Mohon tunggu...
Linggar Rimbawati
Linggar Rimbawati Mohon Tunggu... Guru - Tidak punya jabatan

Penulis kelahiran Jambi yang selalu rindu Solo. Manulis cerpen, puisi, dan esai ringan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Cerita Wangi: Pada Petang Itu Bapak Tak Pulang (Bag.2)

26 Juli 2024   17:25 Diperbarui: 26 Juli 2024   17:39 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Saya adalah anak perempuan sembilan tahun waktu Bapak tak pulang pada suatu petang. Pagi itu dia berangkat kerja seperti hari-hari biasanya. Setelah sarapan dengan nasi putih lauk tempe goreng dan sambal korek dia jalan kaki ke muka gang untuk nyegat bus perusahaan. Bus itu melintas tiga kali dalam sehari, menurunkan dan menjemput para buruh di tepi jalan.

Bapak bukan satu-satunya buruh pabrik garmen di gang ini. Warga sini rata-rata ngglidhik di pabrik yang katanya milik pengusaha besar di Jakarta itu. Kata orang-orang, si empunya adalah pejabat tinggi di Senayan. Saya tak tahu di mana tepatnya Senayan itu, tapi pastilah itu sesuatu yang hebat, megah.

Dulu Ibu juga sempat jadi buruh di pabrik garmen itu. Mulanya dia berkerja jadi tukang bersih-bersih kantor dan membuatkan kopi untuk Pak Bos. Lalu, Ibu dipindah ke bagian pengemasan. Lama Ibu kerja di bagian itu. Saya ingat sering dititipkan pada tetangga kalau Ibu pulang malam untuk lembur dan kebetulan Bapak juga banyak lemburan di bagian produksi.

Namun karena hamil dan kemudian melahirkan, Ibu diberhentikan karena banyak bolos akibat sakit pendarahan dan mulai sibuk mengurus adik saya. Kelak saya tahu bahwa alasan Ibu berhenti bekerja di sana ternyata jauh lebih berat dari itu.

Saya masih ingat apa yang dikenakan Bapak di pagi terakhir saya melihatnya itu. Bapak mengenakan kaos putih berlogo perusahaan di bagian dada kiri dengan celana bahan warna abu-abu. Dia juga memakai topi yang biasa dikenakan tentara ketika gerilya. Topi berbentuk ember loreng-loreng. Sepasang sepatu bot lusuh menyembunyikan kaki yang kukunya jarang dipotong.

"Lihat, kaki bapakmu seperti kaki Cakil," begitu Ibu sering mengomel.

Kuku-kuku bapak saya adalah jenis kuku yang keras. Keras persis kemauannya. Seperti pendiriannya. Seperti giginya. Seperti harga dirinya.

Sudah berbulan-bulan ini saya mendengar pertengkaran Ibu dan Bapak. Lebih tepatnya keluhan atau omelan Ibu.

"Kamu bisa habis kalau begini terus. Melawan," suara Ibu terdengar seperti sedang menahan sesuatu.

"Cuma ini yang bisa kita lakukan. Kalau nggak melawan orang seperti kita akan terus ditindas. Ditindas sampai ke tulang-tulang," Bapak menjawab dengan dingin.

Saya yang waktu itu sedang mengerjakan PR di kamar berhenti sejenak. Saya tidak perlu menempelkan telinga ke sekat triplek yang membatasi kamar saya dengan kamar orang tua untuk menyimak apa yang sedang mereka bicarakan. Toh, dinding itu sudah setipis perut kami. Setipis peluang kami untuk lolos dari nasib buruk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun