sampai akhirnya, saya mengobrol dengan sahabat saya, Ana.

Ana adalah teman seangkatan saya yang paling dekat. Ia seperti ibu kedua dalam masa-masa kuliah di Jakarta, ketika meninggalkan keluarga di Bogor. Ana adalah orang yang tangguh, berpendirian kuat, dan mempunyai jalan hidup yang sebenarnya lebih sulit dari pada saya. Namun, saat itu saya tidak melihatnya.

Ketika saya mengatakan, "Ah, kayaknya aku tidak usah datang ke wisuda. Bagiku, wisuda itu tidak penting. Mamaku aja tidak datang. Untuk apa?" ia lalu tiba-tiba bangkit dan marah kepada saya, "Lingkan! Kamu tuh seharusnya bersyukur! Lihat keadaan kamu! Semua orang ingin berada di posisi kamu sekarang tau! Sudah lulus, tinggal wisuda!"

"Ya, iya. Tapi kalo mereka tahu mamaku sakit begini, gak ada juga yang mau jadi di posisi aku, Na"

"Ya ampun Ling! Coba lihat aku! Lihat kehidupan aku!", ketika ia mengatakan itu saya teridiam. Teringat akan perjalanan hidupnya yang lebih sulit dari saya.

"Aku aja belum lulus sementera kamu sudah lulus! Uang kuliah aku belum lunas sampai diancam DO. Terus, emang kamu pikir aku juga gak punya masalah keluarga?! Mamaku kan udah gak ada, Lingkan! Jadi papaku mesti kerja keras sendiri, sedangkan biaya kebutuhanku di sini juga tinggi. Mama tiriku sedang marah sama aku, dan...", ia terdiam sejenak, menahan emosinya. "Jadi, berhentilah mengeluh!!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun