"Di dalamnya kamu pakai legging, kan? Pasti bisa," ujar Dina meyakinkan saya.Â
Sebab hujan semalam, tebing menjadi sangat licin. Kami harus ekstra hati-hati dalam meniti jalan dengan Dina sebagai pemandunya. Oh, ya, kami memanjat dari punggung, ya, bukan dari permukaan laut di bawah sana seperti yang dilakukan atlet pemanjat. Jalan awalnya adalah kebun sayur milik warga setempat.Â
Tidak mudah, lho, memanjat tebing yang becek dengan mengenakan gaun dan sandal jepit. Butuh usaha dan kesabaran. Harus konsentrasi dan tidak boleh mengeluh. Teman-teman terus menyemangati saya.Â
Akhirnya setelah berlelah-lelah kami sampai juga di atas tebing. Betul kata Dina, dari sini pemandangan jauh lebih indah. Debur ombak di bawah sana terdengar riuh. Laut yang biru tampak luas dan megah. Kini kami tahu alasan tempat ini dinamai Pantai Siung, yaitu karena bentuknya seperti sepotong gigi taring.
Hari beranjak siang, perut kami mulai keroncongan. Untunglah Ika membawa bayak roti dan biskuit dalam tas ranselnya. Kami menikmati makanan itu sambil memandang laut. Sebuah kapal melintas. Mungkin kapal kargo yang mau ke Australia.
Tiba-tiba gerimis turun tipis-tipis. Kami berlindung di sebuah ceruk mirip goa. Sungguh sepotong momen yang tak akan terlupakan.Â
Saya rasa, jika dalam perlintasan hidup saya tak bertemu Dina, barangkali saya tak akan pernah merasakan sensasi tidur di pom bensin dan memanjat tebing dalam balutan long dress.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H